Rabu, 23 Februari 2011

Tugas Public Relation dalam Membangun Citra Perusahaan melalui Program CSR


oleh ruangdosen
http://ruangdosen.wordpress.com/
community-globe2
Corporate Social Responsibility (CSR), merupakan wacana yang sedang mengemuka di dunia bisnis atau perusahaan. Wacana ini digunakan oleh perusahaan dalam rangka mengambil peran menghadapi perekonomian menuju pasar bebas. Perkembangan pasar bebas yang telah membentuk ikatan-ikatan ekonomi dunia dengan terbentuknya AFTA, APEC dan sebagainya, telah mendorong perusahaan dari berbagai penjuru dunia untuk secara bersama melaksanakan aktivitasnya dalam rangka mensejahterakan masyarakat di sekitarnya.

Sebagaimana hasil Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (Earth Summit) di Rio de Jeneiro Brazilia 1992, menyepakati perubahan paradigma pembangunan, dari pertumbuhan ekonomi (economic growth) menjadi pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Dalam perspektif perusahaan, di mana keberlanjutan dimaksud merupakan suatu program sebagai dampak dari usaha-usaha yang telah dirintis, berdasarkan konsep kemitraan dan rekanan dari masing-masing stakeholders. Ada lima elemen sehingga konsep keberlanjutan menjadi penting, di antaranya adalah ; (1) ketersediaan dana, (2) misi lingkungan (3) tanggung jawab sosial, (4) terimplementasi dalam kebijakan (masyarakat, korporat, dan pemerintah), (5) mempunyai nilai keuntungan (Idris, 2005).
Berbagai peristiwa negatif yang menimpa sejumlah perusahaan, terutama setelah reformasi, seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi para pemilik dan manajemen perusahaan untuk memberikan perhatian dan tanggung jawab yang lebih baik kepada masyarakat, khususnya di sekitar lokasi perusahaan. Sebab kelangsungan suatu usaha tidak hanya ditentukan oleh tingkat keuntungan, tapi juga tanggung jawab sosial perusahaan. Apa yang terjadi ketika banyak perusahaan didemo, dihujat, bahkan dirusak oleh masyarakat sekitar lokasi pabrik?
Bila ditelusuri, boleh jadi salah satu penyebabnya adalah kurangnya perhatian dan tanggung jawab manajemen dan pemilik perusahaan terhadap masyarakat maupun lingkungan di sekitar lokasi perusahaan. Investor hanya mengeduk dan mengeksploitasi sumber daya alam yang ada di daerah tersebut, tanpa memperhatikan faktor lingkungan. Selain itu, nyaris sedikit atau bahkan tidak ada keuntungan perusahaan yang dikembalikan kepada masyarakat. Justru yang banyak terjadi, masyarakat malah termarginalkan di daerah sendiri.
Kasus terbaru terjadi di Papua yang melibatkan PT Freeport, hingga menimbuklan efek domino dan menyebabkan chaos di daerah yang terkenal dengan potensi sumber daya alamnya tersebut. Di sekitar areal bertambangan yang mengalirkan jutaan Dollar perhari, kehidupan masyarakat masih hidup miskin dan nyaris tak tersentuh perhatian perusahaan. Bahkan berbagai tindakan anarkis ditimpakan kepada mereka saat mengais sisa produksi di areal pembuangan limbah.
Kekacauan tersebut seharusnya tidak terjadi bila perusahaan memberikan tanggungjawab sosialnya kepada masyarakat. Sebab seperti dikatakan mantan PM Thailand Anand Panyarachun pada Asian Forum on Coorporate Social Responsibility, 18 September 2003 di Bangkok, “melaksanakan praktik-praktik yang bertanggungjawab terhadap lingkungan dan sosial akan meningkatkan nilai pemegang saham, dan berdampak pada peningkatan prestasi keuangan serta menjamin sukses yang berkelanjutan bagi perusahaan.”
Pada kenyatannya CSR tidak serta merta dipraktikkan oleh semua perusahaan. Beberapa perusahaan yang menerapkan CSR justru dianggap sok sosial. Ada juga yang berhasil memberikan materi riil kepada masyarakat, namun di ruang publik nama perusahaan gagal menarik simpati orang. Tujuannya mau berderma sembari meneguk untung citra, tetapi malah ‘buntung’. Hal ini terjadi karena CSR dilakukan secara latah dan tidak didukung konsep yang baik. http://www.six-green.com/
Tujuan penulisan ini adalah untuk membuat konsep CSR yang efektif dan efisien untuk diaplikasikan oleh perusahaan. Dengan mengumpulkan literatur dari berbagai sumber yang sangat relevan di bidangnya, diharapkan tulisan ini bermanfaat bagi pembaca, khususnya praktisi dan peminat studi Public Relations (PR).
Studi Pustaka
Public Relations
Public Relations (PR) menurut Jefkins (2003) adalah suatu bentuk komunikasi yang terencana, baik itu ke dalam maupun ke luar, antara suatu organisasi dengan semua khalayaknya dalam rangka mencapai tujuan-tujuan spesifik yang berlandaskan pada saling pengertian. PR menggunakan metode manajemen berdasarkan tujuan (management by objectives). Dalam mengejar suatu tujuan, semua hasil atau tingkat kemajuan yang telah dicapai harus bisa diukur secara jelas, mengingat PR merupakan kegiatan yang nyata. Kenyataan ini dengan jelas menyangkal anggapan keliru yang mengatakan bahwa PR merupakan kegiatan yang astrak. Sedangkan British Institite Public Relations mendefinisikan PR adalah keseluruhan upaya yang dilakukan secara terencana dan berkesinambungan dalam rangka menciptakan dan memelihara niat baik (good-will) dan saling pengertian antara suatu organisasi dengan segenap khalayaknya.
Pertemuan asosiasi-asosiasi PR seluruh dunia di Mexico City pada bulan agustus 1978, menghasilkan pernyataan mengenai PR sebagai berikut: “Praktik PR adalah sebuah seni sekaligus ilmu sosial yang menganalisis berbagai kecenderungan, memperkirakan setiap kemungkinan konsekuensinya, memberi masukan dan saran-saran kepada para pemimpin organisasi, serta menerapkan program-program tindakan yang terencana untuk melayani kebutuhan organisasi dan kepentingan khalayaknya. Definisi tersebut mencakup aspek-aspek PR dengan aspek-aspek ilmu sosial dari suatu organisasi, yakni tanggungjawab organisasi atas kepentingan publik atau kepentingan masyarakat luas. Setiap organisasi dinilai berdasarkan sepak terjangnya. Jelas bahwa PR berkaitan dengan niat baik (goodwill) dan nama baik atau reputasi (Jefkins, 2003).
Soemirat dan Ardianto (2004) mengklasifikasikan publik dalam PR menjadi beberapa kategori yaitu:
1. Publik internal dan publik eksternal: Internal publik yaitu publik yang berada di dalam organisasi/ perusahaan seperti supervisor, karyawan pelaksana, manajer, pemegang saham dan direksi perusahaan. Eksternal publik secara organik tidak berkaitan langsung dengan perusahaan seperti pers, pemerintah, pendidik/ dosen, pelanggan, komunitas dan pemasok.
2. Publik primer, sekunder, dan marginal. Publik primer bisa sangat membantu atau merintangi upaya suatu perusahaan. 
Publik sekunder adalah publik yang kurang begitu penting dan publik marginal adalah publik yang tidak begitu penting. Contoh, anggota Federal Reserve Board of Governor (dewan gubernur cadangan federal) yang ikut mengatur masalah perbankan, menjadi publik primer untuk sebuah bank yang menunggu rotasi secara teratur, di mana anggita legislatif dan masyarakat menjadi publik sekundernya.
3. Publik tradisional dan publik masa depan. Karyawan dan pelanggan adalah publik tradisional, mahasiswa/pelajar, peneliti, konsumen potensial, dosen, dan pejabat pemerintah (madya) adalah publik masa depan.
4. Proponent, opponent, dan uncommitted. Di antara publik terdapat kelompok yang menentang perusahaan (opponents), yang memihak (proponents) dan ada yang tidak peduli (uncommitted). Perusahaan perlu mengenal publik yang berbeda-beda ini agar dapat dengan jernih melihat permasalahan.
5. Silent majority dan vocal minority: Dilihat dari aktivitas publik dalam mengajukan complaint (keluhan) atau mendukung perusahaan, dapat dibedakan antara yang vokal (aktif) dan yang silent (pasif). Publik penulis di surat kabar umumnya adalah the vocal minority, yaitu aktif menyuarakan pendapatnya, namun jumlahnya tak banyak. Sedangkan mayoritas pembaca adalah pasif sehingga tidak kelihatan suara atau pendapatnya.
Greener (2002) mengemukakan bahwa PR tidak satu arah arus informasi, ia memiliki dua fungsi peran juga. Dapat, sebagai contoh, membantu membentuk organisasi anda dengan informasi manajemen yang diharapkan, pendapat-pendapat dan hal-hal yang berkaitan dengan masyarakat ini, dan menerangkan serta memberi nasehat tentang suatu tindakan yang konsekuen. Dalam perannya ini, PR benar-benar merupakan fungsi manajemen, bertugas dengan tanggungjawab menjaga reputasi suatu organisasi ––membentuk, melindungi dan memperkenalkannya.
Berkaitan dengan fungsi manajemen, Hutapea (2000) menjelaskan bahwa PR adalah fungsi manajemen untuk membantu menegakkan dan memelihara aturan bersama dalam komunikasi, demi terciptanya saling pengertian dan kerjasama antara lembaga/ perusahaan dengan publiknya, membantu manajemen dan menanggapi pendapat publiknya, mengatur dan menekankan tanggungjawab manajemen dalam melayani kepentingan masyarakat, membantu manajemen dalam mengikuti, memonitor, bertindak sebagai suatu sistem tanda bahaya untuk membantu manajemen berjaga-jaga dalam menghadapi berbagai kemungkinan buruk, serta menggunakan penelitian dan teknik-teknik komunikasi yang efektif dan persuasif untuk mencapai semua itu.
Untuk implementasi PR secara konkrit di organisasi di masa mendatang, menurut Hubeis (2001) perlu diikuti dengan kegiatan seperti personal development, dan leadership building (konsep pengembangan diri, teknik presentasi yang menarik dan efektif, meningkatkan percaya diri, dan mentalitas sukses); pendirian maupun pemberdayaan pusat data dan informasi untuk mendukung pengembangan program unggulan, yang dimulai dari tahapan mengumpulkan, menyaring, mengolah dan menyebarluaskan informasi; temu aksi (demo, diskusi dan gelar produksi), dalam rangka mengembangkan tingkat komunikasi yang sesuai (intraindividual, interpersonal, intraorganizational dan extraorganizational); pengenalan sikap mitra kerja (teliti, konservatif, berkepala dingin, sensitif, keras dan berpandangan sempit); dan permasalahan yang sedang berkembang di masyarakat, dengan memperhatikan jangkauan media massa yang semakin luas, semakin tinggi tingkat kesadaran pengguna akan haknya terhadap barang atau jasa yang ditawarkan, tingginya mobilitas masyarakat desa ke kota, perubahan iklim politik yang sulit diduga, semakin kritis LSM dalam menyampaikan keluhan konsumen dan adanya produsen pesaing.
Dalam lingkungan bisnis yang berubah, PR ditempatkan pada platform yang lebih tinggi. Kebutuhan perusahaan yang berkembang tidak hanya mengembangkan produk atau jasa, tetapi harus berbuat lebih yakni membina hubungan positif dan konsisten dengan pihak-pihak yang terlibat dengan organisasi. Oleh karena itu, agar berkembang dan berfungsi optimal. PR harus didukung oleh berbagai pihak (Octavia, 2003).
Citra Perusahaan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian citra adalah: (1) kata benda: gambar, rupa, gambaran; (2) gambaran yang dimiliki orang banyak mengenai pribadi, perusahaan, organisasi atau produk; (3) kesan mental atau bayangan visual yang ditimbulkan oleh sebuah kata, frase atau kalimat, dan merupakan unsur dasar yang khas dalam karya prosa atau puisi; (4) data atau informasi dari potret udara untuk bahan evaluasi.
Katz dalam Soemirat dan Ardianto (2004) mengatakan bahwa citra adalah cara bagaimana pihak lain memandang sebuah perusahaan, seseorang , suatu komite, atau suatu aktivitas. Setiap perusahaan mempunyai citra. Setiap perusahaan mempunyai citra sebanyak jumlah orang yang memandangnya. Berbagai citra perusahaan datang dari pelanggan perusahaan, pelanggan potensial, bankir, staf perusahaan, pesaing, distributor, pemasok, asosiasi dagang, dan gerakan pelanggan di sektor perdagangan yang mempunyai pandangan terhadap perusahaan.
Jefkins (2003) menyebutkan beberapa jenis citra (image). Berikut ini lima jenis citra yang dikemukakan, yakni:
1. Citra bayangan (mirror image). Citra ini melekat pada orang dalam atau anggota-anggota organisasi––biasanya adalah pemimpinnya––mengenai anggapan pihak luar tentang organisasinya.
2. Citra yang berlaku (current image). Adalah suatu citra atau pandangan yang dianut oleh pihak-pihak luar mengenai suatu organisasi.
3. Citra yang diharapkan (wish image). Adalah suatu citra yang diinginkan oleh pihak manajemen.
4. Citra perusahaan (corporate image). Adalah citra dari suatu organisasi secara keseluruhan, jadi bukan sekedar citra atas produk dan pelayanannya.
5. Citra majemuk (multiple image). Banyaknya jumlah pegawai (individu), cabang, atau perwakilan dari sebuah perusahaan atau organisasi dapat memunculkan suatu citra yang belum tentu sama dengan organisasi atau perusahaan tersebut secara keseluruhan.
Soemirat dan Ardianto (2004) menjelaskan efek kognitif dari komunikasi sangat mempengaruhi proses pembentukan citra seseorang. Citra terbentuk berdasarkan pengetahuan dan informasi-informasi yang diterima seseorang. Komunikasi tidak secara langsung menimbulkan perilaku tertentu, tetapi cenderung mempengaruhi cara kita mengorganisasikan citra kita tentang lingkungan. Public Relations digambarkan sebagai input-output, proses intern dalam model ini adalah pembentukan citra, sedangkan input adalah stimulus yang diberikan dan output adalah tanggapan atau perilaku tertentu. Berikut ini adalah bagan dari orientasi PR, yakni image building (membangun citra) sebagai model komunikasi dalam PR yang dibuat oleh Soemirat dan Ardianto:
Efektivitas PR di dalam pembantukan citra (nyata, cermin dan aneka ragam) organisasi, erat kaitannya dengan kemampuan (tingkat dasar dan lanjut) pemimpin dalam menyelesaikan tugas organisasinya, baik secara individual maupun tim yang dipengaruhi oleh praktek berorganisasi (job design, reward system, komunikasi dan pengambilan keputusan) dan manajemen waktu/ perubahan dalam mengelola sumberdaya (materi, modal dan SDM) untuk mencapai tujuan yang efisien dan efektif, yaitu mencakup penyampaian perintah, informasi, berita dan laporan, serta menjalin hubungan dengan orang. Hal ini tentunya erat dengan penguasaan identitas diri yang mencakup aspek fisik,
personil, kultur, hubungan organisasi dengan pihak pengguna, respons dan mentalitas pengguna (Hubeis, 2001).
Praktisi humas senantiasa dihadapkan pada tantangan dan harus menangani berbagai macam fakta yang sebenarnya, terlepas dari apakah fakta itu hitam, putih, atau abu-abu. Perkembangan komunikasi tidak memungkinkan lagi bagi suatu organisasi untuk menutup-nutupi suatu fakta. Citra humas yang ideal adalah kesan yang benar, yakni sepenuhnya berdasarkan pengalaman, pengetahuan, serta pemahaman atas kenyataan yang sesungguhnya. Itu berarti citra tidak seharusnya “dipoles agar lebih indah dari warna aslinya”, karena hal itu justru dapat mengacaukannya (Anggoro, 2002).
Corporate Social Responsibility (CSR)
Definisi CSR menurut World Business Council on Sustainable Development adalah komitmen dari bisnis/perusahaan untuk berperilaku etis dan berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, seraya meningkatkan kualitas hidup karyawan dan keluarganya, komunitas lokal dan masyarakat luas. Definisi lain, CSR adalah tanggung jawab perusahaan untuk menyesuaikan diri terhadap kebutuhan dan harapan stakeholders sehubungan dengan isu-isu etika, sosial dan lingkungan, di samping ekonomi (Warta Pertamina, 2004).
Sedangkan Petkoski dan Twose (2003) mendefinisikan CSR sebagai komitmen bisnis untuk berperan untuk mendukung pembangunan ekonomi, bekerjasama dengan karyawan dan keluarganya, masyarakat lokal dan masyarakat luas, untuk meningkatkan mutu hidup mereka dengan berbagai cara yang menguntungkan bagi bisnis dan pembangunan.
Di dalam Green Paper Komisi Masyarakat Eropa 2001 dinyatakan bahwa kebanyakan definisi tanggungjwab sosial korporat menunjukkan sebuah konsep tentang pengintegrasian kepedulian terhadap masalah sosial dan lingkungan hidup ke dalam operasi bisnis perusahaan dan interaksi sukarela antara perusahaan dan para stakeholder-nya. Ini setidaknya ada dua hal yang terkait dengan tanggungjawab sosial korporat itu yakni pertimbangan sosial dan lingkungan hidup serta interaksi sukarela (Irianta, 2004).
Dalam prinsip responsibility, penekanan yang signifikan diberikan pada kepentingan stakeholders perusahaan. Di sini perusahaan diharuskan memperhatikan kepentingan stakeholders perusahaan, menciptakan nilai tambah (value added) dari produk dan jasa bagi stakeholders perusahaan, dan memelihara kesinambungan nilai tambah yang diciptakannya. Sedangkan stakeholders perusahaan dapat didefinisikan sebagai pihak-pihak yang berkepentingan terhadap eksistensi perusahaan. Termasuk di dalamnya adalah karyawan, konsumen, pemasok, masyarakat, lingkungan sekitar, dan pemerintah sebagai regulator. CSR sebagai sebuah gagasan, perusahaan tidak lagi dihadapkan pada tanggung jawab yang berpijak pada single bottom line, yaitu nilai perusahaan (corporate value) yang direfleksikan dalam kondisi keuangannya (financial) saja. Tapi tanggung jawab perusahaan harus berpijak pada triple bottom lines. Di sini bottom lines lainnya selain finansial juga adalah sosial dan lingkungan. Karena kondisi keuangan saja tidak cukup menjamin nilai perusahaan tumbuh secara berkelanjutan (sustainable).Keberlanjutan perusahaan hanya akan terjamin apabila, perusahaan memperhatikan dimensi sosial dan lingkungan hidup. Sudah menjadi fakta bagaimana resistensi masyarakat sekitar, di berbagai tempat dan waktu muncul ke permukaan terhadap perusahaan yang dianggap tidak memperhatikan aspek-aspek sosial, ekonomi dan lingkungan hidupnya (Idris, 2005).
Perusahaan-perusahaan yang memiliki reputasi bagus, umumnya menikmati enam hal. Pertama, hubungan yang baik dengan para pemuka masyarakat. Kedua, hubungan positif dengan pemerintah setempat. Ketiga, resiko krisis yang lebih kecil. Keempat, rasa kebanggaan dalam organisasi dan di antara khalayak sasaran. Kelima, saling pengertian antara khalayak sasaran, baik internal maupun eksternal. Dan terakhir, meningkatkan kesetiaan para staf perusahaan (Anggoro, 2002).
Dalam “Model Empat Sisi CSR” perusahaan memiliki tanggung jawab ekonomis, yaitu berbisnis dan mendapatkan profit. Selain itu, ada tanggung jawab legal, semisal keharusan membayar pajak, memenuhi persyaratan Amdal, dan lain-lain. Di luar itu ada tanggung jawab ethical atau etis. Misalnya perusahaan berlaku fair, tidak membeda-bedakan ras, gender, tidak korupsi, dan hal-hal semacam itu. Sementara yang keempat, tanggung jawab discretionary. Tanggung jawab yang seharusnya tidak harus dilakukan, tapi perusahaan melakukan juga atas kemauan sendiri (Warta Pertamina, 2004).
Fajar (2005) mengatakan perilaku para pengusaha pun beragam, dari kelompok yang sama sekali tidak malaksanakan sampai kelompok yang menjadikan CSR sebagai nilai inti (core value) dalam menjalankan usaha. Dalam pengamatannya, terkait dengan praktik CSR, pengusaha dikelompokkan menjadi empat: kelompok hitam, merah, biru, dan hijau.
Kelompok hitam adalah mereka yang tidak melakukan praktik CSR sama sekali. Mereka adalah pengusaha yang menjalankan bisnis semata-mata untuk kepentingan sendiri. Kelompok isi sama sekali tidak peduli pada aspek lingkungan dan sosial sekelilingnya dalam menjalankan usaha, bahkan tidak memperhatikan kesejahteraan karyawannya.
Kelompok merah adalah mereka yang mulai melaksanakan praktik CSR, tetapi memandangnya hanya sebagai komponen biaya yang akan mengurangi keuntungannya. Aspek lingkungan dan sosial mulai dipertimbangkan, tetapi dengan keterpaksaan yang biasanya dilakukan setelah mendapat tekanan dari pihak lain, seperti masyarakat atau lembaga swadaya masyarakat. Kesejahteraan karyawan baru diperhatikan setelah karyawan ribut atau mengancam akan mogok kerja. Kelompok ini umumnya berasal dari kelompok satu (kelompok hitam) yang mendapat tekanan dari stakeholders-nya, yang kemudian dengan terpaksa memperhatikan isu lingkungan dan sosial, termasuk kesejahteraan karyawan. CSR jenis ini kurang berimbas pada pembentukan citra positif perusahaan karena publik melihat kelompok ini memerlukan tekanan (dan gertakan) sebelum melakukan praktik CSR. Praktik jenis ini tak akan mampu berkontribusi bagi pembangunan berkelanjutan.
Kelompok ketiga adalah mereka yang menganggap praktik CSR akan memberi dampak positif (return) terhadap usahanya dan menilai CSR sebagai investasi, bukan biaya. Karenanya, kelompok ini secara sukarela dan sungguh-sungguh melaksanakan praktik CSR dan yakin bahwa investasi sosial ini akan berbuah pada lancarnya operasional usaha. Mereka mendapat citra positif karena masyarakat menilainya sungguh-sungguh membantu. Selayaknya investasi, kelompok ini menganggap praktik CSR adalah investasi sosial jangka panjang. Mereka juga berpandangan, dengan melaksanakan praktik CSR yang berkelanjutan, mereka akan mendapat ijin operasional dari masyarakat. Kita dapat berharap kelompok ini akan mampu memberi kontribusi bagi pembangunan berkelanjutan.
Kelompok keempat, kelompok hijau, merupakan kelompok yang sepenuh hati melaksanakan praktik CSR. Mereka telah menempatkannya sebagai nilai inti dan menganggap sebagai suatu keharusan, bahkan kebutuhan, dan menjadikannya sebagai modal sosial (ekuitas). Karenanya, mereka meyakini, tanpa melaksanakan CSR, mereka tidak memiliki modal yang harus dimiliki dalam menjalankan usaha mereka. Mereka sangat memperhatikan aspek lingkungan, aspek sosial dan kesejahteraan karyawannya serta melaksanakan prinsip transparansi dan akuntabilitas. Kelompok ini juga memasukkan CSR sebagai bagian yang terintegrasi ke dalam model bisnis atas dasar kepercayaan bahwa suatu usaha harus mempertimbangkan aspek lingkungan dan sosial. Mereka percaya, ada nilai tukar (trade-off) atas triple bottom line (aspek ekonomi, lingkungan, dan sosial). Buahnya, kelompok ini tidak saja mendapat citra positif, tetapi juga kepercayaan, dari masyarakat yang selalu siap membela keberlanjutan usaha kelompok ini. Tak mengherankan, kelompok hijau diyakini akan mampu berkontribusi besar terhadap pembangunan berkelanjutan.
Membangun Citra Perusahaan Melalui Program CSR
CSR dan Citra Korporat
Dalam News Of PERHUMAS (2004) disebutkan, bagi suatu perusahaan, reputasi dan citra korporat merupakan aset yang paling utama dan tak ternilai harganya. Oleh karena itu segala upaya, daya dan biaya digunakan untuk memupuk, merawat serta menumbuhkembangkannya. Beberapa aspek yang merupakan unsur pembentuk citra & reputasi perusahaan antara lain; (1) kemampuan finansial, (2) mutu produk dan pelayanan, (3) fokus pada pelanggan, (4) keunggulan dan kepekaan SDM, (5) reliability, (6) inovasi, (7) tanggung jawab lingkungan, (8) tanggung jawab sosial, dan (9) penegakan Good Corporate Governance (GCG).
Arus globalisasi telah memicu dinamika lingkungan usaha ke arah semakin liberal, sehingga mendorong setiap entitas bisnis melakukan perubahan pola usaha melalui penerapan nilai-nilai yang ada dalam prinsip GCG, yakni: fairness, transparan, akuntabilitas dan responsibilitas, termasuk tanggung jawab terhadap lingkungan, baik fisik maupun sosial. Berdasarkan pertimbangan nilai dan prinsip GCG, maka dalam rangka meningkatkan citra dan reputasi dan sebagai upaya untuk menunjang kesinambungan investasi, setiap enterprise memerlukan tiga hal:
1. Adil (fair) kepada seluruh stakeholders (tidak hanya kepada shareholders).
2. Proaktif (juga), berperan sebagai agent of change dalam pemberdayaan masyarakat di daerah operasi.
3. Efisien, berhati-hati dalam pengeluaran biaya yang sia-sia terutama untuk penyelesaian masalah yang timbul dengan stakeholders fokus di sekitar daerah operasi.
Corporate Social Responsibility (CSR) telah diuraikan terdahulu bahwa sebagai suatu entitas bisnis dalam era pasar bebas yang sangat liberal dan hyper competitive, perusahaan-perusahaan secara komprehensif dan terpadu melakukan best practices dalam menjalankan usahanya dengan memperhatikan nilai-nilai bisnis GCG, termasuk tanggung jawab terhadap lingkungan, baik fisik (berkaitan dengan sampah, limbah, polusi dan kelestarian alam) maupun sosial kemasyarakatan. Tanggung jawab perusahaan terhadap lingkungan diejawantahkan dalam kebijakan Kesehatan Keselamatan Kerja & Lindungan Lingkungan (K3LL) dan program Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility/CSR).
Berdasarkan sifatnya, pelaksanaan program CSR dapat dibagi dua, yaitu :
1. Program Pengembangan Masyarakat (Community Development/CD); dan
2. Program Pengembangan Hubungan/Relasi dengan publik (Relations Development/RD).
Sasaran dari Program CSR (CD & RD) adalah: (1) Pemberdayaan SDM lokal (pelajar, pemuda dan mahasiswa termasuk di dalamnya); (2) Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat sekitar daerah operasi; (3) Pembangunan fasilitas sosial/umum, (4) Pengembangan kesehatan masyarakat, (5) Sosbud, dan lain-lain.
Seminar “Corporate-Stakeholder Partnership: Toward Productive Relations” yang diadakan Lead Indonesia bekerjasama dengan Labsosio FISIP UI di Jakarta, 14 Juni 2005 (dalam www.lead.or.id, 2005), menyimpulkan beberapa hal berkaitan dengan pembentukan citra perusahaan yaitu: perlunya kemitraan, siapa saja stakeholders, tiga skenario kemitraan, prasyarat kemitraan yang sukses, dan peran pemerintah dan masyarakat. Pembahasan tersebut menunjukkan bahwa lingkungan bisnis dan sosial yang berubah menuntut perubahan paradigma dan tindakan. Dalam hal ini melihat semakin mendesaknya pengembangan kemitraan yang otentik dan produktif antara perusahaan, pemerintah dan masyarakat untuk mencapai pembangunan yang adil serta berkelanjutan secara sosial dan lingkungan, berikut penjelasannya:
Mengapa Perlu Kemitraan
Kemitraan (partnership) antara korporasi dengan stakeholders menjadi suatu keharusan dalam lingkungan bisnis yang berubah. Pola konvensional ”business as usual” telah menghasilkan keadaan negatif seperti terdesaknya kepentingan publik (“enlightened common interests”), kelangkaan barang jasa publik, dan pencemaran lingkungan. Demikian pula berbagai dinamika sosial yang muncul seperti reformasi, demokratisasi dan desentralisasi menghasilkan stakeholders dan masyarakat yang semakin kiritis. Mereka berupaya meningkatkan taraf hidupnya serta memposisikan diri sebagai subyek dan mitra yang setara. Dalam hal ini, korporasi perlu menginternalisasi masalah eksternal perusahaan secara terencana sehingga dapat mencegah kekagetan dan krisis yang dapat mengancam keberlangsungan kegiatan dan keberadaan korporasi.
Kemitraan dapat menghasilkan solusi antara argumen yang menekankan market atau profit (“the business of business is business” yang memprioritaskan shareholders) dengan argumen moral (atau Corporate Social Responsibility atau CSR yang memperhatikan stakeholders). Dalam hal ini stakeholders termasuk lingkungan yang “diam” (“silent” stakeholders atau flora dan fauna ). Dengan kata lain, kemitraan merupakan suatu investasi—bukan cost—dan dapat menghasilkan win-win solution atau sinergi yang menghasilkan keadilan bagi masyarakat dan keamanan berusaha serta keserasian dengan lingkungan.
Siapa Saja Stakeholders
Kemitraan dengan stakeholders ini memerlukan kejelasan dengan definisi stakeholders itu sendiri: siapa saja mereka itu? Terdapat pendapat yang menyatakan pentingnya internal stakeholders dalam setiap perusahaan yakni karyawan yang juga merupakan primary stakeholders terutama dalam usaha manufacturing. Jenis usaha sektor lainnya lebih menekankan komunitas sekitar korporasi seperti dalam usaha ekstraktif (mineral dan tambang). Demikian pula konsumen dalam sektor jasa maupun suppliers dan usaha kecil (UKM) telah pula dipandang sebagai stakeholders. Dalam hal ini peran pemerintah lokal, kabupaten, propinsi dan nasional dianggap pula sebagai stakeholders yang penting.
Pendefinisian stakeholders penting karena dapat menghindarkan penyamaan atau penyederhanaan “Tanggung Jawab Sosial” (CSR) dengan “pengembangan komunitas” atau community development (CD) karena “CSR is beyond or more than CD.” Jelaslah bahwa CSR mencakup berbagai kegiatan yang mendukung Good Corporate Governance (seperti ketaatan membayar pajak) dan upaya pecapaian Good Corporate Citizenship. Dalam banyak kasus seringkali CD mendominasi CSR dan terjadi dalam industri ekstraktif dimana peran komunitas lingkungan yang sumberdaya alamnya merasa “terambil” memerlukan pendekatan khusus untuk mencegah konflik.
Hal yang sangat penting dalam kemitraan adalah data dan indikator maupun riset mengenai siapa saja dan aspirasi mereka (stakeholders’ map and dialogue). Sebagai contoh data mengenai komunitas, sumber daya air atau potensi UKM (Usaka Mikro Kecil dan Menengah) akan membantu mengoptimalkan kinerja kemitraan.
Tiga Skenario Kemitraan
Kemitraan antara perusahaan dengan stakeholders dapat mengarah ke tiga skenario: “un-productive,” “semi-productive,” atau “productive.” Skenario “un-productive” akan terjadi jika perusahaan masih berpikir degan pola konvensional yang hanya mengutamakan kepentingan shareholders atau paradigma “the business of business is business.” Dalam skenario ini situasi “low trust” terjadi dan tiada stakeholders engagement dimana mereka masih dianggap sebagai obyek dan masalah diluar perusahaan (“eksternalitas”) tidak diinternalisasikan. Dalam skenario ini kemitraan dapat saja terjadi namun lebih bersifat negatif dengan stakeholders negatif pula seperti oknum aparat atau preman. Berbagai keadaan negatif dapat terjadi misalnya pemogokan atau “slow-down” oleh buruh, boikot oleh konsumer, blokade oleh komunitas, dan pencemaran lingkungan dan eksploitasi sumber daya alam dengan sewenang-wenang serta pelanggaran HAM komunitas lokal. Keadaan terburuk yang dapat terjadi adalah terhentinya kegiatan maupun keberadaan perusahaan.
Pola kedua adalah kemitraan yang “semi-produktif” yang bercirikan kepentingan jangka pendek dan belum atau tidak menimbulkan “sense of belonging” di pihak stakeholders. Kerjasama lebih mengandung aspek charity atau Public Relation (PR) dimana stakeholders masih lebih dianggap sebagai obyek. Dengan kata lain, kemitraan masih belum otentik (genuine) dan masih mengedepankan kepentingan diri (self-interest) perusahaan, bukan kepentingan bersama (common interests) antara perusahaan dengan stakeholders. Dengan kata lain, shareholders engagement masih disekitar tahap “low trust.”
Kemitraan yang “productive” dan otentik menekankan stakeholders sebagai subyek dan dalam paradigma “common interest.” Pola ini dapat saja didukung oleh “resource-based partnership” dimana stakeholders diberi kesempatan menjadi shareholders. Sebagai contoh, karyawan memperoleh saham melalui Employee Stock Ownership Program (ESOP), dan hal ini akan membantu kelancaran produksi. Demikian pula saham untuk komunitas atau pemerintah daerah dapat meningkatkan community security. Kasus Exxon di Blok Cepu menjadi menarik dimana Pemda Bojonegoro direncanakan akan memperoleh 10% saham. Keadaan ini menimbulkan “sense of belonging” dan high-trust serta hubungan sinergis antara subyek-subyek dalam paradigma “common interests.”
Ketiga skenario diatas dapat digunakan untuk menganalisis keberadaan kemitraan setiap perusahaan dan jelaslah terlihat bahwa stakeholders dapat saja lebih berperan mempengaruhi kehidupan perusahaan dibandingkan dengan shareholders. Dengan kata lain, dinamika saham (share) di bursa saham dapat sangat dipengaruhi oleh dinamika stakeholders di lapangan.
Prasyarat Kemitraan yang Sukses
Program kemitraan yang sukses atau “productive” dimulai dengan adanya kehendak yang kuat dan tulus dari pimpinan di perusahan dan kelompok stakeholders. Di pihak perusahaan, diperlukan adanya komitmen dari pimpinan perusahaan (CEO) yang berupaya tanpa henti untuk mengubah paradigma konvensionl (self-interest) ke paradigma baru (enlightened common interests). Kemitraan yang sukses dapat pula didorong oleh komisi atau panel independen (Kasus BP di Tangguh, Papua) yang berfungsi sebagai ombudsman dan melaporkannya pada pimpinan pusat perusahaan. Selain itu perlu meletakkan posisi unit yang mengatur kemitraan (CSR) dalam struktur yang cukup penting dalam perusahaan. Demikian pula staf unit CSR harus mempunyai kompetensi, pengalaman dan kecakapan sosial (social skills) dan bukanlah “orang buangan” di perusahaan. Mereka harus sensitif pada kebutuhan dan kondisi lokal termasuk menghormati simbol, nilai, situs sakral maupun keberadaan pemuka masyarakat. Mencapai kemitraan yang sukses berarti selalu mempelajari dan mengambil manfaat dari berbagai kasus yang gagal atau sukses (best practices) di masa lalu. Selain itu perlu pula sosialisasi pada perusahaan yang masih belum sadar atas pentingnya kemitraan dan CSR.
Peran Pemerintah dan Masyarakat
Keberadaan dan peran perusahaan tidaklah terlepas dari peran pemerintah dan masyarakat. Dalam hal ini peran pemerintah sebagai penjamin keamanan dan penegak hukum serta menciptakan iklim bisnis yang kondusif akanlah sangat menentukan dalam keberlanjutan hidup perusahaan. Selain itu pemerintah dituntut untuk melakukan intervensi pasar melalui pajak, subsidi untuk mendorong penggunaan renewable resources, pengembangan eco-efficiency serta kebijakan distribusi resources yang mengindahkan equity. Pemerintah juga diharapkan untuk berinisiatif membentuk forum stakeholders sebagai wadah kemitraan yang disertai kegiatan dan indikator kinerja yang nyata. Seperti juga perusahaan yang dituntut untuk melakukan CSR maka pemerintah harus pula memenuhi political accountability terhadap warga negara pemberi mandat. Saat ini terdapat pro kontra jika pemerintah daerah kurang berfungsi dan mendorong perusahaan (terutama dalam industri ekstraktif) menjadi quasi government. Di satu pihak, hal ini akan menurunkan kewibawaan dan peran pemerintah namun di lain pihak hal ini merupakan upaya pembelajaran dalam pencapaian good governance. Salah satu ujian penting dari kinerja pemerintah adalah mensukseskan pelaksanaan otonomi daerah dan pemilihan kepala daerah sehingga mendukung segitiga kemitraan dengan perusahaan dan masyarakat.
Demikian juga masyarakat mempunyai peran yang penting sebagai penghubung antara pemerintah dengan perusahaan. Masyarakat diharapkan menjadi aktif dan mengkoreksi dampak pembangunan, menyampaikan aspirasi publik serta dinamisator keberdayaan publik. Dalam hal ini masyarakat harus dapat pula mengatasi anggotanya yang berperilaku negatif (bad elements of civil society) dengan pembuatan aturan perilaku (code of conducts). Pemberian “mandat sosial” bagi perusahaan untuk beroperasi hendaknya didukung pula oleh “proteksi sosial.” Hal ini akan semakin mendesak jika terjadi pemberian saham yang dapat saja menimbulkan konflik di dalam masyarakat sendiri. Dengan kata lain, good governance perlu dikembangkan pula di masyarakat selain di pemerintah dan perusahaan.
Kebijakan Publik untuk CSR
Petkoski dan Twose (2003) mengatakan walaupun agenda CSR saat ini sedang didewasakan, istilah “CSR” belum mengambil banyak peran di sektor publik, baik di negara industri atau negara berkembang. Sebagian pemerintah yang berinisiatif melakukannya dijuluki sebagai “pro-CSR initiatives”, meskipun begitu banyak orang sudah mendukung secara efektif promosi tentang tanggung jawab sosial yang lebih besar. Sebagai contoh, perangsang utama aktivitas sektor publik yang mempromosikan barang ekspor dan barang-barang pendukung atau jasa cukuplah untuk mendapat tambahan devisa, tapi mereka masih mempunyai dampak positif dengan memberi harapan bertanggung jawab produksi.
Para agen sektor publik yang tidak menggunakan ungkapan “corporate social responsibility” tidak melakukan kegiatan apa pun. Tantangannya adalah mengidentifikasi prioritas dan inisiatif dalam kaitan dengan pembangunan lokal dan nasional berdasar pada kapasitas dan inisiatif. Ada satu kesempatan penting bagi sektor publik di negara berkembang untuk memanfaatkan gairah “CSR” sekarang ini, sepanjang berada dalam tujuan dan prioritas kebijakan publik dan mendorong pengakuan keduanya.
Perhatian yang bertumbuh seiring dengan potensi prioritas sektor publik dan CSR pada aktivitas bisnis, paling sedikit mengenai sosial dan praktik manajemen lingkungan ke hulu industri ekstraktif. Hal ini menerima tanpa bukti: bagaimana mungkin kebijakan publik dirumuskan untuk memperkuat kesejajaran, sedangkan kepastian itu menghasilkan intervensi keduanya ‘optimal’––baik untuk bisnis dan development––dan ‘feasible’––dalam batasan hubungan kelembagaan para agen sektor publik dan pengarah nilai bisnis. Tabel yang dirumuskan World Bank di bawah ini memberikan gambaran potensi kesejajaran antara CSR dalam praktek bisnis serta kebijakan dan tanggungjawab sektor publik.
Penerapan CSR yang Lebih Strategis
Aryani (2006) mencatat bahwa konsep dan praktik CSR sudah menunjukkan gejala baru sebagai keharusan yang realistis diterapkan. Para pemilik modal tidak lagi menganggap sebagai pemborosan. Masyarakat pun menilai sebagai suatu yang perlu. Hal ini terkait dengan meningkatnya kesadaran sosial kemanusiaan dan lingkungan. Di luar itu, dominasi dan hegemoni perusahaan besar sangat penting peranannya di masyarakat. Kekuasaan perusahaan yang semakin besar, sebagaimana dinilai Dr David Korten, penulis buku When Corporations Rule the World melukiskan bahwa dunia bisnis, selama setengah abad terakhir, telah menjelma menjadi institusi yang paling berkuasa di jagad ini.
Bahkan pengamat globalisasi Dr Noorena Herzt (dalam Aryani, 2006) berpendapat bahwa perusahaan-perusahaan besar di berbagai negara telah mengambil alih secara diam-diam kekuasaan politik dari kalangan politisi. Pengambilalihan secara diam-diam (the silent take over) ini terjadi karena kian ketatnya produk hukum yang menuntut tanggungjawab sosial kaum pemodal. Akibatnya, menurut Noorena, pemodal harus masuk dalam dunia politik agar tidak terus terpojok dengan tuntutan politik pemerintah dan masyarakat. Bahkan menurut Noorena, dalam satu dasawarsa terakhir ini, peranan CSR perusahaan besar sangat berperan di masyarakat ketimbang peranan institusi publik (negara). Memang pada kenyataannya kita tidak bisa mengelak perubahan mendasar dunia sebagaimana dikatakan Noorena tersebut. Dunia telah menjelma realitas di mana kapitalisme menjadi panggung yang absah bagi kehidupan kita. Berpijak pada reel kapitalisme global inilah seluruh tanggung jawab kehidupan umat manusia harus selalu mempertimbangkan kepentingan para pebisnis. Pertimbangan bukan berarti harus tunduk, melainkan harus saling menjaga kepentingan.
Kapitalisme dikatakan Aryani (2006) tidak identik dengan pengerukan modal tanpa pertimbangan sosial. Bahkan untuk era baru sekarang ini, kapitalisme hanya bisa berkembang baik jika bersinergi dengan dunia sosial. Sejalan dengan itu, masyarakat modern sudah menjauh dari sikap anti kapitalisme. Ideologi, baik sosialisme maupun kapitalisme sudah menjauh dari imajinasi orang. Hanya saja karena kapitalisme telah menjadi realitas, maka jalur kehidupan masyarakat mau tidak mau harus melewati reel kapitalisme. Kini orang menyadari bahwa yang terpenting bukanlah ideologi, melainkan sikap kompromi untuk menemukan jalan terbaik. Karena itu, pemerintah tidak boleh tunduk oleh kaum pemodal, sebagaimana kaum pemodal tidak boleh tunduk oleh politisi. Rakyat, pemerintah dan pemodal harusnya berada dalam pihak yang setara merumuskan strategi kebijakan publik untuk kepentingan bersama. Di negara kapitalis, penciptaan ruang publik yang demikian itu sudah berjalan. Bahkan peranan CSR perusahaan sangat menguntungkan pemodal. Pemerintah juga untung karena selain mudah melobi pembayaran pajak juga terbantu tanggungjawab sosialnya kepada rakyat miskin.
Pakar pemasaran Craig Semit (dalam Aryani, 2006) yang merintis pendekatan baru CSR yang dia sebut The Corporat Philanthropy berpendapat bahwa kegiatan CSR harus disikapi secara strategis dengan melakukan alighment (penyelarasan) inisiatif CSR yang relevan dengan produk inti (core product) dan pasar inti (core market), membangun indentitas merek (brand indentity), bahkan lebih tegas lagi untuk menggaet pangsa pasar, melakukan penetrasi pasar, atau menghancurkan pesaing. Kegiatan CSR yang diarahkan memperbaiki konteks korporat inilah yang memungkinkan alighment antara manfaat sosial dan bisnis dari kegiatan CSR yang muaranya untuk meraih keuntungan materi dan keuntungan sosial dalam jangka panjang. CSR tidak haram dipraktikkan, bahkan dengan target mencari untung. Yang terpenting adalah kemampuan menerapkan strategi. Jangan sampai karena CSR biaya operasional justru menggerogoti keuangan. Jangan pula karena praktik CSR masyarakat justru antipati.
Peran PR dalam Implementasi CSR
Idris (2005) mengemukakan sesungguhnya substansi keberadaan CSR adalah dalam rangka memperkuat keberlanjutan perusahaan itu sendiri di sebuah kawasan, dengan jalan membangun kerjasama antar stakeholders yang difasilitasi perusahaan tersebut dengan menyusun program-program pengembangan masyarakat sekitarnya. Atau dalam pengertian kemampuan perusahaan untuk dapat beradaptasi dengan lingkungannya, komunitas dan stakeholder yang terkait dengannya, baik lokal, nasional, maupun global. Karenanya pengembangan CSR ke depan seyogianya mengacu pada konsep pembangunan yang berkelanjutan (Sustainability development).
Prinsip keberlanjutan ini mengedepankan pertumbuhan, khususnya bagi masyarakat miskin dalam mengelola lingkungannya dan kemampuan institusinya dalam mengelola pembangunan, serta strateginya adalah kemampuan untuk mengintegrasikan dimensi ekonomi, ekologi, dan sosial yang menghargai kemajemukan ekologi dan sosial budaya. Kemudian dalam proses pengembangannya tiga stakeholders inti diharapkan mendukung penuh, di antaranya adalah; perusahaan, pemerintah dan masyarakat.
Dalam implementasi program-program dalam CSR, diharapkan ketiga elemen di atas saling berinteraksi dan mendukung, karenanya dibutuhkan partisipasi aktif masing-masing stakeholders agar dapat bersinergi, untuk mewujudkan dialog secara komprehensif. Karena dengan partisipasi aktif para stakeholders diharapkan pengambilan keputusan, menjalankan keputusan, dan pertanggungjawaban dari implementasi CSR akan di emban secara bersama.Tapi dalam hal memandang dan menyikapi CSR ke depan, sesungguhnya perlu ada kajian dan sosialisasi yang serius di internal perusahaan dari semua departemen di dalamnya. Paling tidak untuk menyamakan persepsi di antara pelaku dan pengambil kebijakan di dalam satu perusahaan, karena perubahan paradigma pengelolaan perusahaan yang terjadi saat ini, baik ditingkat lokal maupun global, tidak serta merta dipahami oleh pengelola dan pengambil kebijakan di satu perusahaan sehingga pemahaman akan wacana dan implementasi CSR beragam pula, dan otomatis akan mengalami hambatan-hambatan secara internal perusahaan.
Kesadaran tentang pentingnya mengimplementasikan CSR ini menjadi tren global seiring dengan semakin maraknya kepedulian masyarakat global terhadap produk-produk yang ramah lingkungan dan diproduksi dengan memperhatikan kaidah-kaidah sosial dan prinsip-prinsip hak azasi manusia (HAM). Bank-bank di Eropa menerapkan kebijakan dalam pemberian pinjaman hanya kepada perusahaan yang mengimplementasikan CSR dengan baik. Sebagai contoh, bank-bank Eropa hanya memberikan pinjaman pada perusahaan-perusahaan perkebunan di Asia apabila ada jaminan dari perusahaan tersebut, yakni ketika membuka lahan perkebunan tidak dilakukan dengan membakar hutan.
Menghadapi tren global dan resistensi masyarakat sekitar perusahaan, maka sudah saatnya setiap perusahaan memandang serius pengaruh dimensi sosial, ekonomi dan lingkungan dari setiap aktivitas bisnisnya, serta berusaha membuat laporan setiap tahunnya kepada stakeholders-nya. Laporan bersifat non financial yang dapat digunakan sebagai acuan oleh perusahaan dalam melihat dimensi sosial, ekonomi dan lingkungannya.
Kemudian diharapkan sosialisasi wacana dan tren CSR ini, tidak hanya bergulir di lingkup manajemen perusahaan tetapi juga kepada semua shareholders dan stakeholders secara luas, agar implementasinya berlangsung secara elegan, dengan harapan perusahaan, pemerintah, dan masyarakat sebagai komponen shareholders dan stakeholders bisa mengambil peran yang signifikan, untuk mengeliminir resistensi kelompok-kelompok yang senantiasa mengatasnamakan masyarakat untuk melakukan “pemerasan” kepada perusahaan dengan mengusung tema-tema CSR dalam setiap aksinya, tapi tidak mengerti substansi CSR itu sendiri, dan miskin data.
Dalam implementasi CSR ini public relations (PR) mempunyai peran penting, baik secara internal maupun eksternal. Dalam konteks pembentukan citra perusahaan, di semua bidang pembahasan di atas boleh dikatakan PR terlibat di dalamnya, sejak fact finding, planning, communicating, hingga evaluation. Jadi ketika kita membicarakan CSR berarti kita juga membicarakan PR sebuah perusahaan, di mana CSR merupakan bagian dari community relations. Karena CSR pada dasarnya adalah kegiatan PR, maka langkah-langkah dalam proses PR pun mewarnai langkah-langkah CSR.
Irianta (2004) memandang community relations berdasarkan dua pendekatan. Pertama, dalam konsep PR lama yang memosisikan organisasi sebagai pemberi donasi, maka program community relations hanyalah bagian dari aksi dan komunikasi dalam proses PR. Bila berdasarkan pengumpulan fakta dan perumusan masalah ditemukan bahwa permasalahan yang mendesak adalah menangani komunitas, maka dalam perencanaan akan disusun program community relations. Ini kemudian dijalankan melalui aksi dan komunikasi. Kedua, yang memosisikan komunitas sebagai mitra, dan konsep komunitasnya bukan sekedar kumpulan orang yang berdiam di sekitar wilayah operasi organisasi, community relations dianggap sebagai program tersendiri yang merupakan wujud tanggungjawab sosial organisasi.
Dengan menggunakan tahapan-tahapan dalam proses PR yang bersifat siklis, maka program dan kegiatan CSR dilakukan melalui tahapan-tahapan berikut:
1. Pengumpulan Fakta
Banyak permasalahan yang dihadapi masyarakat sekitar daerah operasional perusahaan. Mulai dari permasalahan lingkungan seperti polusi, sanitasi lingkungan, pencemaran sumber daya air, penggundulan hutan sampai dengan permasalahan ekonomi seperti tingkat pengangguran yang tinggi, sumber daya manusia yang tidak berketerampilan, rendahnya kemauan berwirausaha dan tingkat produktivitas individu yang rendah.
PR bisa mengumpulkan data tentang permasalahan tersebut dari berbagai sumber, misalnya dari berita media massa, data statistik, obrolan warga, atau keluhan langsung dari masyarakat. Selain itu masih banyak sumber yang bisa digunakan untuk mengumpulkan fakta mengenai persoalan sosial yang dihadapi komunitas. PR juga bisa menelusuri laporan-laporan hasil penelitian yang dilakukan perguruan tinggi atau LSM mengenai kondisi sosial ekonomi masyarakat.
2. Perumusan Masalah
Masalah secara sederhana bisa dirumuskan sebagai kesenjangan antara yang diharapkan dengan yang dialami, yang untuk menyelesaikannya diperlukan kemampuan menggunakan pikiran dan keterampilan secara tepat. Misalnya, dari pengumpulan fakta diketahui salah satu masalah yang mendesak dan bisa diselesaikan dengan memanfaatkan sumber daya yang dimiliki organisasi adalah rendahnya keterampilan para pemuda sehingga tak bisa bersaing di pasar kerja atau tak bisa diandalkan untuk membuka lapangan kerja bagi dirinya. Berdasarkan hal tersebut, maka dirumuskan permasalahan: Rendahnya keterampilan kerja pemuda lulusan sekolah menengah.
Namun tidak semua pemuda tamatan sekolah menengah yang rendah tingkat keterampilan kerjanya yang diidentifikasi sebagai masalah. Namun terbatas pada komunitas sekitar lokasi perusahaan atau di beberapa kota. Jadi, dalam merumuskan masalah tersebut PR mulai memfokuskan pada komunitas organisasi. Bila komunitasnya dirumuskan secara sederhana, berarti komunitas berdasarkan lokasi yakni komunitas sekitar wilayah operasi korporat. Namun bila komunitasnya dipandang sebagai struktur interaksi maka komunitas tersebut lepas dari pertimbangan kewilayahan, tetapi lebih pada pertimbangan kesamaan kepentingan.
3. Perencanaan dan Pemrograman
Perencanaan merupakan sebuah prakiraan yang didasarkan pada fakta dan informasi tentang sesuatu yang akan terwujud atau terjadi nanti. Untuk mewujudkan apa yang diperkirakan itu dibuatlah suatu program. Setiap program biasanya diisi dengan berbagai kegiatan. Kegiatan sebagai bagian dari program merupakan langkah-langkah yang ditempuh untuk mewujudkan program guna mencapai tujuan yang sudah ditetapkan.
Kembali kepada perumusan masalah tentang rendahnya keterampilan kerja pemuda lulusan sekolah menengah, maka PR menyusun rencana untuk mencapai tujuan agar para pemuda lulusan sekolah menengah itu memiliki keterampilan kerja yang bisa digunakan untuk mencari kerja atau membuka lapangan kerja bagi dirinya sendiri. Untuk mencapai tujuan tersebut, program yang disusun misalnya menyelenggarakan program pendidikan dan pelatihan bagi mereka.
4. Aksi dan Komunikasi
Aspek dari aksi dan komunikasi inilah yang membedakan kegiatan community relations dalam konteks PR dan bukan PR. Di mana watak PR ditampilkan lewat kegiatan komunikasi. PR pada dasarnya merupakan proses komunikasi dua arah yang bertujuan untuk membangun dan menjaga reputasi dan citra organisasi di mata publiknya. Karena itu, dalam program CSR selalu ada aspek bagaimana menyusun pesan yang ingin disampaikan kepada komunitas, serta melalui media apa dan cara bagaimana.
Sedangkan aksi dalam implementasi program yang sudah direncanakan, pada dasarnya sama saja dengan implementasi program apa pun. Kembali pada contoh kasus awal, ketika program pendidikan dan pelatihan keterampilan itu dijalankan, harus ada ruangan, baik untuk penyampaian teori maupun bengkel kerja sebagai tempat praktik. Di situlah aksi pendidikan dan pelatihan dijalankan. Di dalamnya tentu saja ada komunikasi yang menjelaskan kenapa program itu dijalankan, juga masalah tanggungjawab sosial organisasi pada komunitasnya sehingga memilih untuk menjalankan program kegiatan tersebut. Dengan begitu diharapkan akan berkembang pandangan yang positif dari komunitas terhadap organisasi sehingga reputasi dan citra organisasi menjadi baik.
5. Evaluasi
Evaluasi merupakan keharusan pada setiap akhir program atau kegiatan untuk mengetahui efektivitas dan efisiensi program. Berdasarkan hasil evaluasi ini bisa diketahui apakah program bisa dilanjutkan, dihentikan atau dilanjutkan dengan melakukan beberapa perbaikan dan penyempurnaan. Namun dalam konteks community relations perlu diingat bahwa evaluasi bukan hanya dilakukan terhadap penyelenggaraan program atau kegiatan belaka. Melainkan juga dievaluasi bagaimana sikap komunitas terhadap organisasi. Evaluasi atas sikap publik ini diperlukan karena, pada dasarnya community relations ini meski merupakan wujud tanggungjawab sosial organisasi, tetap merupakan kegiatan PR.
Penutup
Corporate Social Responsibility (CSR), merupakan wacana yang sedang mengemuka di dunia bisnis atau perusahaan. Wacana ini digunakan oleh perusahaan dalam rangka mengambil peran menghadapi perekonomian menuju pasar bebas. Namun kenyatannya CSR tidak serta merta dipraktikkan oleh semua perusahaan. Ada juga yang berhasil memberikan materi riil kepada masyarakat, namun di ruang publik nama perusahaan gagal menarik simpati orang. Hal ini terjadi karena CSR dilakukan secara latah dan tidak didukung konsep yang baik. Sebenarnya substansi keberadaan CSR adalah dalam rangka memperkuat keberlanjutan perusahaan itu sendiri di sebuah kawasan, dengan jalan membangun kerjasama antar stakeholders yang difasilitasi perusahaan tersebut dengan menyusun program-program pengembangan masyarakat sekitarnya.
Ketika kita membicarakan CSR berarti kita juga membicarakan PR sebuah organisasi, di mana CSR merupakan bagian dari community relations. Karena CSR pada dasarnya adalah kegiatan PR, maka langkah-langkah dalam proses PR pun mewarnai langkah-langkah CSR. Dengan menggunakan tahapan-tahapan dalam proses PR yang bersifat siklis, maka program dan kegiatan CSR juga dilakukan melalui pengumpulan fakta, perumusan masalah, perencanaan dan pemrograman, aksi dan komunikasi, serta evaluasi untuk mengetahui sikap publik terhadap organisasi.
Untuk ke depan disarankan agar pengembangan program CSR mengacu pada konsep pembangunan yang berkelanjutan (Sustainability development). Prinsip keberlanjutan ini mengedepankan pertumbuhan, khususnya bagi masyarakat miskin dalam mengelola lingkungannya dan kemampuan institusinya dalam mengelola pembangunan, serta strateginya adalah kemampuan untuk mengintegrasikan dimensi ekonomi, ekologi, dan sosial yang menghargai kemajemukan ekologi dan sosial budaya. Kemudian dalam proses pengembangannya tiga stakeholders inti diharapkan mendukung penuh, di antaranya adalah; perusahaan, pemerintah dan masyarakat.
Daftar Pustaka
Anggoro, Linggar. 2002. Teori dan Profesi Kehumasan. Serta Aplikasinya di Indonesia. Cetakan Ketiga. Bumi Aksara, Jakarta.
Ardianto, Elvinaro dan Sumirat, Soleh. 2004. Dasar-dasar Public Relations. Cetakan Ketiga.Remaja Rosdakarya, Bandung.
Aryani, Situ Nur. 2006. Penerapan CSR yang Lebih Strategis. Dokumenhttp://www.bisnis.com/, Sabtu, 01 April 2006.
Fajar, Rudi. 2005. Spektrum Pelaku CSR. Dokumen http://www.swa.co.id/ , Senin, 30 Mei 2005.
Greener, Toni. 2002. Public Relations dan Pembentukan Citranya. Cetakan Ketiga. Bumi Aksara, Jakarta.
Hubeis, Musa. 2001. Publik Relesen sebagai Perangkat Manajemen dalam Organisasi. Makalah Seminar Nasional Peran Public Relations dalam Pembangunan Pertanian Efektif dan Berkesinambungan, yang diselenggarakan oleh PS KMP dan PS MPI, PPS IPB di Hotel Salak, 19 April 2001.
Hutapea, EB. 2000. Public Relations sebagai Fungsi Manajemen. Majalah WIDYA Agustus 2000, No. 179 Tahun XVII.
Idris, Abdul Rasyid. 2005. Corporate Social Responsibility (CSR) Sebuah Gagasan dan Implementasi. Dokumen 
http://www.fajar.co.id/, 22 November 2005.
Irianta, Yosal. 2004. Community Relations. Konsep dan Aplikasinya. Simbiosa Rekatama Media, Bandung.
Jefkins, Frank. 2003. Public Relations. Edisi Kelima. Direvisi Oleh Daniel Yadin. Penerbit Erlangga, Jakarta.
Lead Indonesia. 2005. Kemitraan Korporasi-Stakeholders. Report Seminar Corporate-Stakeholder Partnership: Toward Productive Relations Lead Indonesia Bekerjasama dengan Labsosio-Fisip-UI, Jakarta, 14 Juni 2005. Dokumen http://www.lead.or.id/, 27 Oktober 2005.
News of PERHUMAS. 2004. CSR dan Citra Corporate. Dokumenhttp://www.perhumas.or.id/, 15 – 16 Juni 2004.
Octavia, Sutjiati. 2003. Corporate Public Relation dalam Dunia Usaha. Majalah Bank & Manajemen, Mei – Juni 2003.
Petkoski, Djordjija and Twose, Nigel (Ed). 2003. Public Policy for Corporate Social Responsibility. Jointly sponsored by The World Bank Institute, the Private Sector Development Vice Presidency of the World Bank, and the International Finance Corporation. Document ofhttp://info.worldbank.org/ July 7–25, 2003.
Warta Pertamina. 2004. CSR sebagai Strategi Bisnis. Dokumen http://www.pertamina.com/, Juli 2004.
Tulisan ini rangkuman makalah penulis saat saat mengambil mata kuliah Public Relations (PR) di Program Magister Komunikasi Pembangunan, Institut Pertanian Bogor (IPB).

3 komentar:

  1. terima kasih atas informasinya..
    semoga bermanfaat bagi kita semua velg mobil

    sukses selalu

    BalasHapus
  2. terima kasih atas informasinya..
    kunjungi juga website kami Perawatan Mobil

    sukses selalu

    BalasHapus
  3. harga toyota Yaris 20146 April 2014 pukul 20.42

    Jangan berhenti untuk terus berkarya, semoga kesuksesan senantiasa menyertai kita semua.
    keep update!Harga Toyota yaris 2014

    BalasHapus