Oleh : Eva Martha Rahayu
Pendirian SPBU baru butuh modal minimal Rp 1 miliar dan diprediksi meraih BEP tahun ke-5 atau ke-6. Mana yang lebih menarik: mengambil alih atau merintis sendiri?
Penampilan Stasiun Pengisian Bahan Bakar untuk Umum (SPBU) kini cantik-cantik. SPBU yang sering disebut dengan pom bensin itu tidak cuma sekadar untuk pembelian BBM, tapi juga keperluan lain. Anda bisa bersantai di kafe, belanja di minimarket, makan di restoran, tukar uang di money changer, bahkan cuci mobil di bengkel. Rupanya pengusaha pom bensin berlomba menawarkan nilai plus, selain bangunan fisik yang lebih trendi guna merebut hati konsumen.
SPBU Abico, misalnya. Pom bensin yang terletak di Jalan K.S. Tubun, Jakarta Barat itu dilengkapi dengan money changer. Pertimbangan membuka gerai penukaran valas adalah, di daerah itu banyak orang Afrika yang kulakan di Tanah Abang, lokasinya dekat Hotel Santika yang lumayan banyak dikunjungi turis asing, dan bersebelahan dengan RM Sindbad yang diminati orang Arab. Nilai tambah itu juga ditunjukkan SPBU Sinta Irawaty di Jalan Dampyak Km 3,5 Tegal. Di sana tersedia kafe, minimarket, wartel, 67 toilet bagus dan mushola besar.
Asyiknya, tanpa disadari, layanan SPBU dengan fasilitas plus itu memberikan kontribusi pendapatan cukup besar di luar penjualan BBM. Gayung bersambut. Pertamina pun menyarankan kepada calon investor SPBU untuk menambah usaha lain, di pelumas, sepanjang tidak membahayakan keamanan SPBU dan lingkungan sekitarnya. Itu artinya, investor SPBU akan meraih keuntungan yang makin banyak, yakni dari margin penjualan BBM dan produk/jasa komersial pendukung lain.
Membayangkan potensi untungnya, pasti Anda tidak sabar ingin segera membuka SPBU. Namun, tunggu dulu. Sebab, untuk memulai usaha ini, Anda mesti punya uang yang angka nolnya paling tidak 9 alias miliaran.
Simak pengalaman Hari Budiyanto (44 tahun). "Ketika berniat masuk ke bisnis ini, Anda harus menyiapkan biaya untuk tiga komponen, yakni ongkos perizinan, lahan, serta bangunan fisik dan perlengkapannya," tutur pemilik dua SPBU, di Joglo (Jak-Bar) dan Bandar Lampung itu. Rinciannya: biaya perizinan (goodwill) diperkirakan di atas Rp 50 juta. Biaya lahan tergantung luas dan lokasinya. Jelas, di dalam kota Jakarta lebih mahal harga tanahnya. Semakin luas lahan yang dibutuhkan, kian membengkak biaya yang dikeluarkan.
Untuk lahan, Pertamina menetapkan aturan: lahan minimum 1.000 m2. Apabila kurang dari ketentuan, investor harus mendapat persetujuan dari Deputi Direktur Pemasaran dan Niaga Pertamina.
Sementara itu, biaya bangunan fisik dan perlengkapan, berdasarkan perhitungan Hari, sebesar Rp 1,5-2,5 juta/m2. "Istilahnya, kalau ingin tampak mewah, bangunan dan kanopinya ya lebih gede biayanya," katanya. Harga perlengkapan seperti dispenser BBM dengan 2-3 selang, Rp 55-200 juta/unit.
Bernardus Suharto sependapat dengan Hari. "Waktu kami buka SPBU yang kedua tahun 2000 saja menghabiskan dana Rp 1,7 miliar, di luar investasi tanah," tutur Bernardus yang mengelola dua SPBU di Tegal. Hal serupa juga dialami H. Agus Bisri, pemilik SPBU Abico. "Pak Agus telah menginvestasikan dana sekitar Rp 2,2 miliar saat buka SPBU ini tahun 2001," ujar James Tampubolon, Kepala Operasional SPBU Abico. Investasi Rp 2,2 miliar itu belum termasuk investasi tanah SPBU seluas 712 m2.
Setelah memahami rincian biaya SPBU baru, Anda akan berpikir dua kali sebelum memulai. Enak mana, membuka baru atau mengambil alih (takeover) dari orang lain? Kedua pilihan ini ada plus-minusnya. Namun, ketiga pengelola SPBU yang diwawancaraSWA sepakat, mendirikan SPBU baru lebih menarik. Mengapa? "Kami bisa merealisasi konsep-konsep yang ada dalam rencana dan diukur sesuai kemampuan sendiri," Bernardus menjelaskan. Hari menambahkan, "Dengan buka sendiri, kami bisa lebih hemat. Selain itu, bisa memaksimalkan investasi dengan mencari titik yang optimal."
Itu dari sisi kelebihan bila membuka SPBU sendiri. Di sisi lain, kelemahan merintis SPBU sejak awal adalah bersifat spekulasi. Artinya, kita belum tahu prospek omset SPBU, untung atau rugi. Apalagi, investasi di pom bensin sifatnya jangka panjang. Jika tak mampu memenuhi target omset, harapan tipis untuk pulang modal.
Bagaimana kalau mengambil alih SPBU lain? Penjualan SPBU itu hal yang langka. Begitulah pandangan umum para pemain bisnis pom bensin. Tak pelak, jika ada orang yang menjual SPBU-nya, patut dipertanyakan. Logikanya, kalau SPBU itu sudah menguntungkan, buat apa dilepas. Pasalnya, jika SPBU itu sudah untung dan stabil, ibaratnya bak mesin uang yang terus menggelontorkan duit ke pundi-pundi investornya. "SPBU yang dijual pasti ada apa-apanya yang harus diselidiki calon investor," Hari mewanti-wanti. Menurutnya, kalaupun ada orang yang melepas SPBU lantaran terpepet, pasti disebabkan pindah ke luar negeri atau pembagian harta warisan. Nah, kalau ini alasannya, beli SPBU dari tangan orang punya nilai plus. Soalnya, tidak usah repot memulai dari nol. Lagi pula, gambaran omsetnya sudah stabil dan investor tinggal ongkang-ongkang.
Agar tidak terjeblos saat mengambil alih SPBU, Hari menyuguhkan tip. Pertama, selidiki track record pembelian SPBU dari Pertamina, misalnya dengan menanyakan ke BUMN ini berapa banyak order rata-rata SPBU X. Juga, analisis faktor-faktor yang mennyebabkan SPBU itu dijual, seperti apakah salah prediksi (omset rendah), bermasalah dengan pihak Pertamina ataukah mendapat hambatan internal dalam operasionalnya. Jika sudah ketemu pangkal permasalahannya, pastikan apakah kendala itu bisa diatasi atau tidak. Pasalnya, jika masalahnya terletak pada ketidakjujuran meteran isi bensin, dibutuhkan waktu cukup lama untuk memulihkan citra baik SPBU tersebut.
Lantas, bagaimana gambaran keuntungan bisnis SPBU? James menjelaskan, margin yang diberikan Pertamina bervariasi, tergantung jenis BBM-nya. Bensin premium 4%, solar 5%, dan pertamax 6%. SPBU Abico rata-rata mampu menjual BBM 37 ribu liter/hari (Senin-Jumat) dan 20 ribu liter/hari (Sabtu-Minggu). Premium memberikan kontribusi penjualan terbesar. Di SPBU Joglo, penjualan bensin juga mendominasi. "Kalau ditotal, omset SPBU Joglo rata-rata mencapai Rp 1,7 miliar/bulan dan Rp 1,3 miliar untuk SPBU Lampung," ungkap Hari. Sementara itu, rata-rata penjualan BBM di SPBU Tegal milik Bernardus lebih dari 40 ribu liter/hari.
Omset besar itu diraih secara bertahap. Hari mengungkapkan, SPBU Joglo di awal-awal beroperasi omsetnya di bawah Rp 400 juta/bulan. "Waktu itu disebabkan ada karyawan yang mencuri isi meteran bensin. Akibatnya, citra SPBU ini buruk dan omset anjlok," ujar lulusan Fakultas Teknik Geodesi Universitas Gadjah Mada ini. Setelah itu, ia membenahi etika kerja karyawan dan layanan konsumen. Beberapa tahun kemudian, tepatnya di Februari 2004, omset SPBU Joglo beringsut naik. Per Agustus 2004 SPBU itu membukukan penjualan Rp 1,6 miliar. Dan bulan-bulan berikutnya Rp 1,7 miliar/bulan. Demikian halnya SPBU Abico. Saat awal buka tahun 2001, cuma berhasil jualan 18 ribu liter/hari. Bulan ke-2 mencapai 22 ribu liter, bulan ke-5 sebanyak 26 ribu liter, dan 28 ribu liter untuk bulan ke-9. Pada tahun ke-2 mulai stabil dengan omset rata-rata 37 ribu liter/hari. Omset SPBU Sinta Irawaty Tegal juga terus tumbuh. Bernardus mengklaim saat ini omsetnya mencapai 40 ribu liter/hari, padahal awalnya hanya menjual di bawah 30 ribu liter/hari.
Hari berani memprediksi, jika SPBU mampu mencetak omset minimal Rp 1,5 miliar/bulan, akan mencapai breakeven point (BEP) pada tahun ke-4 atau ke-5. Untuk mendapatkan omset sebesar itu, nilai investasi SPBU yang dibutuhkan Rp 6-7 miliar karena tipenya besar dengan tiga kanopi. "Sebetulnya dengan omset Rp 1,5 miliar itu, pengelola SPBU akan menangguk laba kotor Rp 70 juta/bulan. Laba itu baru akan muncul di bulan ke-6 setelah beroperasi," jelas Hari yang anak mantan Gubernur Lampung itu.
Guna menggenjot penjualan, investor SPBU juga dituntut aktif melancarkan strategi pemasaran, meski pasar BBM sudah terbentuk. Caranya bermacam-macam. Manajemen SPBU Joglo, misalnya, suka membagi-bagikan kaus saat Lebaran dan menyediakan air minum dalam kemasan gratis kepada pelanggan (sopir Metromini 70, taksi Ratax, Tiffani dan Dian Taxi). Sementara itu, SPBU Abico juga memberlakukan kupon langganan. "Pelanggan kami antara lain dari Bali TV, Polres Jak-Bar dan produsen Pil Kita," ujar James.
Menariknya, jika investor SPBU sudah mampu menunjukkan kinerja yang jempolan, harga SPBU itu bisa berlipat ganda. Contohnya, pengalaman Hari mengelola SPBU Joglo. "Tahun 1989 ayah kami merintis SPBU ini dengan investasi total Rp 1,7 miliar, tapi tahun 2004 sudah ditawar orang dengan harga Rp 7-8 miliar," ungkap Hari dengan bangga.
Soal risiko, menurut Hari, ada dua: kebakaran dan keamanan. "Agar keamanan SPBU terjaga, semua kendaraan yang masuk harus mati mesinnya dan berhubungan baik dengan lingkungan atau masyarakat sekitar," ujarnya. Yang jelas, Hari mengatakan, investasi SPBU adalah jangka panjang, sehingga mesti sabar untuk bisa menuai untung.
Sebagaimana bisnis lain, Hari mengungkapkan, faktor lokasi harus menjadi prioritas. "Jangan buka di wilayah yang macet, karena pasar akan drop. Pilih lokasi yang strategis. Caranya, hubungi Dinas Tata Kota agar paham soal perencanaan tata kota ke depan," ia menguraikan. Selain itu, efisiensi. Menurut Hari, jika tidak perlu buka 24 jam, jangan dipaksakan karena biayanya besar. "Ingat! Darirevenue, 40% adalah untuk cost operasional," James menimpali. Sebagai gambaran, di SPBU Sinta Irawaty saja jumlah karyawannya 50 orang. Tidak kalah pentingnya, keduanya mewanti-wanti: jangan mengoplos BBM dan nyolong takaran bensin.
Setelah tahu kunci sukses mengelola investasi di SPBU itu, Bernardus dan Hari tidak gentar menghadapi prospek bisnis ini ke depan. Itulah sebabnya, kedua pengusaha pom bensin ini bertekad ekspansi untuk cabang ke-3. "Rencananya kami akan buka satu cabang SPBU lagi di Tegal," ujar Bernardus. Adapun Hari lebih melirik wilayah Cimanggis, Depok. Alasannya, biayanya lebih rendah, yaitu Rp 1,5 miliar, karena lahan di sana masih murah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar