Sebuah produk, merupakan sebuah hasil dari proses berfikir atau mungkin sebuah penelitian panjang dengan metode trial and error yang melelahkan, dan proses produksi yang sedemikian hingga, sehingga terwujudlah hasil berupa sebuah “produk“, yang kita yakini – -memiliki nilai jual.
Ternyata, sebuah produk tersebut merupakan awal dari kerja keras kita. Karena kita harus meluncurkan produk tersebut ke pasar, untuk diuji, apakah memiliki nilai trustworthiness yang pantas atau tidak dibenak konsumen. Saat seperti ini merupakan masa-masa mendebarkan hati, dan muncullah sejumlah pertanyaan: mampukan produk ini menembus pasar? seberapa jauh penetrasinya? bagaimana respon pasar? bagaimana taktik dan strategi pemasarannya? dan apakah ada kemungkinan produk ini menjadi pemimpin pasar (market leader)?
Kebimbangan dan kekuatiran seperti ini sangat manusiawi, karena banyak faktor yang berpengaruh terhadap sukses atau tidak sebuah produk/ merek di pasar. Sebagian faktor bisa dikontrol atau diintervensi, tetapi sebagian lainnya tidak, misalnya faktor tingkat kompetisi, kebijakan dan peraturan pemerintah, faktor sosial, budaya, politik dan keamanan sangat sulit dikontrol. Jadi jangan heran, perusahaan besar sekelas Unilever pun bisa gagal membesarkan merek ‘Tara Nasiku’ dan ‘Mie & Me’.
Dengan perencanaan yang sangat baik sekalipun, produk yang di launching ke pasar masih berisiko terancam gagal, baik pada saat penetrasi produk maupun dalam upaya membangun dan membesarkan merek tersebut. Agar peluang keberhasilan peluncuran produk baru semakin besar, resiko kegagalan dapat diperkecil dengan melakukan pengujian terhadap pasar terlebih dahulu (trial market) melalui Soft launch. Jika ternyata pasar merespon produk tersebut dengan baik (attractive), dan harganya terjangkau (affordable), selanjutnya yang harus dilakukan adalah optimisasi availability dan awareness-nya.
Jadi, attractiveness, affordability, availability dan awareness adalah variabel dari permintaan konsumen. Dengan demikian, supaya demand dapat tercipta, sebelum meluncurkan sebuah produk yang kita harapkan menjadi superior, keempat variabel diatas harus diperiksa dengan detail.
Yang tidak kalah penting dalam peluncuran sebuah produk adalah “timing“nya, atau istilah lainnya: “In the right time and right condition“. Usahakan timing-nya tepat. Misalnya pada waktu momen hari raya, atau misalnya pada saat krisis moneter beberapa tahun lalu, sangat pas untuk me-launching produk yang harganya lebih murah daripada harga kompetitor yang telah terlebih dahulu menguasai pasar.
Namun, bukan berarti launching produk ke pasar harus selalu menunggu momen tertentu. Jika produk/ merek tersebut dibungkus dengan Unique Selling Proposition (USP) yang sudah teruji dan dipersepsikan penting oleh target market, disertai dengan kampanye promosi dan komunikasi yang mudah dimengerti serta faktor harga yang mendukung, launching dapat sukses merebut pangsa pasar dari produk/ merek yang telah lama mapan. Contohnya So Klin, Promag dan A Mild. Bahkan A mild telah menjadi Top Of Mind untuk katagori rokok Low Tar dan mendapatkan Brand Equity yang tinggi.
Umumnya, merek/ produk yang sukses di pasar dan menjadi market leader adalah merek yang inovatif dari sisi produk, proses produksi dan marketing. Inovasi pada produk yang terus menerus sangat penting supaya produk tetap bertahan posisinya dalam persaingan yang ketat. Sedangkan inovasi pada proses produksi ditujukan untuk terus memperbaiki kualitas produk dan efisiensi biaya produksi. Dan inovasi pada sisi pemasaran atau marketing dimaksudkan untuk memenangkan strategi kompetisi merek, baik melalui analisis pelanggan, kompetitor dan kompetensi supply.
Tetapi tidak selalu produk yang superior dan pemegang market leader adalah produk yang pertama kali launching. Bisa jadi sebuah produk menjadi superior kalau ia adalah produk pengikut atau follower alias me too. Contohnya merek So Klin. Parameter superioritas suatu produk/ merek, tidak dapat dilihat dari apakah produk itu market leader atau tidak dipasar, tetapi juga harus dilihat dari omsetnya, share of voice-nya (hal ini bisa dilihat dari biaya iklannya), langkah terobosan pemasarannya, tingkat awareness-nya, pertumbuhannya stabil atau tidak, dan besar kecilnya profit yang masuk ke kas perusahaan.
Jika produk yang hendak diluncurkan adalah produk me too atau follower, perlu upaya yang lebih keras dalam penetrasi produk tersebut dipasar. Karena dapat dipastikan, sang Market Leader tidak akan tinggal diam menyaksikan pangsa pasarnya digerogoti merek pendatang baru. dalam proses penetrasi produk me too ini, lebih baik pelan-pelan dan setahap demi setahap. Unique Selling Proposition merek harus dipastikan benar-benar teruji dengan baik dan pastikan di mata target market, merek tersebut di persepsikan “penting”. Setelah merek tersebut semakin besar dan terkenal, baru gelontorkan iklan gede-gedean untuk menggeser posisi sang market leader/ kompetitor.
Jika modal keuangan produk me too lumayan kuat, launching produk dapat dilakukan dengan cara All Out. Setelah mengkomunikasikan value yang penting yang akan didapatkan customer, dan customer sudah aware denan nilai yang diberikan oleh sebuah produk, maka harga bisa disetting lebih murah dari kompetitor, dan melakukan promosi yang gencar bahkan bisa disertai gimmick berupa hadiah. Pendek kata, harus mempersiapkan diri dengan matang dan menyediakan nafas panjang untuk menghadapi ‘penghadangan’ yang akan dilakukan oleh sang market leader.
Namun yang perlu diketahui, bahwa dengan strategi promosi dan penetrasi yang jor-joran menguras isi kantong seperti ini, harus commitee untuk tidak mencetak laba dalam jangka pendek. Untuk merebut pangsa pasar, harus rela memberikan value lebih kepada pelanggan berupa harga yang lebih murah dari penguasa pasar. Atau dengan kata lain, diperlukan daya tahan besar, karena harus memberikan share of value dan experience yang lebih besar daripada yang diberikan oleh kompetitor. Jadi, fokuskan terlebih dahulu pada ‘memperbesar pangsa pasar’, tidak apa-apa profit tipis, yang penting pangsa pasar semakin besar dan besar. Istilah pepatah: “Berakit-rakit kehulu, berenang-renang ketepian, bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian“.
Tetapi jika merek yang diluncurkan benar-benar termasuk katagori produk baru, butuh waktu lama supaya pasar aware. Contohnya beberapa tahun silam, katagori ini termasuk baru dan nyeleneh –pada saat itu, yaitu katagori ‘air minum dalam kemasan‘, dan Aqua, sang perintis, memerlukan waktu 10 tahun untuk menjadi merek superior di Indonesia. Karena pada waktu peluncuran produk Agua ini, pasar masih merasa “aneh” dengan ‘air minum dalam kemasan‘, apalagi pada waktu itu harga 1 liter Agua lebih mahal dari harga 1 liter minyak tanah (maklum, saat itu minyak tanah masih disubsidi-red). Pada masa itu, orang berfikir produk ini mengada-ngada. Tetapi lama-kelamaan pasar bisa menerima produk air dalam kemasan ini, karena kepraktisannya, higenitasnya dll.
Dan karena Aqua terlebih dahulu masuk sebagai pionir di katagori ‘air minum dalam kemasan’ ini, akhirnya Aqua menjadi market leader dalam waktu lama. Sampai akhirnya bermunculan pesaing yang tergiur lezatnya kue bisnis air minum dalam kemasan ini. Tidak mudah untuk menggeser Aqua, karena merek “AQUA” sudah menancap begitu kuat dibenak konsumen. Coba dengar percakapan pembeli yang hendak membeli air minum dalam kemasan, pasti kalimat yang di ucapkan si pembeli ke penjual adalah :
” Mbak …ada jual Aqua ndak? “
Padahal belum tentu pembeli tersebut mencari air minum dalam kemasan dengan merek ‘Aqua’, tetapi yang dimaksud dengan ‘Aqua’ disini adalah ‘air minum dalam kemasan’, apapun mereknya. Jadi, konsumen sudah memiliki persepsi, bahwa kata ‘Aqua’ adalah menunjukkan maksud pada ‘air minum dalam kemasan’. Dan tentu saja ini merupakan keuntungan besar untuk merek Aqua. Dan dalam kasus jual beli diatas, tentu saja si pedagang akan mengeluarkan air minum dalam kemasan dengan merek ‘Aqua’, bukan merek yang lainnya.
Untuk produk yang masuk dalam katagori baru, dimana katagori itu masih asing dibenak konsumen, kampanye promosi harus dilakukan secara perlahan-lahan. Sebab jika langsung promosi secara jor-joran, hasilnya tidak akan memuaskan, antara budget promosi dan hasil yang didapat. Strategi Unique Selling Proposition (USP) juga tidak akan terlalu berpengaruh secara signifikan untuk kasus produk baru pada katagori baru.
Bagaimana dengan produk baru yang sudah diluncurkan ke pasar dan ternyata gagal? biasanya hal ini terjadi karena produk tersebut paa saat Soft Launch belum sampai menciptakan demand pada konsumen, dan langsung di lakukan promosi secara besar-besaran, akibatnya sangat fatal, yaitu budget iklan yang besar tersebut menjadi sia-sia, karena konsumen belum aware dan pada akhirnya perusahaan akan ”kehabisan nafas” dalam kompetisi.
Produk yang sudah dilaunching kepasar dan ternyata gagal, baik menjadi produk superior maupun mendapatkan pangsa pasar, masih dapat diperbaiki dengan menyusun strategi marketing baru dan meluncurkan kembali produknya. Namun sebelum diluncurkan kembali, harus dilakukan customer insight yang mendalam terlebih dahulu. Apalagi jika produk tersebut memasuki pasar yang tingkat persaingannya sangat ketat (hypercompetition). Bila perlu, untuk pasar yang hypercompetition ini, pemasar harus berani menciptakan trend baru.
Contoh produk yang pada saat peluncuran pertamanya tidak sukses adalah Extra Joss pada tahun 1994. Padahal, produk Extra Joss pada waktu itu bisa dikatakan sangat inovatif karena belum ada merek minuman kesehatan dalam bentuk serbuk yang dikemas dalam sachet seperti Extra Joss ini. Namun kenyataanya, dari tahun 1994-1996, pertumbuhan penjualan Extra Joss sangat lambat, padahal praktis tidak ada pesaing dan harga yang disetting murah. Selama 2 tahun pasar masih tidak aware terhadap merek Extra Joss, bahkan dianggap aneh, karena pada saat itu produk dalam bentuk sachet kebanyakan berupa produk shampo, jadi Extra Joss dalam benak konsumen di anggap sejenis shampo baru.
Oleh sebab itu, pada tahun 1996, Extra Joss di re-launch kembali dan memakan bujet sekitar 15-20% dari total sales. Strategi pemasaran Extra Joss di set kembali dengan tidak hanya menonjolkan value benefit dan fungsional produk. Oleh karena itu, pemasar Extra Joss melompat dengan menciptakan emotional benefit dengan trend “Generasi Biang” atau GenBi, dan dipilihlah orang-orang terkenal sebagai endoser seperti atlet olahraga softball, public pigure seperti Dony Kusuma, pemain sepakbola dari Italia Del Piero, bahkan grup musik “Zamrud” – -walau hanya suaranya saja yang keluar.
“GenBi” alias Generasi Biang adalah persepsi yang sengaja diciptakan pemasar Extra Joss supaya konsumen tidak berfikir sempit bahwa Extra Joss hanya diperuntukkan bagi sopir truk dan sejenisnya. Persepsi “GenBi” tidak hanya dilihat dari apa pekerjaan konsumen, atau status sosial, atau sekedar minuman kesehatan, tetapi lebih jauh dari itu, yaitu “biang-nya“, biang sportivitas, biang selalu aktif kapan saja dan dimana saja dan lain sebagainya.
Intinya, agar Extra Joss tidak dipersepsikan hanya sebagai “sachet“, tetapi sebagai “biang-nya”. Jadi istilah “biang” itu sendiri digunakan untuk mewakili positioning Extra Joss sebagai minuman kesehatan, supaya sachet Extra Joss didalam benak konsumen diterjemahkan sebagai sesuatu yang positif bagi kesehatan. Joss ! …
Tidak ada komentar:
Posting Komentar