Minggu, 07 Agustus 2011

Di tangan Unilever, kecap Bango melejit dan menjadi momok bagi kecap ABC yang selama ini menggenggam pasar. Perang frontal pun tak terelakkan. Akan berhasilkah Bango melompati ABC?




Berebut Kecap Nomor 1

Oleh : Taufik HidayatDi tangan Unilever, kecap Bango melejit dan menjadi momok bagi kecap ABC yang selama ini menggenggam pasar. Perang frontal pun tak terelakkan. Akan berhasilkah Bango melompati ABC?

Pilihan PT Unilever Indonesia Tbk. mengakusisi merek-merek dari perusahaan yang sudah punya karakter dan potensial dikembangkan ketimbang menelurkan merek sendiri, tampaknya tidak salah. Dengan mengakuisisi, setidak-tidaknya Unilever bisa sedikit berhemat untuk biaya membangun merek. Selain itu, juga mengurangi risiko kegagalan -- beberapa kali Unilever memang gagal mengorbitkan produk baru di kategori makanan dan minuman.


Salah satu merek yang berhasil diakuisisi Unilever adalah kecap Bango. Sebelumnya, kecap Bango merupakan produk lokal (Tangerang) milik perusahaan keluarga di bawah PT Anugerah Indah Pelangi. Sejak pertengahan tahun 2000, di tangan Unilever, penjualan kecap Bango melesat bak meteor. Saking meroketnya penjualan Bango, ditengarai kecap ini telah mengancam posisi kecap ABC yang sekian lama menjadi kecap nomor satu di Tanah Air. "Sejak diambil alih Unilever, kecap Bango memang cukup membuat gerah ABC," ungkap Yadi Budhisetiawan, Direktur Pengelola Force One Konsultan Penjualan dan Distribusi.

Ucapan Yadi itu bukan asal bunyi. Data dari survei merek-merek terbaik yang dilakukan MARS dan SWA menunjukkan hal yang sama. Dari tahun ke tahun kinerja merek kecap Bango terus meningkat. Hal ini berbanding terbalik dengan kecap ABC yang cenderung menurun. Dari sisi awareness (top of mind/TOM Ad), misalnya, tahun 2002 TOM Ad kecap Bango hanya 10,24%, kemudian meningkat menjadi 17,5% (2003), dan meningkat lagi menjadi 24,1% (2004). Bandingkan dengan kecap ABC yang TOM Ad-nya terus menurun dari 69,23% (2002), menjadi 63,2% (2003), dan turun lagi menjadi 62,5% (2004). Hal yang sama terjadi pula pada variabel lain, yaitu TOM Brand, Brand Share dan Satisfaction. Itu sebabnya, Asto Sunu Subroto, Direktur Pengelola MARS, mengatakan, kecap Bango merupakan merek lokal potensial yang harus diwaspadai, karena ia berpeluang menggaet konsumen merek-merek kecap lainnya.

"Kalau ABC tidak melakukan serangan balik terhadap Bango, boleh jadi dalam 1-2 tahun mendatang Bango sudah menyalip ABC," ujar Yadi. Dikatakannya, tangan dingin Unilever telah mengubah cara pemasaran kecap Bango dari tradisional menjadi modern. Kecap Bango yang dulu hanya kuat di Jawa Barat dan Jakarta, kini dibawa menasional oleh Unilever melalui jaringan distribusinya yang dikenal sangat dalam dan merata.

Pendapat Yadi dibenarkan oleh Jahja B. Soenarjo, Chief Consulting Officer Dirextion. Jahja mengatakan, sebelumnya kecap Bango sangat sulit keluar dari Jakarta dan Ja-Bar. Di setiap daerah yang mereka masuki, mereka harus berhadapan dengan pemain lokal yang sudah sangat disukai oleh masyarakat setempat. Belum lagi kesulitan yang mereka hadapi dalam mencari distributor yang kuat di daerah yang akan mereka masuki. Namun, hal itu tidak lagi ditemui semenjak Unilever mengakuisisinya.

Jahja berpendapat, sebenarnya strategi Unilever dalam mengorbitkan Bango merupakan strategi dasar yang selama ini telah mengantarkan kesuksesan bagi produk-produk Unilever lainnya, yaitu push market melalui distribusi yang dalam dan merata, dan pull market melalui promosi yang gencar. "Meski bermain di kategori yang berbeda, Unilever tetap menggunakan pakem yang sama untuk mendongkrak penjualan Bango," ungkapnya.
Unilever memang dikenal sebagai perusahaan yang paling gemar membombardir pasar dengan iklan yang agresif. Berdasarkan pemantauan Nielsen Media Research, pada periode Januari-Juni 2004 saja Unilever telah menggelontorkan Rp 29 miliar untuk kegiatan promosi above the line di berbagai media. Dengan pengeluaran itu, boleh jadi belanja iklan Unilever untuk kecap Bango tahun ini akan meningkat dibanding tahun lalu. Sepanjang 2003 Unilever menghabiskan Rp 36,7 miliar untuk mempromosikan produknya ini di berbagai media.

Selain menggeber promosi above the line, Unilever juga gencar melakukan kegiatan below the line. Salah satunya, kegiatan Piknik ala Bango. Pada kegiatan yang dimeriahkan dengan games dan lucky draw ini, koki yang disiapkan Unilever memeragakan cara memasak berbagai resep makanan yang menggunakan kecap Bango sebagai salah satu bahannya. Piknik ala Bango digelar di 50 kecamatan di 5 kota besar di Indonesia, yakni Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya dan Makassar. 

Tujuannya tak lain untuk semakin mendekatkan merek kecap Bango kepada masyarakat.
Dengan strategi itu saja, Jahja melanjutkan, Unilever sudah bisa mengganggu benak konsumen yang belum menggunakan kecap Bango. Apalagi, baik iklan maupun kegiatan below the line Unilever juga sangat kreatif, sehingga menggoda konsumen untuk mencoba beralih ke produknya. "Unilever dan P&G adalah produsen yang sangat percaya bahwa kalau mereknya kuat, pasar akan dapat dikuasai dengan lebih mudah," ungkapnya.

Selain berani dalam beriklan, Unilever juga mengandalkan kekuatan distribusinya untuk mengangkat penjualan kecap Bango. Yadi mengatakan, apa yang terjadi pada persaingan antara kecap Bango dan kecap ABC saat ini adalah reinkarnasi persaingan antara baterai ABC dan Eveready beberapa tahun lalu. "Dulu baterai ABC berhasil mencegat Eveready dari kampung kemudian ke perkotaan. Sekarang, kecap Bango menggerogoti kecap ABC mulai dari kota-kota kecil dan menengah."

Yadi menambahkan, dalam mendistribusikan kecap Bango, Unilever seperti tidak ingin head on dengan kecap ABC. Sementara kecap ABC lebih banyak didistribusikan pada grosir makanan, Unilever memilih merangkul grosir-grosir sembako. Demikian juga dengan strategi Unilever dalam merangkul restoran dan pedagang kaki lima yang menjadi salah satu pasar terbesar untuk kategori ini. "Unilever merangkul pedagang atau restoran makanan Indonesia dan internasional, dan mereka menghindari restoran Chinesse karena mereka tahu restoran Chinesse adalah dominasi kecap ABC," katanya.
Menanggapi hal itu, Yadi mengatakan, kini PT Heinz ABC Indonesia selaku produsen kecap ABC kembali menata ulang jalur distribusi produknya. "Saya dengar, Heinz akan menambah jumlah outlet-nya dengan cara merangkul grosir-grosir sembako di berbagai daerah," ujarnya. 

Dijelaskannya, selama ini Heinz lebih mengandalkan grosir makanan yang besar di daerah untuk kemudian memberi kebebasan kepada mereka dalam mendistribusikan kecap ABC hingga ke pelosok. Menurutnya, strategi tersebut ditempuh Heinz karena mereka percaya bahwa permintaan akan produknya masih sangat tinggi, sehingga mereka tidak perlu terlalu repot mendistribusikan produknya ke pelosok-pelosok daerah. "Sekarang kelihatannya mereka mau menangani sendiri pendistribusian produknya hingga ke pelosok," tambahnya.

Untuk itu, Heinz pun menggelar berbagai trade promo baik untuk grosir maupun pedagang atau resto yang menggunakan produknya. Seorang pedagang grosir di Pasar Baru Bekasi mengatakan, sejak setahun lalu kecap ABC selalu menawarkan berbagai hadiah yang menarik kepadanya, dari diskon yang lebih besar hingga barang-barang elektronik, jika mampu mencapai target penjualan yang diharapkan pihak kecap ABC. Diungkapnya, meski masih tetap lebih besar, penjualan kecap ABC belakangan memang cenderung turun. "Kecap Bango dan kecap Nasional sekarang mulai bagus penjualannya."

Demikian juga di gerai modern. Hasil pemantauan SWA di Giant, Bekasi, menunjukkan bahwa kinerja penjualan kecap Bango terus meningkata. Seorang sumber yang enggan disebut namanya mengatakan, penjualan kecap Bango dan kecap ABC kini mulai berimbang. "Kecap ABC memang tetap lebih besar, tapi bedanya tipis," katanya.
Menanggapi hal ini, Yadi mengatakan, Heinz harus meruntuhkan keangkuhannya dengan kembali menggarap grosir pasar basah yang mereka tinggalkan. Selain itu, Heinz juga harus mulai melirik pasar-pasar di luar resto Chinesse yang sudah memiliki loyalitas yang tinggi terhadap produknya. "Dengan kekuatan distribusi yang dimilikinya, Heinz harus berani mengajak Unilever bersaing secara head-to-head. Jangan beri peluang Unilever untuk menghindar dari persaingan langsung," ujarnya.

Selain dalam hal distribusi, persaingan seru juga terjadi dalam hal komunikasi atau iklan. Bahkan, iklan terbaru kecap ABC di televisi jelas-jelas merupakan jawaban terhadap iklan kecap Bango. Iklan kecap Bango menceritakan seorang tetangga yang rela berhujan-hujan demi mengambil kecap pilihannya. Oleh ABC, pesan iklan itu dibalik: seorang tetangga mengirimi makanan yang ternyata kurang memuaskan karena tidak menggunakan kecap favoritnya.
dak seharusnya Heinz membalas iklan kecap Bango. Hal ini menurutnya malah menunjukkan kepanikan Heinz dalam menghadapi serangan kecap Bango. Persaingan ini menurutnya mirip persaingan yang terjadi antara Kacang Garuda dan Dua Kelinci beberapa waktu yang lalu. "Terlalu competitor oriented juga tidak bagus, karena menghabiskan biaya yang besar dan salah-salah malah membuat konsumen bingung," ujarnya.


Melihat strategi ini, Jahja berkomentar, ti
Seharusnya, Jahja menambahkan, Heinz mencoba mengedepankan diferensiasi produk dibanding produk lainnya. "Dia harus keluar dari kerumunan produk kompetitor melalui diferensiasi yang jelas dan berguna bagi konsumen," katanya. Menurut dia, seharusnya Heinz bisa mencontoh upaya kecap Nasional beberapa waktu lalu: keluar dari kerumunan pemain lain, mengedepankan kandungan baru dalam produknya, yaitu iodium. Terbukti, melalui upaya tersebut, penjualan kecap Nasional meningkat cukup tajam. "Harus diingat, saat ini konsumen mulai memperhatikan unsur kesehatan," ujarnya.

Jahja mengatakan, jika Heinz sudah bisa menemukan diferensiasi produknya, hal itu mesti mereka komunikasikan secara agresif kepada konsumen. Meski selama ini kecap ABC konsisten beriklan di TV, pola iklannya cenderung malu-malu. "Belakangan kecap ABC terlihat akan konservatif dalam beriklan," ujarnya. Pendapat Jahja ini didukung data yang diberikan oleh Nielsen Media Research: selama Januari-Juni 2004, Heinz hanya mengeluarkan sekitar 45% dari yang dikeluarkan Unilever, yaitu Rp 13,9 miliar. Padahal, tahun lalu mereka menghabiskan Rp 40,4 miliar untuk mengomunikasikan produknya di berbagai media.

Berbeda dari Jahja dan Yadi, Darmadi Durianto, Chief Operating Officer IBiI Consulting, mengatakan bahwa upaya yang dilakukan Unilever terhadap kecap Bango belum membuahkan hasil yang maksimal. Menurutnya, sangat sulit menggulingkan ABC di kategori kecap. "Kecap ABC adalah first entry di pasar nasional dan brand-nya pun sudah lebih mantap di benak konsumen Indonesia," ujarnya.

Diakui Darmadi, dengan menggeber iklan, kecap Bango akan mengalami pertumbuhan penjualan. Namun, pertumbuhan kecap Bango, menurutnya, didapat dari pertumbuhan pasar yang ada, dan bukan mengambil pasar yang sudah dikuasai kecap ABC. Lagi pula, sebelumnya penjualan kecap Bango tidaklah terlalu besar, sehingga pertumbuhan yang mereka peroleh tetap lebih kecil dibanding kecap ABC yang pertumbuhannya jauh lebih kecil. "Meski kecap Bango tumbuh 100% sekalipun, angkanya akan tetap lebih kecil dibanding kecap ABC yang bertumbuh 10%," jelasnya.

Ke depan, menurut Yadi, persaingan antara kecap ABC dan kecap Bango akan semakin seru. Pasalnya, pasar kecap sudah cenderung mature, sehingga tidak ada jalan lain bagi produsen untuk saling merebut pasar kompetitornya. Namun, ia mengingatkan, baik Heinz maupun Unilever tidak bisa memandang sebelah mata pemain di peringkat ketiga, yaitu Indofood. "Indofood sekarang memang jadi macan tidur, tapi kalau terus diganggu, dia akan bangun dan mengaum," katanya tegas.

Menurut Yadi, sangat memungkinkan bagi Indofood menaklukkan kedua pemain besar ini. "Indofood memiliki segalanya, baik dana, infrastruktur, juga skill," ujarnya. Kendati demikian, hingga setahun ke depan kelihatannya Indofood belum akan serius menggarap pasar kecap. "Indofood masih disibukkan oleh pergantian pimpinan, juga serangan Mie Sedaap terhadap produk mi instannya yang masih menjadi tulang punggung perusahaan."
Senada dengan Yadi, Jahja berpendapat, Indofood merupakan bahaya laten bagi kedua pemain ini. Menurutnya, boleh jadi saat ini Indofood sedang menikmati persaingan di antara kedua pemain. "Salah-salah kedua pemain ini bisa lengah. Dan kalau sudah lengah, pemain nomor tiga akan bisa mengambil kesempatan," ujarnya.



URL : http://202.59.162.82/swamajalah/warkat/details.php?cid=1&id=935 

1 komentar: