Kamis, 11 Oktober 2012

DIBALIK FENOMENA MENINGGALKAN SHALAT BERJAMAAH



Rasulullah Shallallahu'alaihiWasallam memperingatkan kita yang hidup di belakang hari menjelang semakin dekatnya Kiamat bahwa proses dekadensi Ummat Islam akan terjadi seiring ditingalkannya pemberlakuan aspek hukum Islam atau hukum Allah sampai diabaikannya kewajiban menegakkan kewajiban sholat. Padahal kita menyaksikan dewasa ini bahwa kedua kutub ekstrim tersebut jelas-jelas telah ditinggalkan oleh sebagian besar ummat Islam.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ وَلَقَدْ رَأَيْتُنَا وَمَا يَتَخَلَّفُ

عَنْهَا إِلَّا مُنَافِقٌ مَعْلُومُ النِّفَاقِ

(MUSLIM - 1046) : Dari Abdullah bin Mas’ud ia berkata: "Menurut pendapat kami, tidaklah seseorang ketinggalan dari shalat (berjamaah di masjid), melainkan dia seorang munafik yang jelas kemunafikannya (munafik tulen)."

Sungguh jika melihat begitu banyaknya masjid dewasa ini yang sepi di waktu sholat lima waktu, kita sangat khawatir jangan-jangan ini indikasi bahwa terdapat begitu banyak orang yang berpotensi munafik di sekeliling kita. Dan jika hal ini benar adanya tidak mengherankan bila pemberlakuan kembali Syariat Islam dan Hukum Allah menjadi sangat sulit. 

Sebab jangankan kaum kafir di luar Islam, sedangkan di tengah tubuh ummat Islam sendiri lebih banyak hadirnya kaum munafik daripada kaum mu’min sejati. Padahal Allah telah menegaskan bahwa fihak yang paling keras menolak diajak kepada pemberlakuan hukum Allah dan hukum Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ialah kaum munafik. Wa na’udzubillah min dzaalika.

وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ

رَأَيْتَ الْمُنَافِقِينَ يَصُدُّونَ عَنْكَ صُدُودًا

“Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul", niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu.” (QS An-Nisa 61)

Mengapa ummat Islam selalu saja mempermasalahkan hukum apa yang diberlakukan di tengah masyarakat? Mengapa ummat Islam tidak bisa menerima saja hukum apapun yang diberlakukan tanpa peduli apakah itu hukum Allah ataukah hukum buatan manusia? Bukankah yang penting adalah law and order alias penegakkan hukum? Apalah artinya jika dalam suatu masyarakat Islam diberlakukan secara formal hukum Allah sebagai hukum negara namun ternyata secara aplikasi tidak terjadi penegakkan hukumnya? Bukankah keadilan bisa dirasakan masyarakat luas bila penegakkan hukum berlaku secara murni dan konsekuen, meskipun hukumnya bukan hukum Allah alias hukum buatan manusia?

Saudaraku, disinilah letaknya komitmen seorang mukmin. Seorang mukmin harus menjawab dengan jujur dan penuh kesadaran. Masyarakat seperti apakah yang ia inginkan? Masyarakat kumpulan hamba-hamba Allah yang beriman dan patuh berserah-diri kepada Allah? Ataukah ia puas dengan berdirinya suatu masyarakat yang terdiri atas kumpulan manusia yang tidak peduli taat atau tidaknya mereka kepada Allah asalkan yang penting masyarakat itu berjalan dengan harmoni tidak saling mengganggu dan menzalimi sehingga semua merasa happy hidup bersama berdampingan dengan damai di dunia?

Saudaraku, seorang mukmin tidak pernah berpendapat sebelum ia bertanya kepada Allah dan RasulNya. Terutama bila pertanyaannya menyangkut urusan yang fundamental dalam kehidupannya. Oleh karenanya marilah kita melihat bagaimana Allah menyuruh kita bersikap bilamana menyangkut urusan hukum. Di dalam Kitabullah Al-Qur’an Al-Karim terdapat banyak ayat yang memberikan panduan bagaimana seorang mukmin mesti bersikap dalam urusan hukum. Di antaranya sebagai berikut:

وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ

وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ

“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu…”(QS Al Maidah ayat 49)

Dalam buku ”Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir” Muhammad Nasib Ar-Rifa’i mengomentari potongan ayat yang berbunyi “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah...” dengan catatan sebagai berikut: ”Hai Muhammad, putuskanlah perkara di antara seluruh manusia dengan apa yang diturunkan Allah kepadamu dalam kitab yang agung ini (yaitu Al-Qur’an)...”

Sedangkan firman Allah:

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ

”Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS Al Maidah ayat 50)

Mengomentari ayat di atas, maka dalam buku ”Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir” penulis mencatat: ”Allah mengingkari orang yang berhukum kepada selain hukum Allah, karena hukum Allah itu mencakup segala kebaikan dan melarang segala keburukan. Berhukum kepada selain hukum Allah berarti beralih kepada hukum selain-Nya, seperti kepada pendapat, hawa nafsu dan konsep-konsep yang disusun oleh para tokoh tanpa bersandar kepada syariat Allah, sebagaimana yang dilakukan oleh masyarakat jahiliyah yang berhukum kepada kesesatan dan kebodohan yang disusun berdasarkan penalaran dan seleranya sendiri. Oleh karena itu Allah berfirman ”Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki?” dan berpaling dari hukum Allah.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar