Sabtu, 30 Juli 2011

Strategi distribusi produk baru

Yadi Budhisetiawan


Oleh Yadi Budhisetiawan (pernah dimuat di majalah Marketing)

Strategi distribusi untuk produk baru harus dan wajib hukumnya dibedakan dengan strategi distribusi produk mapan atau produk yang sudah lama dikenal konsumen.
Para marketing director atau marketing manager jarang meluangkan waktu dan pemikiran yang cukup guna merancang dan merumuskan strategi distribusi produk baru. Di lain pihak, distributor juga nyaris tidak pernah merancang apalagi menyusun strategi distribusi produk baru. Alasannya, hal itu sudah seyogianya dilakukan oleh prinsipal/produsen.
Alhasil, apabila mereka tidak menerima penjelasan strategi tersebut dari para prinsipal (marketing / product / brand manager), maka para distributor akan beranggapan bahwa cara yang sama, pola yang serupa seperti yang saat ini sudah diterapkan adalah strategi distribusi yang dipakai.
Rak
Inilah yang menyebabkan kenapa hanya 1 dari 7 produk baru yang diluncurkan bisa menuai sukses. Sisanya (86%), gagal. Sebuah probabilitas resiko gagal yang amat tinggi!
Perlu diketahui, strategi distribusi untuk produk baru harus dan hukumnya wajib untuk dibedakan dengan strategi distribusi produk mapan atau produk yang sudah lama dikenal konsumen. Sama seperti penanganan bayi atau balita yang dibedakan dengan penanganan ABG maupun seseorang yang sudah dewasa. Ini merupakan salah satu kesalahan fatal yang kerap dilakukan oleh para pemasar. Tak terkecuali mereka yang sudah berpengalaman.
Seperti dipahami, strategi distribusi sesungguhnya memiliki 8 komponen dasar yang meliputi Sistem Penjualan & Distribusi, Mitra Distributor, Selling In, Selling Through, Spreading, Coverage, Penetration dan Network.
Dan, pada tahap yang paling awal, ‘tantangan’ yang dihadapi adalah pemilihan sistem penjualan dan distribusi. Misal, apakah memilih sistem langsung dimana minimal 70% dari semua penjualan dilakukan oleh sales force milik perusahaan / anak perusahaan/perusahaan afiliasi atau menggunakan sistem tidak langsung dengan catatan minimal 70% dari penjualan diperoleh dari distributor eksternal.
Di luar itu, masih ada sistem lain. Yaitu, hybrid alias kombinasi. Pada kombinasi ini, antara 30-70% dari sumber penjualan didapat dari perusahaan milik sendiri/terafliasi atau perusahaan distributor.
Yang kedua, harus ditetapkan pula apakah produk baru tersebut akan dijual via distributor yang sudah menangani produk korporat saat ini atau justru memilih distributor lain.
Seperti disadari bersama, penetapan mitra distributor sendiri bisa berdasarkan 1 National Sole Distributor atau 8-33 Regional Distributor terbaik / propinsi ataupun 34-150 Area Distributor terbaik / 1-4 kabupaten.
Pertimbangan lain bisa juga berupa eksklusif secara teritorial (namun mix dalam channel) atau eksklusif dalam channel (akan tetapi mix dalam areal) maupun eksklusif secara product items / channel dan area mix.
Ketiga adalah opsi antara strategi selling in dengan menggunakan Top Down Strategy (dari grosir besar hingga menetes sendiri ke pengecer kecil) atau Bottom Up Strategy (dari outlet arus bawah naik ke grosir kecil / semi grosir / star outlet / agen hingga ke grosir besar).
Di samping itu, ketiga strategi Selling In tadi bisa juga berlandaskan Stand Alone (sendiri / mandiri 1 produk baru ) atau Product Add On (pendampingan / ditempelkan dengan produk yang sudah mapan di pasar) atau Promo Integrated (pendampingan / penambahan tidak saja kepada produk mapan, namun juga dari unsur promosi harga dan promosi dagang lainnya).
Selanjutnya, strategi Selling Through yang melihat endapan produk di outlet. Misal, berapa lama harus terjadi perputaran barang. Hal ini sangat tergantung kepada siklus kunjungan salesman. Contoh, jika diasumsikan siklus kunjungan salesman adalah 2 minggu 1x, maka dalam tempo 4 bulan setelah peluncuran produk baru, pelanggan sudah harus pesan ulang (repeat order) minimum 7x.
Perhitungannya adalah minimal 55% x (jumlah minggu dalam 1 periode yang dipantau dibagi jumlah minggu dalam 1 siklus kunjungan dikurangi kunjungan efektif pertama) dengan perhitungan pembulatan terdekat. Itu berarti, 55% x 13 minggu/2 minggu per 1 siklus kunjungan – 1 ) = 55% x 6,5 – 1 = 55% x 5,5 = 3x repeat order dalam 4 bulan dengan asumsi siklus kunjungan 2 minggu 1x.
Artinya, apabila produk baru tersebut baru 1 atau 2x repeat order pembelian, itu berarti produk tersebut memiliki potensi gagal yang tinggi. Dan, periode pemantauan atas frequency order (bukan nilai Rp atau unit order) paling singkat dilakukan dalam 3 bulan dan paling lama dalam 12 bulan.
Oleh karenanya, agar probabilitas keberhasilan produk baru meningkat maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dengan seksama. Pertama, menggunakan sistem distribusi dan penjualan hybrid/kombinasi.
Kedua, menggunakan multi distributor terbaik di tingkat propinsi (2-3 distributor 1 propinsi) yang eksklusif atau dibedakan dengan product items yang sudah ada di pasar saat ini, secara channel / trade atau product items.
Selebihnya, selling in dengan strategi Bottom Up dengan Promotion Integrated (menggandeng produk lain, merchandising/POS, harga khusus dan promosi ke pedagang secara khusus).
Terakhir, strategi sell through berdasarkan pendekatan Frequency Sales Order atau jumlah repeat order dalam 6 bulan secara konservatif – berarti, siklus kunjungan salesman tercepat 2 minggu 1x dan kunjungan terlama adalah 1 bulan 1x.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar