Agar Bidikan Kita Tepat Sasaran
by elfri
Sesuai hasil riset, terdapat 8 cluster konsumen yang unik dan potensial digarap. Bagaimana memilah dan menggarap masing-masing kelompok itu?
Baru tersadarkan sekarang bahwa selama ini ada kecenderungan pemasar selalu latah dalam melakukan aktivitas pemasaran. Kelatahan ini tidak hanya terjadi pada penerapan strategi komunikasi dan periklanan, tetapi juga soal penentuan target pasar ataupun positioning produknya. Hal ini menjadi terlihat jelas tatkala memelototi hasil surveiLowe Indonesia yang menemukan 8 segmen psikografis.
Baru tersadarkan sekarang bahwa selama ini ada kecenderungan pemasar selalu latah dalam melakukan aktivitas pemasaran. Kelatahan ini tidak hanya terjadi pada penerapan strategi komunikasi dan periklanan, tetapi juga soal penentuan target pasar ataupun positioning produknya. Hal ini menjadi terlihat jelas tatkala memelototi hasil surveiLowe Indonesia yang menemukan 8 segmen psikografis.
Ternyata, banyak pemasar yang senang segmen Savvy Conqueror (Main untuk Menang), tipe Gaul-Glam (Anak Muda/ABG), serta tipe Ibu-ibu PKK. Padahal, kalau membaca hasil survei itu, masih terbuka target pasar lain yang tak kalah menggiurkan. Tipe Introvert Wallflower (Pasrah), contohnya, cenderung diabaikan para pemasar. Demikian pula, tipe Cheerfull Humanist. Dalam cara komunikasi, kebiasaan ikut-ikutan tecermin dari tema iklan mereka. Kalau membidik anak muda, serta-merta menampilkan kecentilan ABG dalam suatu kerumunan.
Jika membidik anak-anak, lantas selalu menjanjikan iming-iming menjadi juara. Lalu, untuk membidik target pasar rokok, tiap-tiap pemasar mengimplementasi cara komunikasi yang hampir-hampir 100% sama satu lain, yakni mengambil tema pria macho yang sedang berada dalam suatu petualangan yang sangat menantang. Baik produsen rokok besar maupun pemain skala menengah rata-rata menerapkan tema seperti itu, sehingga menjadi sangat generik, sulit dibedakan satu dari yang lain.
Menjadi berbeda adalah penampilan iklan Sampoerna A Mild dan Sampoerna Hijau. A Mild semula merupakan produk yang disikapi dengan pesimisme oleh banyak orang karena penetrasi di pasar yang benar-benar baru, tapi justru berhasil setelah melakukan komunikasi yang unik (berbeda), menggelitik, ringan dan mudah diingat, serta didukung segmentasi psikografis yang tepat karena mengarah pada kelompok antikemapanan. Dan saat ini, tak pelak A Mild mampu menjadi tulang punggung baru bisnis HM Sampoerna selain Dji Sam Soe, dengan pendapatan di atas Rp 2,5 triliun/tahun — hanya A Mild.
Hal yang sama juga terjadi pada kasus revitalisasi Sampoerna Hijau yang semua merupakan produk tua yang terus menyurut kinerjanya.
Manajemen HM Sampoerna kemudian membuat terobosan komunikasi dengan memperhatikan psikografis target pasarnya hingga akhirnya diperoleh positioning baru sebagai produk untuk kebersamaan (Asyiknya Ramai-Ramai). Ia keluar dari koor pemain rokok yang rata-rata berpromosi dengan menonjolkan maskulinnitas dan avonturir. Dan kini, Sampoerna Hijau mampu terhindar dari sindrom kelayuan produk tua selain mampu membukukan omset tahunan di atas Rp 1 triliun/tahun.
Di sini, pelajarannya ialah, pemasar memang harus mencermati peluang-peluang dari sisi psikografis, tak semata-mata demografis yang sifatnya standar dan sudah menjadi pemahaman semua orang itu. Hal ini penting karena walaupun secara demografis sama, sangat mungkin secara psikografis mereka tidak berada dalam kelompok yang sama.
Berikut adalah beberapa pengalaman bagaimana menggarap segmen psikografis yang ditemukan dalam survei Lowe Indonesia.
Tipe Bapak Baik-baik (Confident Establish).
Tipe psikografis ini boleh dibilang merupakan sosok bapak ideal. Judy Uway, Direktur Media JC&K Advertising, menengarai sosok konsumen ini nampak dari lakon-lakon yang diperankan Dedy Mizwar dalam beberapa film dan sinetronnnya, atau peran Dedy Soetomo sebagai Pak Broto dalam cerita serial Losmen yang dulu populer di TVRI. Sebelum menggarap pasar segmen ini harus disadari bahwa segmen ini hidupnya sederhana, tidak neko-neko.
Orientasinya hanya keluarga dan kerja, dan biasanya hasil jerih payah kerjanya langsung diserahkan ke istri. Kalaupun memegang uang, hanya untuk keperluan jajan atau transpor di jalan. Kalaupun punya hobi, yang sederhana. “Mereka bisa dilihat sebagai segmen yang menyukai kehidupan tenang dan seimbang antara keluarga, kerja dan hobi,” ujar Judy.
Dalam pandangan Judy, biasanya ekspektasi kehidupan konsumen cluster ini tak terlalu tinggi. Mereka menyukai kehidupan yang tenang dan damai, lurus, tak banyak tuntutan materi. Tak mengherankan, “Pilihan produknya juga cenderung konservatif, lebih pada kegunaan dan harga yang terjangkau.”? Strategi komunikasi pemasaran yang pas buat mereka, pasti, model komunikasi yang membumi, humanis, menonjolkan nilai-nilai keluarga, cinta pada orang tua, anak dan cucu.
“Harus berusaha mendekat dengan realitas dan pilihan kehidupan mereka,” ujar Judy menyarankan. Maka, produk yang disasarkan buat mereka pun sebaiknya menggunakan kemasan yang tak terlalu glamor atau terlalu futuristis. Lalu, karena segmen ini lebih sering berada di rumah atau di kantor — sedikit di pusat-pusat keramaian (mal, dll.) apalagi hura-hura — media yang paling memungkinkan buat mendekati segmen ini ialah radio, televisi atau media cetak serius.
Mereka tak bisa didekati dengan pendekatan below the line di mal atau sejenisnya karena relatif jarang pergi ke tempat-tempat itu, kecuali dalam rangka mengantarkan anak atau istrinya. Judy kemudian menunjuk Toyota Kijang dan rokok Dji Sam Soe yang cukup baik dalam membidik dan memosisikan produknya buat segmen ini.
Lihat saja, dari dulu Toyota Kijang selau diposisikan sebagai mobil keluarga dan ternyata sukses besar hingga generasi Kijang Innova saat ini. Dji Sam Soe yang memosisikan dirisebagai rokok turun-temurun juga demikian. Kini rokok “mahal”? ini dikonsumsi seluruh lapisan perokok dari tukang becak hingga direktur. Sumardy, konsultan senior dari MarkPluss & Co, berpendapat senada dengan Judy.
Sumardy menyebutkan, contoh produk yang sukses mengambil positioning psikografis ini ialah Promag dari PT Kalbe Farma yang belasan tahun dikomunikasikan dengan endorser Dedy Mizwar. Langkah manajemen Promag sangat jitu. “Sosok Dedy Mizwar yang dihormati dan selalu lurus akhirnya membuat orang mengasosiasikan Promag sebagai merek berkarakter, tak nyeleneh dan selalu memberikan solusi tanpa basa-basi” ungkapnya. Mardy menjelaskan, bila ingin mendekati segmen ini, para pemasar harus menonjolkan “bukti” bahwa mereknya telah digunakan banyak orang. Ini sesuai ciri tipologi Bapak Baik Baik yang sangat konservatif. Maklum, konsumen segmen ini cukup sulit menerima produk inovasi yang ekstrem dan atau produk yang betul-betul breakthrough.
Jadi, perlu menonjolkan “acceptability”-nya di pasar sehingga merek itu akhirnya memiliki karakter yang diakui dan mengakomodasi keinginan segmen ini. Juga, dalam menggarap segmen ini lebih baik menggunakan pendekatan konvensional karena si Bapak Baik-Baik cenderung menyukai sesuatu yang normatif. Mereka cenderung berbelanja di tempat-tempat konservatif yang sudah lama dan biasa ia dikunjungi.
Dalam komunikasi, harus ditonjolkan manfaat fungsional. Kemasan produk tak boleh berbeda jauh dari model kemasan standar di industri karena mereka cenderung menyukai sesuatu yang sesuai standar. “Komunikasi yang dilakukan juga tak boleh bersifat hard selling. Mereka akan resistens bila merasa terlalu dibombardir promosi. Media yang paling dominan untuk segmen adalah bacaan atau media konvensional yang sudah terpercaya dan sudah lama dikenal di Indonesia,” saran Sumardy yang pengasuh salah satu mailing list pemasaran itu.
Tipe Ibu-Ibu PKK (Optimistic Domestic Goddess)
Tipologi segmen The Optimistic Domestic Goddess kebanyakan diisi kaum wanita. Karakteristiknya hampir sama dengan tipe konsumen pertama, hanya berbeda gendernya. Mereka lebih suka melihat iklan yang merefleksikan diri sendiri, bukan pada kecantikan diri.
“Tapi lebih pada emosi yang mendekatkan diri pada keluarga, agama, dan cinta,” kata Judy. Jadi, produk-produk pemutih tubuh dan wajah, pelangsing, produk super branded, berlian, dalam pandangan Judy, relatif tak cocok buat segmen ini. “Mereka tak menggunakan produk-produk seperti itu, karena berpikir buat apa,”? tambahnya. Jadi, kalaupun ada iklan sabun dengan endorser Sophia Latjuba, walaupun mereka memakainya, iklannya tidak menimbulkan emotional bonding buat mereka.
Menurut Judy, produk-produk Wings dan Unilever cocok menyasar segmen ini. Mereka menyukai produk-produk value for money semacam Surf dan Daia. Produk-produk keluaran Mustika Ratu, Martha Tilaar, Teh Sari Wangi, sabun Mandi Nuvo dan Lifebuoy, juga cocok membidik segmen ini. Yang jelas, harus merupakan produk yang terkenal atau dari perusahaan terkemuka. Mereka juga suka pada produk-produk yang sudah mapan. Kalau mereka membaca media, jendela mereka adalah Majalah Kartini dan Tabloid Nova, bukan Femina, apalagi Cosmopolitan.
Mereka tidak diskusi dengan orang lain soal seks tapi mereka mau membaca untuk dirinya sendiri. Mereka juga menyukai acara-acara di televisi dan radio, sebab itu cocok didekati dengan media-media tersebut. Segmen ini juga bisa digarap dengan tema-tema emotional branding yang mengedepankan nilai-nilai kekeluargaan. Sementara itu, Sumardy juga melihat Bogasari cukup jeli dalam menarget segmen ini.
Mereka secara agresif melakukan branding berbagai produknya berdasarkan manfaat produk. “Benefit segmentation yang dilakukan Bogasari memudahkan mereka menyasar pasar yang menjadikan masak sebagai hobi. Ada benefit fungsional yang ditawarkan,” katanya.
Hanya saja, untuk membidik segmen ini harus mampu menunjukkan bahwa merek itu bisa membantu mengaktualisasi diri. Bogasari misalnya, menyelenggarakan berbagai program lomba dan resep memasak. Ini membantu para ibu dalam membunuh waktu sehari-hari.
Untuk menggarap segmen psikografi kedua ini, sebuah merek harus masuk ke berbagai kegiatan hobi. Misalnya dengan mengumpulkan mereka di komunitasnya. Harus dicatat, seringkali segmen ini sangat resisten untuk mencoba merek-merek baru tapi biasanya bisa didekati dengan pendekatan komunitas.
Menurut Roy Gony, pengajar FE Unika Atmajaya, segmen ini sebenarnya juga suka kumpul-kumpul dan cukup efektif untuk dijadikan target produk-produk multilevel marketing (MLM). Produk-produk makanan dan keluarga juga cocok untuk segmen ini.
Tipe Demi Teman (Change-Expectant Lad)
jumlah demografisnya ditemukan sekitar 10,5% dari populasi konsumen Indonesia. Suatu jumlah yang cukup besar untuk tipe Change Expectant Lad yang kebanyakan terdiri dari kaum laki-laki perkotaan dari kelompok SES bawah, C dan D. Segmen ini sering dilupakan, mungkin karena tak populer dan datang dari kalangan SES rendah, C dan D. Mereka sering dianggap sebagai komunitas “pinggiran” di tengah maraknya komunitas dan segmen premium A dan B di daerah urban. Padahal pasarnya, bila diangkat, akan luar biasa dan tak bisa dianggap sebelah mata. Yang harus dicatat, nilai yang sangat mereka tekankan ialah aspirasi kelompok.
Artinya, dalam membidik mereka juga mesti mempertimbangkan nilai kebersamaan. Berbeda dari segmen pertama dan kedua, strategi komunikasi yang pas buat justru menonjolkan emotional benefit.
“Kondisi mereka yang seringkali dianggap sebelah mata dan disia-siakan dapat memunculkan sebuah mental kelompok yang butuh kekompakan, dan bila hal ini dimanfaatkan akan menjadi pasar yang bagus,” sambung Sumardy. Merek yang cukup fenomenal dalam menggarap segmen psikografis ini, rokok Sampoerna Hijau (SH). Saat merek rokok lain menonjolkan sisi macho dan maskulinitas seorang pria, SH justru tampil kembali ke panggung persaingan dengan menampilkan sisi kebersamaan.
Dan ternyata sukses. Itu sekaligus menunjukkan betapa eksisnya pasar tipe Demi Teman ini yang ternyata berhasil ditangkap dengan baik oleh Sampoerna Hijau dengan tema “Asyiknya Ramai-Ramai”.
Bagi pemasar, bila ingin sukses menembak mereka, harus menjadikan mereknya sebagai “pemicu” untuk memunculkan kebersamaan dan kekompakan di antara mereka (para pelanggan).
Merek tersebut harus mampu membuat mereka merasa memiliki komunitas yang sama. Satu-satunya media yang paling efektif adalah komunitas. “Community is the best channel, karena mereka dapat mengaktualisasikan diri serta menunjukkan nilai mereka yang berbeda dengan orang lain dengan komunitas yang berbeda juga” ujar Sumardy.
Pemilik merek harus cerdik memasuki pasar mereka dengan membawa isu kebersamaan dan kekompakan di antara mereka. “Optimalkan komunitas mereka untuk menciptakan sense of belonging karena memang ada perbedaan dengan kelas sosial di atasnya,”? lanjutnya.
Mengenai kemasan, tidak ada perbedaan signifikan, yang penting kemasannya berbeda dan produknya menawarkan value berbeda. Sementara itu, menurut Daniel Rembeth, pekerja periklanan, segmen ini bisa efektif didekati dengan pendekatan harga. “Mereka menyukai produk-produk murah dan mutu menjadi pertimbangan kedua setelah harga,” kata Daniel. Selain itu, peran influencer atau endorser juga bisa dimaksimalkan untuk membidik segmen ini karena biasanya kalau influencer-nya sudah mengonsumsi merek A bisanya anggota komunitas akan mengikuti. Jadi, mereka memang butuh endorser yang mewakili. Dari sisi afiliasi media, mereka lebih nyaman mendengarkan radio atau menonton televisi karena tak perlu mengeluarkan biaya banyak. Judi melihat iklan Coca-Cola versi terakhir yang dibintangi Jamie Aditya (mantan VJ MTV) dengn gaya silat Sunda dan dangdutnya cocok untuk tipe ini.
Cola-Cola kini memang sedangkan berusaha meluaskan pasarnya ke arah segmen pasar lebih bawah karena selama ini mereka lebih banyak bermain di segmen menengah. Dengan iklan ini mereka ingin merebut kue Teh Botol Sosro. Dalam pandangan Judi, iklan yang dikemas dengan nuansa humor juga tepat untuk segmen ini.
Aapalagi dengan figur seperti Mandra, Komeng dan Mamiek Prakoso (mantan Srimulat) yang pas dengan positioning mereka.
Tipe Lembut Hati (Cheerful Humanist)
Sebagai salah satu pasar, tipe Cheerful Humanist tak bisa disepelekan. Jumlahnya 12,1% dari populasi konsumen Indonesia. Mereka kebanyakan wanita yang tinggal di desa dan tidak terlalu kaya. Nilai yang mereka kedepankan ialah cinta, keharmonisan dan damai. Kelompok ini melihat orang lain dengan penuh persahabatan. Karena itu, segmen ini akan berusaha selalu menjadi bermanfaat bagi orang lain dan sering berbagi dengan orang lain meski secara materi tak kaya. Mereka jauh dari materialistis. Sehingga, pendekatannya juga mesti mengakomodasi nilai-nilai tersebut. Di pentas bisnis kosmetik, Viva termasuk salah satu merek yang sukses membidik segmen ini. Pada masa krisis, Viva bisa bertahan karena mengejar segmen si Lembut Hati yang memang kurang makmur tetapi juga tidak begitu peduli terhadap emotional value yang sifatnya materialistis. Sejumlah produk Johnson & Johnson juga sukses dikomunikasikan dengan membidik segmen psikografis ini. Intinya, pemilik merek mesti mampu menampilkan sisi kesederhanaan dan nilai-nilai lokal.
Kesederhanaan yang dibalut dengan nilai lokal akan membuat mereka merasa at home. Mereka bukan termasuk konsumen yang sangat brand minded. “Dalam menggarap mereka, komunikasinya tentu bisa menonjolkan nilai-nilai kemanusiaan dan atau human benefit dan mengedepankan sisi kesederhaan dan kesesuaian dengan local values dari si Lembut Hati,”? lanjut Sumardy. Sementara soal kemasan, juga harus menekankan unsur kesederhanaan yang lebih humanis dan tidak terlalu kelihatan high tech dan modern. Sementara media yang dipakai, bisa menggunakan media-media lokal yang lebih “dianggap”? oleh pasar ini. Tentu, media nasional seperti televisi yang massal juga memungkinkan.
Tipe Pasrah (Introvert Wallflower) Tipe Introvert Wallflower selama ini paling banyak dilupakan pemasar. Dari survei Lowe Indonesia kali ini, diketahui bahwa persentase konsumen segmen ini 8,1%. Banyak pemasar yang sinis terhadap segmen ini karakternya yang pasrah serta latar pendidikan dan tingkat sosial ekonominya yang rendah. Padahal, konsumen jenis ini juga punya kebutuhan yang tak beda jauh dari segmen lain, apalagi terkait dengan kebutuhan primer dan sekunder. Sebenarnya yang berbeda hanya pada pemuasan kebutuhan tertier atau luxurius-nya. Jadi, mereka juga potensial digarap.
Karena daya belinya yang tidak tinggi, biasanya mereka berusaha puas dengan apa yang dimiliki. “Mereka adalah tipikal konsumen yang mementingkan value of money. Produknya harus mengedepankan keunggulan fitur-fitur basic dan fungsional, tetapi good result dan good value,”? tutur Crist Budi Setiawan, pengamat dan juga praktisi pemasaran. Wings, tak pelak lagi, termasuk pemain yang serius dan sukses menggarap segmen ini dengan produk-produknya yang kelewat ekonomis.
Dari sisi promosi, jelas, pemasar harus bisa menempatkan dan menegaskan bahwa mereka juga merupakan kelompok yang ada. Karena dalam keseharian mereka termasuk orang yang terlupakan, pemasar harus bisa merayu mereka dan menegaskan bahwa mereka juga ada. Tentu saja, dibungkus dengan visualisasi promosi yang halus tetapi persuasif. Iklan Royco versi kakek-nenek menengok cucu juga bisa dikategorikan membidik segmen ini. Dalam iklan itu digambarkan seorang kakek-nenek yang malu-malu karena terlalu sering datang ke rumah anaknya karena sebenarnya senang dengan masakannya — karena pakai Royco. Maka, berbagai alasan pun dibuatnya, seperti “demi menengok cucu”?.
Tak dilupakan, umumnya cluster ini merupakan follower, berarti memungkinkan bila edukasi dilakukan dengan menggunakan endorser yang kompeten. Media radio sangat tepat menyasar segmen ini. Soal promosi, menurut Crist, sebaiknya dilakukan dengan pola-pola yang memberi dampak langsung konsumen, bukan dalam bentuk undian. “Undian bukan hal yang menarik bagi cluster ini,” katanya. Namun, kalau promosinya “beli 2 gratis 1″? justru lebih menarik. Soal kemasan tak harus premium, lebih baik harga kemasan ditekan agar bisa menjual lebih murah buat segmen ini. Kemasan mesti ekonomis sehingga mudah dijangkau. Misalnya, sabun cuci dikemas dari harga Rp 500-1.000/sachet.
Maklum daya beli mereka tidak terlalu besar. Roy Goni menambahkan, promosi below the line cukup bagus buat mereka, misalnya dalam bentuk demo dan point of sales. Sementara itu, Simon Jonatan, CEO BrandMaker, menegaskan, pada dasarnya segmen konsumen ini sederhana dan price sensitive.
Mereka juga suka kemasan produk yang sederhana. Mereka bisa didekati dengan pendepatan mass marketing, dan kalau berpromosi, sebaiknya yang dikedepankan ialah manfaat fungsionalnya. Simon juga mengamini, media radio dan televisi cukup representatif buat mereka. Dan kalau beriklan, tak perlu memakai bintang terkenal.
Tipe Main Untung Menang (The Savvy Conqueror)
Harus diakui, segmen konsumen tipe Savvy Conqueror memang potensial. Jumlahnya 16% dari populasi. Yang lebih menantang, mereka bukanlah segmen yang phobi dengan dunia luar dan perubahan.
Mereka tertantang meraih kejayaan dalam berkompetisi, tetapi bukan demi uang. Bila mereka pebisnis, mereka suka ekspansi dan memasuki bisnis baru, bukan semata-mata alasan profit dan skala perusahaan, tetapi karena tantangan. Demikian pula bila mereka seorang profesional, mereka pindah kerja tak semata-mata alasan gaji, tapi ingin membuktikan bahwa dirinya bisa berprestasi di tempat baru.
Segmen ini banyak mengisi waktu luangnya dengan makan di luar, traveling dan shopping. Sikap mereka positif terhadap produk atau merek baru. Bila diamati, sebenarnya banyak pemasar di Indonesia yang sudah mencoba menyasar segmen psikografis ini dengan memosisikan produk sebagai “produk bagi orang juara atau pemenang”?, tetapi cara komunikasi yang dilakukan cenderung paritas, mirip satu sama lain.
Yang pasti, menurut Crist Budhi Setiawan, praktisi pemasaran, cluster ini membutuhkan produk yang mendukung citra mereka. Mulai dari perawatan tubuh bermerek, produk fashion, atau yang berkualitas tinggi seperti jam, ponsel, hingga pulpen. Preferensi mereka pada produk berkualitas, bermerek dan tidak pasaran.
Strategi pemasarannya bisa melalui mass marketing tapi bisa juga segmented, tergantung jenis produknya. Adapun promosinya harus dilakukan dengan taste yang tinggi dan lebih personal.
Media promosi bisa saja menggunakan televisi yang massal, tetapi visualisasinya harus mencerminkan high class. Tidak menonjolkan benefit fungsional, tapi lifestyle benefit, sehingga benefit fungsional tidak perlu diinformasikan berlebihan. “Iklannya tidak lagi bicara produknya, tapi lifestyle,” kata Crist.
Jadi yang terpenting, mesti mencerminkan kesuksesan dan kegigihan dalam menghadapi tantangan. Dalam pandangan Crist, beberapa perusahaan yang telah serius menggarap cluster ini antara lain produsen jam tangan, mobil, Gillete, Mandom, dan Marlboro. Produk-produk ini umumnya menceritakan dirinya pada level premium dalam rangka menembak pasar keenam ini.
Roy Goni menambahkan, rata-rata kelompok ini merupakan peminat hidup dan petualang dalam artian luas. Mereka sangat mengutamakan life style, termasuk ponsel dan gadget. “Strategi above the line mengarah pada life style cocok dilakukan pada segmen ini,”? lanjut Roy. Yang jelas, soal kemasan produk, bila menyasar segmen ini juga harus memperhatikan eksklusivitas dan inovasinya. Mau tak mau pemasar harus membayar kemahasan yang lebih mahal.
Contoh iklan yang membidik segmen psikografis ini dengan baik ialah iklan L-Men dari PT Nutrifood Indonesia versi eksekutif terjebak jalan macet. Dalam iklan itu digambarkan seorang eksekutif muda yang mengendarai limousine menuju kantor dan akan segera rapat.
Namun, dijalan terjebak macet sehingga orang itu kemudian pilih berlari, termasuk meloncati sejumlah pagar dan kerumunan orang hingga melupakan mobilnya. Ia bisa mengejar tenggat waktu rapat dan kemudian sepintas membuka bajunya yang kemudian memperlihatkan badannya yang kekar dengan perut yang ideal. Pria itu memakai L-Men.
Tipe Gaul-Glam (Networking Pleasure Seeker)
Segmen psikografis konsumen yang ketujuh ini sebenarnya mirip segmen ke-6, tetapi kebanyakan menggejala di kalangan wanita. Mereka sangat menikmati pergaulan dan meyakini bahwa bergaul dan membangun jejaring (networking) merupakan investasi untuk masa depan. Segmen ini sangat mengedepankan uang ketimbang kejayaan atau kebersamaan. Ia bergaul dalam rangka membangun jejaring, bukan menjalin hubungan persahabatan personal. Mereka sangat suka produk-produk fashion.
Sebab itu, preferensi produknya juga yang bisa yang mendukung penampilan. Mereka sangat perhatian pada produk yang berkualitas, sedang menjadi tren, berani dalam corak dan warna. Kalau mereka mencari ponsel, biasanya mencari yang harga Rp 3 jutaan karena segmen ini berasal dari kelas SES A dan A+. Cara pemasarannya lebih efektif memakai pendekatan segmented.
Saluran promosi mesti selektif, yang betul-betul terkait langsung dengan kehidupan mereka. Kegiatan below the line di tempat shopping, café dan restoran berpotensi menjangkau mereka. Simon juga menjelaskan, di segmen ini akan cukup tepat bila diimplementasi pendekatan niche marketing, karena mereka suka produk yang punya deferensiasi jelas dan premium.
“Pemasar harus menempatkan produknya dioutlet-outlet dengan pengunjung SES level tinggi dan nyaman”. Dalam periklanan, di sini tak tepat kalau terlalu menonjolkan benefit fungsional produk.
“Sebaiknya justru dikedepankan produk sebagai brand yang high class dan eksklusif,” kata Crist. Dari segi iklan, sabun Lux (Unilever) cukup bagus dalam mengoptimalkan segmen psikografis ini.
Demikian juga, Loreal. Simon menambahkan, pemasar bisa juga mengedepankan emosi rasa bangga konsumen dalam melakukan persuasi terhadap segmen ini.
Publik figur atau artis yang sedang ngetop juga bisa dipakai sebagai endorser untuk melakukan persuasi terhadap segmen ini.
Tipe Bintang Panggung (Spontaneous Fun-Loving)
Segmen Bintang Panggung jumlahnya cukup signifikan, 13,6%. Mereka suka bergaul, kumpul-kumpul, bercerita dan serta bersuka ria. Mereka juga suka menonton dan berbelanja. Ini termasuk tipologi konsumen yang suka bicara topik-topik hangat yang lagi aktual dengan menggebu-gebu.
Tak sedikit di antara yang mereka yang meraih sukses, tetapi sukses mereka bukan karena berpendidikan yang tinggi tetapi berkat kerja keras. Implikasinya, pola pengeluaran mereka cukup rasional.
Mereka tak sembarang tergiur oleh merek, tetapi lebih megutamakan good value. “Cluster ini cukup kritis,” kata Crist. Tipikalitas lain cluster ini, mereka sukses bukan karena hasil kerja sendiri tetapi karena membangun jejaring, relationship, sehingga mereka benar-benar mempertahankan good relationship dan good community. Produk yang cocok adalah produk yang menceritakan kesuksesan mereka, tetapi tidak terlalu mencolok. Mereka suka produk berkualitas, tetapi harganya juga harus kompetitif.
Kemasan produk yang mereka sukai moderat, tidak terlalu mencolok dan premium, tetapi juga tidak murahan. Namun, pemasar consumer goods nampaknya relatif sulit masuk cluster ini. Yang lebih memungkinkan justru produk MLM, seperti Amway dan Tupperware. “Mereka bukan semata-mata suka produk murah, tetapi harus memberi value bagus,” kata Crist. Pendapat senada dikemukakan Roy Goni. Menurutnya, kelompok ini memang kondusif buat pengembangan bisnis MLM atau bisnis networking seperti asuransi dan properti.
“Pola-pola networking melalui komunitas-komunitas cocok untuk membidik segmen ini,” tutur Roy. Selain itu, Crist menambahkan, penempatan promosi dan produk lebih baik ditekankan di modern channel, sementara dari komunikasi periklanan lebih baik dikombinasi antara mengedepankan aspek fungsional dan emosional. Bila hendak berpromosi, Simon melanjutkan, untuk segmen ini proporsinya bisa 80:20 antara media above the line dan below the line. Iklannya sendiri harus melibatkan emosi, yakni bisa menggunakan endorser bintang iklan atau artis yang lagi naik daun.
Mereka juga suka dengan citra modern dan kebarat-baratan. Hal itu bisa dioptimalkan dalam iklan dengan endorser bertampang bule atau beraksen Barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar