Selasa, 28 Desember 2010

Komunitas dan Karya Film Pelajar di Indonesia

Sebuah Sketsa tentang Komunitas dan Karya Film Pelajar di Indonesia

Ditulis oleh Tomy W. Taslim, pada 09 Oktober 2010
Tahun 1973, seorang anak muda dari Jogja yang masih belum banyak tahu tentang teknik pembuatan film, membuat heboh dengan karyanya yang berjudul The Last 50 Million. Karya film pendek fiksi berdurasi 12 menit ini bercerita tentang perampokan yang dialami oleh dua orang lelaki yang sedang membawa uang dengan mengendarai mobil VW Varian. Perampoknya adalah empat orang laki-laki bermotor yang membawa senjata. Terjadi perkelahian yang seru, kejar-kejaran, tembak-tembakan, dan akhirnya perampok kalah. Uniknya, tembak-tembakan dilakukan dengan pistol plastik. Film yang dibesut dengan kamera Canon 8 Milimeter dan diedit menggunakan splicer ini diproduksi di Jogja. Processing dilakukan di Australia dengan cara dikirimkan melalui pos udara. Film ini ditahbiskan sebagai film terbaik dalam Festival Film Mini Dewan Kesenian Jakarta yang pertama kali tahun 1973. Dewan juri festival ini waktu itu adalah Soemarjono, DA. Peransi dan Salim Said. Anak muda berusia 24 tahun yang menjadi sutradara dan berada di balik seluruh proses pembuatan film ini adalah Hartanto, yang kelak menjadi salah satu filmmaker/sound designer terbaik di Indonesia.

Hartanto bukan pelajar/mahasiswa sekolah film waktu itu. Ia adal
ah mahasiswa Jurusan Teknik Elektro UGM angkatan 1969 yang sedang cuti kuliah karena sebuah sebab dan akhirnya tidak meneruskannya. Ia kemudian hijrah ke Jakarta dan sempat beberapa kali menyambangi Sanggar – Akademi Sinematografi LPKJ yang terletak di bilangan Cikini. Karena kesukaannya pada film, pada tahun 1974 dia masuk menjadi mahasiswa Akademi Sinematografi LPKJ. Di tahun itu pula, walaupun masih berstatus mahasiswa baru, dia memberanikan diri memproduseri sebuah film tugas akhir yang berjudul Balada Kaca. Selain sebagai produser, Hartanto juga terlibat sebagai Asisten Juru Kamera. Film yang disutradarai Johan Teranggi ini merupakan film tugas akhir pertama yang dilahirkan oleh Akademi Sinematografi LPKJ.
foto 1
Salah satu frame dari film Balada Kaca

Jauh sebelumnya, di 
Notoprajan Jogja pernah didirikan lembaga pendidikan film bernama Cine Drama Institute pada tahun 1948. Sekolah ini didirikan oleh Kementerian Penerangan Pemerintah Republik semasa Agresi Militer Belanda II. Sekolah ini salah satunya melahirkan filmmaker/editor berbobot, yaitu Soemarjono. Ia kemudian malang melintang di dunia perfilman Indonesia bersama-sama dengan Usmar Ismail, Asrul Sani, Djadug Djajakusuma, Sjumandjaja, dan generasi founding father perfilman Indonesia lainnya. Soemarjono kemudian tercatat juga sebagai salah satu perintis Akademi Sinematografi LPKJ Jakarta. Setahun kemudian, yaitu di tahun 1949, di Jogja juga didirikan Stichting Hiburan Mataram yang menelorkan Kino Drama Atelier. Tokoh yang namanya melekat pada dua lembaga ini adalah Dr. Huyung. Kemudian, pada tahun 1951 didirikan Akademi Seni Drama dan Film (ASDRAFI) yang sempat melahirkan Teguh Karya, Arifin C. Noer, Putu Wijaya, dll. Sayangnya, lembaga-lembaga yang meletakkan dasar pendidikan seni film di Indonesia ini tidak bertahan lama. Apapun yang terjadi dengan mereka, lembaga-lembaga ini sedikit banyak menyumbangkan komunitas/kelompok film pelajar, yang kemudian bermetamorfosa berusaha mengisi dunia perfilman Indonesia dengan karya-karya mereka. Lembaga pendidikan lainnya yang juga memberikan warna dalam sejarah pendidikan film di Indonesia adalah Lingkaran Studi 46, ATNI, dan PPHUI/SDM Citra.
foto 2
Soemarjono, Alumni Cine Drama Institute Jogja dan salah satu perintis Akademi Sinematografi LPKJ

Komunitas/kelompok film 
berbasis pelajar di Indonesia perkembangannya tidak sedinamis kelompok diskusi pelajar/mahasiswa yang sudah ada sejak pra-revolusi dan membahas persoalan politik. Salah satu penyebabnya barangkali karena media film itu sendiri yang relatif tidak terjangkau oleh berbagai kalangan. Kamera, bahan baku dan peralatan untuk memutar film tidak mudah didapatkan oleh pelajar, khususnya yang tidak sekolah film. Maka, hanya ada segelintir komunitas/kelompok yang kemudian tercatat mengisi kegiatan film di Indonesia. Diantaranya di tahun 1974-an ada Kelompok Sinema Delapan, tahun 1980-an Forum Film Pendek dan Forum Film Anak Muda. Komunitas-komunitas ini kebanyakan digerakkan oleh pelajar/mahasiswa yang sedang belajar film di LPKJ/IKJ bersama dengan mahasiswa lainnya dari berbagai kampus. Selain itu, Kine Klub juga berdiri dan bergerak di berbagai kampus. Organisasi yang memiliki sekretariat nasional di Jakarta ini melakukan kegiatan apresiasi film sampai hari ini.

Khusus di Jogja, mulai tahun 1994 tercatat lahir sekolah/kampus yang memfasilitasi pembelajaran seni audio visual secara formal. Mereka
 adalah program Diploma Broadcasting UGM, Akademi Komunikasi Indonesia/Akindo, dan Fakultas Seni Media Rekam ISI Jogja. Sekolah-sekolah ini melengkapi lembaga pelatihan/pendidikan audio visual yang lebih dulu ada di Jogja, yaitu SAV Puskat dan MMTC. Sekolah-sekolah inilah yang kemudian melahirkan komunitas dan karya film pelajar yang awalnya berasal dari proses interaksi pembuatan tugas kuliah sehari-hari maupun tugas akhir. Bahkan, beberapa waktu kemudian, yaitu sekitar tahun 2001, komunitas film berbasis pelajar di Jogja berjumlah lebih dari 30 kelompok. Hampir setiap minggu komunitas-komunitas ini saling mengundang untuk mempresentasikan/mengekshibisikan karya mereka disertai dengan diskusi. Tak pelak, ini menjadi peristiwa penting yang kembali mengingatkan bahwa Jogja memiliki sejarah perfilman yang menarik sejak era Cine Drama Institute, Kino Drama Atelier dan ASDRAFI. Di kemudian hari, komunitas-komunitas film seperti Four Colours Community (kemudian menjadi Four Colours Films), Studio Kasatmata, Kelompok 56, dll yang awalnya terdiri dari para pelajar/mahasiswa aktif kemudian bermetamorfosa menjadi kelompok profesional di bidang film yang berkarya secara aktif sampai hari ini. Mereka juga berhasil menembus berbagai penghargaan di festival film tingkat nasional maupun internasional.
foto 3
Gedung utama kampus FSRM ISI Jogja. Sumber foto: www.isi.ac.id.
foto 4
Poster film Air Mata Surga produksi FourColours Films

Komunitas dan karya film pelajar mendapatkan sumbangan 
anggota lagi dari berdirinya sekolah tingkat menengah (Sekolah Menengah Kejuruan/SMK) yang membuka program studi Broadcasting, Sinematografi, Animasi dan Multimedia sejak tahun 2003. SMK-SMK yang terdapat di berbagai kota di Indonesia ini mengajarkan teknik pembuatan film pendek, program televisi, animasi, dll. Sampai saat ini pelajar yang belajar di sekolah-sekolah ini mencapai angka ratusan, bahkan mungkin ribuan. Tahun 2009 diadakan Festival Film Siswa SMK Tingkat Nasional di Jogja dan diikuti oleh 119 karya. Sementara itu tahun 2010 diadakan Festival Film Pelajar Indonesia yang pertama di Jakarta diikuti 169 karya. Jumlah karya peserta ini merupakan sebagian kecil dari karya-karya yang menjadi tugas mereka sehari-hari di sekolah. Jumlah ini juga belum termasuk karya-karya yang dilahirkan pelajar yang mengikuti kegiatan ekstrakurikuler, pelajaran muatan lokal, maupun pelatihan/kursus film yang dilakukan oleh banyak pihak, juga sekolah/kampus yang mulai menyelenggarakan pendidikan film dan pertelevisian. Hal ini menjadi berita menggembirakan sekaligus perlu perhatian serius dari berbagai pihak yang peduli pada komunitas dan karya film pelajar Indonesia.
foto 5
Peserta klinik film mencapai ratusan pelajar di Festival Film SMK Tingkat Nasional 2009 di Jogja.
foto 6
Sebagian peserta Festival Film Siswa SMK Tingkat Nasional 2009 di Jogja

Peran komunitas dan karya film pelajar di dalam proses pembelajaran seni film secara umum sangat penting. Proses berkomunitas dan berkarya bersama ini akan menumbuhkan kepekaan spiritual, pikiran, rasa dan raga. Berbagai kegiatan yang diinisiasi terkait film (apresiasi, produksi, ekshibisi, dll) melatih individu dan kelompok untuk belajar memahami proses. Proses-proses yang biasanya berjalan alami/kultural ini terus berjalan dan menemukan 
bentuknya sendiri. Setiap tahap, secara sadar atau tidak, membuat sang pelaku proses mendapatkan banyak pengalaman. Hal ini melengkapi kegiatan pembelajaran formal mereka yang biasanya dilakukan di sekolah/kampus. Pengayaan batin/spiritual akan terjadi ketika proses dialektika antarindividu/kelompok berjalan dengan kesadaran bahwa ada sang maha sutradara yang telah menyiapkan semua hal di dunia ini. Olah spiritual bisa dilakukan dengan beragam cara. Misalnya melalui penghayatan alam/lingkungan. Sementara itu, semesta berpikir juga terus bergerak. Proses negosiasi pemikiran terjadi melalui diskusi intens dengan membahas berbagai hal, khususnya untuk persiapan penciptaan seni film. Proses ini menguras pikiran karena terkait dengan perumusan film statementyang harus disampaikan oleh sang pembelajar film yang akan membuatnya. Apabilafilm statement lemah dan tidak memenuhi ekspektasi kelompok, maka akan terjadi perbedaan pendapat yang tajam. Namun, apabila film statement kuat dan wujud filmnya juga baik, maka bisa dikatakan bahwa proses negosiasi pikiran yang tertuang dalam karya seni berjalan sehat. Pada sisi olah rasa, dengan sendirinya hal ini berjalan ketika proses penciptaan dimulai. Pembelajaran mengelola sense/taste dilakukan melalui eksekusi gagasan menjadi karya nyata. Tahapan-tahapan yang dimulai dari penulisan naskah, breakdownshootingediting, dst akan mengasah kepekaan rasa pembelajar film. Beberapa hal ini perlu didukung dengan kesiapan raga yang baik. Maka, olah raga menjadi tidak bisa ditawar. Proses ini tidak semata berujung pada penciptaan kondisi fisik optimal, namun juga pengenalan diri atas tubuh masing-masing pembelajar. Pengenalan dan pada akhirnya pemahaman atas tubuh sendiri akan memberikan pengayaan olah raga yang baik untuk mendukung kerja-kerja kreatif selanjutnya. Proses-proses ini berjalan dengan perencanaan yang baik maupun alami. Proses mana yang akan dipilih/terpilih untuk dilaksanakan tetap akan menjadi pembelajaran bersama yang saling menguatkan. Maka, segelintir catatan ini menjadi salah satu pembuktian bahwa komunitas film pelajar apabila dikelola dengan baik akan memberikan manfaat yang banyak bagi anggota komunitas itu sendiri dan lingkungannya. Olah spiritual, pikiran, rasa dan raga menjadi satu kesatuan aktivitas yang saling menguatkan antar individu yang berkhidmat di dalam sebuah komunitas seni film pelajar.
foto 7
Sebagian peserta Festival Film Pelajar Indonesia 2010 di Jakarta

Pada ruang yang lain, komunitas dan karya film pelajar 
seharusnya mampu menjadi bagian dari dinamika kota. Sebuah kerja ekshibisi yang baik, katakanlah festival, akan menjadi etalase seni budaya audio visual yang mendorong warga kota untuk mengapresiasinya. Sebuah festival film yang baik, selain sebagai sebuah perayaan menikmati hasil karya, juga akan memberikan pendidikan publik tentang seni film. Di sisi lain, melalui ragam tema yang disajikan dan menjadi bahan diskusi terfokus, karya-karya yang diekshibisikan akan memberikan kekayaan pengetahuan dan pengalaman publik untuk belajar bersama akan suatu persoalan yang bisa jadi akan menjadi masalah bersama. Pada titik ini terjadi semacam early warning bagi apresian yang belum menyadari adanya sebuah masalah dalam dirinya maupun lingkungannya. Misalnya sebuah film menyajikan tema/cerita terkait dengan isu global warming, perdagangan perempuan dan anak, pengungsian, bencana alam, dll. Pembelajaran publik ini menarik karena disajikan dalam sebuah festival yang lazimnya dikemas dengan indah, artistik, humanis sekaligus entertaining. Maka, komunitas dan karya film pelajar akan menjadi tokoh bermanfaat bagi lingkungannya.

foto 8
Para pelajar antri memasuki gedung bioskop dalam kegiatan Festival Film Pelajar Indonesia 2010 di Jakarta
foto 9
Suasana di gedung bioskop dalam kegiatan Festival Film Pelajar Indonesia 2010 di Jakarta
foto 10
Kegiatan klinik film yang menjadi bagian dari Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional 2010 di Surabaya. Peserta diberikan kesempatan untuk bertanya kepada praktisi tentang berbagai hal seputar tips dan trik pembuat film.

Proses untuk menjadikan komunitas dan karya film pelajar di Indonesia bermanfaat bagi dirinya sendiri maupun lingkungannya adalah tidak mudah, namun tidak juga mustahil.
 Kemandirian menjadi salah satu kunci untuk melakukan hal ini. Kemandirian ini penting untuk membiasakan diri pada segenap upaya berproses untuk menjadi baik tanpa kenal lelah. Selain itu, visi serve the people juga bisa menjadi slogan yang harus dikerjakan. Komunitas dan karya film pelajar wajib memiliki visi dan kegiatan pelayanan kepada publik. Hal ini dapat diwujudkan melalui karya yang membela dan memperjuangkan kepentingan publik. Jadi, komunitas dan karya film pelajar selalu dekat dengan permasalahan publik dan terus mendapatkan dukungan dari lingkungannya. Membuka diri terhadap kerja sama banyak pihak juga harus dilakukan. Hal ini akan menjadikan anggota komunitas film pelajar terbiasa dengan kerja sama dan siap terjun ke masyarakat apabila mereka nantinya sudah tidak menjadi pelajar lagi. Para pendidik, khususnya yang berada di lingkungan sekolah/kampus juga harus diajak serta untuk memberikan sumbangan pemikiran maupun lainnya. Hal ini penting dilakukan karena peran para pendidik sangat strategis untuk mendukung kampanye yang terkait dengan pendidikan melek film (film literacy), dan secara umum media literacy. Melalui dukungan infrastruktur publik yang baik serta promosi berkelanjutan, pemerintah juga selayaknya mendukung komunitas dan karya film pelajar. Pemerintah dapat memfasilitasi sebuah ruang untuk berkumpul, berinteraksi antar komunitas dan karya film pelajar. Misalnya saja mendirikan atau memanfaatkan salah satu gedung milik pemerintah untuk kegiatan pemutaran film, pelatihan, festival, dll. Gedung ini dapat dipakai secara gratis atau kalau disewa juga tidak mahal, khususnya untuk kepentingan apresiasi. Para pebisnis yang memiliki target pasar komunitas pelajar juga wajib mendukung eksistensi komunitas dan karya film pelajar. Mereka dapat membantu berbagai hal yang berhubungan dengan kebutuhan kegiatan komunitas film pelajar. Tidak ketinggalan adalah warga masyarakat umum juga harus mendukung segala upaya untuk menghidupkan komunitas dan karya film pelajar melalui caranya masing-masing. Misalnya berpartisipasi aktif dalam festival film pelajar yang diadakan di sebuah kota. Partisipasi ini bisa berupa aktif menonton karya-karya film pelajar, membantu promosi dari mulut ke mulut atau melalui berbagai media, dll. Media massa juga perlu memberikan ruang untuk mengekspos kegiatan komunitas dan karya film pelajar. Porsi pemberitaan/liputan yang baik dapat membantu pencitraan dan promosi pelajar yang memiliki kegiatan positif. Hal ini diharapkan dibaca oleh banyak kalangan dan memberikan inspirasi. Beberapa hal ini barangkali masih terlalu sedikit sebagai bagian dari upaya untuk mendukung pengembangan komunitas dan karya film pelajar di Indonesia.
foto 11
Salah satu kegiatan workshop film pelajar/santri yang diselenggarakan tahun 2009 di Jogja
foto 12
Salah satu kegiatan workshop film pelajar SD dan SMP yang diselenggarakan tahun 2009 di Jakarta

Seni film, sama halnya dengan bentuk kesenian lainnya, memerlukan ruang yang baik untuk diolah, diekshibisikan, dan dijadikan sebagai bagian dari dinamika kebudayaan secara umum. Maka, sehar
usnya komunitas dan karya film pelajar mendapatkan panggungnya yang tepat. Panggung ini digunakan untuk berkomunikasi multiarah yang bermanfaat antara komunitas dan karya film pelajar dengan lingkungannya. Sehingga, pada tatanan idealnya nanti, komunitas dan karya film pelajar terus tumbuh dan berkembang di berbagai daerah di Indonesia dan mampu mendukung iklim yang lebih baik bagi perfilman Indonesia.

Tomy Widiyatno Taslim adalah seorang pembelajar film. Pendiri dan pengelola portal 
www.filmpelajar.com, sebagai media belajar bersama, berbagi dan silaturahim komunitas dan karya film pelajar Indonesia. Pernah belajar di Fakultas Seni Media Rekam Institut Seni Indonesia Yogyakarta dan Program Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta. Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Mata Jendela, Volume V Nomor 1/2010, yang diterbitkan oleh Taman Budaya Yogyakarta.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar