Rabu, 14 September 2011

Strategi IMC : Solusi Menuju Layanan Paripurna




Meskipun makin banyak agensi fasih menyebut layanan IMC, sesungguhnya belum banyak yang berhasil meng-implementasikannya. Bagaimana sih mencapai tujuan IMC yang tak hanya mendorongn terjadinya awareness-interest-desire-action, tapi juga berhasil menciptakan conversation, engagement, dan advocacy di kalangan konsumen?
Siapapun pasti menyadari, membentuk agensi periklanan dengan konsep layanan Intergrated Marketing Communication (IMC) tidak mudah. Tidak cukup hanya elemen-elemen IMC – mulai dari riset, bagian kreatif, media planning, eksekusi, hingga evaluasi – harus ada, tapi lebih jauh dari semua elemen itu haruslah terintegrasi dan bersinergi satu dengan yang lain.

Apalagi dengan kemunculan media baru yaitu “horizontal media”, maka konsep IMC harus direkonstruksi menjadi IMC bentuk baru (sebut saja : “The NEW IMC”). Dalam IMC format baru ini, IMC dikatakan betul-betul intergrated jika memuat tidak hanya vertical media yang sekama ini kita kenal (baik ATL maupun BTL), tapi juga mulai memasukkan horizontal media (yaitu Social Media).

“IMC yang bagus adalah IMC yang mengintegrasikan vertical IMC dengan horizontal IMC. “Saya berani katakan, IMC yang tidak memasukkan social media sebagai channel untuk menjangkau konsumen adalh IMC yang pincang’,” ujar Yuswohadiy pengamat pemasaran yang melihat di Indonesia 99% pemilik merk masih menjalankan IMC yang pincang itu.
Dikatakan Siwo, sebutan Yuswohady, di dalam IMC bentuk baru, semua aspek telah berubah. Dari sisi riset, umpamanya, tak cukup melakukan survei konvensional (FGD, indept interview,etc), tapi juga mulai memasukkan apa yang disebut netnography, yaitu survei kualitatif untuk menangkap insight dari konsumen melalui conversation dan engagement yang mereka lakukan di media-media sosial (seperti blog FB, Twt,etc)

Dari sisi perencanaan, marketer harus menyusun sebuah IMC goal yang tak hanya mendorong terjadinya awareness-interest-desire-action (AIDA), tapi juga goal untuk menciptakan conversation, engagement, dan advocacy di kalangan konsumen. “Saya menyebut AIDA adalah short-term goal; sementara engagement dan advocacy adalah long-term goal,” tandas Siwo yang melihat elemen kedua ini masih sangat jarang dilakukan marketer kita.

Dari sisi eksekusi, marketer harus bisa meng-intergrasikan dan mensinergikan vertical media dengan horizontal media sehingga tercapai dua tujuan di atas.

Di tengah persaingan antar merek yang kian ketat di satu sisi, dan resource yang kian terbatas, sasaran integrasi dan sinergi media tersebut adalah untuk mencapai ROMI (return on marketing investment) setinggi mungkin, istilah yang kini sudah menjadi jargon adalah “low budget high impact”
Harus Dilakukan Agensi :
  • Embrance Horizontal IMC
  • Use Social Media
  • Inspire Your Clients To Engage Their Customers!!!
  • And To Create Advocacy
  • Not Just Build Awareness
Memang harus diakui, banyak agensi yang belum berhasil meng-implementasikan IMC. Hal itu karena kemampuan strategic planning agensi kita masih lemah.

Di dalam IMC, proses mulai dari menemukan needs, wants, dan expetation konsumen, penentuan goal pemasaran, pemilihan media dan konten komunikasi, eksekusi di lapangan, hingga monitoring dan evaluasi pemasaran haruslah dilakukan secara terintegrasi, sistematis, dan disiplin.

Hal inilah seharusnya dilakukan melalui strategic planning yang benar, tapi justru di sinilah kelemahan kebanyakan agensi kita terjadi.

K.h Rahman, Strategic Planner Dwi Sapta membenarkan kendala dalam menyusun strategi IMC ada yang berada di level konseptual dan operasional.

Pada level konseptual, kesulitan kesulitan kadang muncul pada saat mengkonstruksi berbagai temuan dari hasil riset yang ada dalm konteks hubungannya dengan konsep produknya itu sendiri. Kesulitan itu biasanya dirasakan ketika kita belum menemukan esensi konsep produk tersebutyang benar-benar dapat dibedakan dengna konsep produk kompetitor yang juga banyak beredar di pasaran.

Formulasi konsep hubungan antara produk dan karakteristik target market-nya inilah yang pada akhirnya akan bisa menghasilkan branding idea yang menjadi payung dari berbagai bentuk turunan program IMC (baik untuk di-deliver melalui iklan TV, radio, media cetak, brand activation, dll)

Sementara pada level operasional, kesulitan biasanya muncul pada saat konsep branding idea yang telah dibuat tersebut, kadang sering direduksi dalam bentuk kegiatan seperti event misalnya. Penyebabnya bisa bermacam-macam ; bisa berasal dari agensi, seperti keterbatasan dalam memahami dan menerjemahkan konsep branding idea tersebut, bisa juga disebabkan karena keterbatasan yang diberikan oleh klien; seperti waktu, biaya, dan rekomendasi yang telah digariskan.

Berbagai kendala itu, menurut Rahman, tidak mengurangi kekuatan IMC itu sendiri. Menurutnya, IMC bisa mendorong pelaksanaan berbagai bentuk program promosi produk yang dilakukan menjadi lebih fokus dan solid dalam menanamkan pesan di kepala konsumen, karena semua pesan yang disampaikan dalam bentuk apapun (TVC, radiocomm, print ad, POS, event, dll) semuanya menjadi in-line. “Disinilah letak kekuatan IMC menjadi lebih powerful dalam membentuk cara berpikir, bersikap, dan berperilakunya konsumen sesuai dengan yang diharapkan. Ujung-ujungnya, investasi klien dalam melakukan berbagai bentuk komunikasi dengan konsumen produknya akan lebih memberi dampak yang maksimal.” tandasnya.

SAM Design adalah salah satu contoh agensi yang konsisten menerapkan IMC. Menurut Tanadi Santoso, Presdir sekaligus pemiliknya, konsep IMC sudah diketahuinya sejak 2004 dan menerapkannya secara bertahap. Intinya, menurut Tanadi, bagaimana agar iklan dan promosi lain efektifitasnya tidak diukur terpisah atau satu persatu. Dulu ada perbedaan misalnya ATL digunakan untuk awareness dan image, sementara BTL untuk sales, seringkali ada ketidakseragaman dari segi pesannya. “Nah, dengan adanya IMC, komunikasi menjadi satu nada, ini penting agar brand bisa lebih trustable dan lebih otentik,” papar Tanadi.

Menurut Tanadi, perusahannya menggunakan mission statement dengan kredo menciptakan IMC dengan WOW dan AHA. WOW adalah segala sesuatu yang bagus, nyleneh, dan menarik perhatian, atau membuat orang lain tercengang. Sementara AHA adalah tepat guna, atau manfaatnya pas bagi konsumen. Saat ini engagement harus diperhatikan, karena elemen emosi lebih kuat dari rasional, kalau perlu komunikasi harus didesain ulang.

Dari apa yang sudah dikerjakannya, kendala paling utama adalah dari cara mengukur dampak IMC terhadap bisnis. Pengukuran efektifitas bentuk komunikasi dari web, atau melalui sosial media seperti FB sulit dilakukan. Ada pengusaha yang mengatakan kalau 50% biaya komunikasi itu sia-sia, tapi tidak ada yang tahu 50% yang mana. Sementara pengukuran terhadap komunikasi tradisional seperti ATL lebih mudah.

Kendala lain adalah pada perubahan yang sangat cepat dari tren sosial media. Saat ini facebook sedang booming, tapi entah bagaimana dengan besok. Sehingga dibutuhkan enterpreneur yang memiliki mindset yang bisacepat mengambil keputusan, karena dunia memang cepat berubah.
“Konsep dan strategi bisa ditiru, namun kemampuan dalam menerapkan akan sangat tergantung dari kualitas dan pengalaman pihak-pihak terkait, khususnya para agensi yang terlibat dan pihak pendukung lainnya,”
Bagi Bambang Sumaryanto, External Affair Director P&G Indonesia, sesulit apapun kendala itu, P&G pantang mundur. Menurutnya, IMC merupakan sebuah tuntutan yang harus dijalankan oleh sebuah brand agar proses komunikasi pemasarannya dapat dilakukan secara lebih efektif dan efisien. Komunikasi terpadu merupakan kata kuncinya dan hal ini memerlukan pemahaman yang mendalam dan menuntut koordinasi yang sangat baik agar mampu menghasilkan sinergi.

Koordinasi ini termasuk koordinasi berbagai fungsi dalam organisasi perusahaan maupun berbagai kegiatan yang dilakukan, baik di dalam toko , di luar ruang maupun melalui media, baik online, print maupun penyiaran serta berbagai media lainnya.
Bahkan Bambang memastikan, IMC merupakan sebuah proses yang akan berkembang dari waktu ke waktu. Menurutnya, unsur pemahaman saja tidaklah cukup karena faktor pengalaman akan sangat mempengaruhi dalam upaya menghasilkan strategi yang paling tepat.

“Kami telah melakukannya secara konsisten dan terus menerus, diantaranya melalui kegiatan “Cari Bintang Pantene” dimana berbagai unsur komunikasi dan kegiatan aktivasi dipadukan,” ungkapnya. Bagi P&G, proses ini akan memberikan pelajaran berharga dalam upaya meningkatkan kemampuan kami dalam melakukan komunikasi yang lebih terpadu dan lebih efektif.

“Konsep dan strategi bisa ditiru, namun kemampuan dalam menerapkan akan sangat tergantung dari kualitas dan pengalaman pihak-pihak terkait, khususnya para agensi yang terlibat dan pihak pendukung lainnya,” lanjutnya lagi.
Pada akhirnya, penerapan IMC memerlukan perubahan mindset semua pihak yang terlibat, utamanya adalah komitmen menjaga dan menjalin kerjasama guna membangun merek selama-lamanya.

Penulis : Dyah Hasto Palupi, W Setiawan, Nurur Bintari, Riski, Iski dan Dwi Wulandari ( sumber : majalah mix)
elemen IMC, penerapan imc, strategi dan konsep dwi sapta imc, imc dalam media baru, bentuk imc, Meskipun makin banyak agensi fasih menyebut layanan IMC, pengaruh imc terhadap market share, pengertian agensi periklanan dalam IMC, perbedaan tentang proses perencanaan media (iklan) antara media konvensional dan social media, riset kreatif komunikasi IMC

Tidak ada komentar:

Posting Komentar