Beberapa kali gagal bisnis tak membuat Theresia Alit Widyasari frustrasi. Akhirnya usaha distro jadi pembuka jalan. Beberapa usaha distro dan restoran yang ditangani wanita yang akrab dipanggil Sari ini, bersama dua kakaknya, menguasai kawasan Tebet Utara, Jakarta. Cita-citanya, ingin punya toko busana kelas dunia.
Kenapa memilih nama Bloop? Kedengaran sederhana dan lucu.
Tiba-tiba melintas saja dan karena gampang disebut. Bagi kami arti bloop seperti ketika sesuatu dimasukkan ke dalam air karena ada udara, kan suka bunyi “Blup, blup, blup,” jadi, ya, seperti harapan hidup.
Kabarnya, dulu sempat beli putus kaus dari clothing dan distro di Bandung?
Iya, sempat beli putus dari Cosmic, Ouval, dan Airplane (clothing asal Bandung). Namun untuk mengambil dari Bandung perlu perjuangan. Maklum belum ada Tol Cipularang. Waktu itu, kami juga baru mulai dan belum tahu bagaimana caranya membuat clothing line. Arti distro kan distribution outlet, untuk menitipkan dan mendistribusikan barang. Ya sudah, beli putus dulu.
Anda menjalani usaha ini bersama saudara?
Ya, bersama dua kakak saya yang memang suka bisnis. Sebelum ini, kami sempat bisnis tambak udang, jual daging, saham. Kami juga pernah jualan martabak di pinggir jalan. Pokoknya apa saja yang bisa menghasilkan uang. Nah, awal usaha distro ini karena ajakan teman. Kebetulan saat itu kan sedang booming. Semua orang kayaknya gaul banget kalau pakai kaus distro.
Setiap kali memulai bisnis, kami meminta bantuan Papa. Tapi, karena sudah berkali-kali gagal bisnis, kami enggak berani meminta bantuan Papa lagi. Jadi, sempat terpikir untuk mencari pinjaman dari orangtua teman. Kami dekati mereka agar mau berinvestasi, tapi tanggapannya, “Distro? Lima tahun lagi juga mati.”
Lantas?
Akhirnya kami ajak Papa ke Bandung, melihat bagaimana serunya industri distro di sana. Papa ternyata tertarik dan mengusulkan untuk pinjam ke bank atas namanya dengan jaminan kami akan melunasinya. Ya sudah, kami mengiyakan. Begitu cair, kami langsung bergerak mencari lokasi. September 2003, Bloop berdiri di Kalimalang, dengan pengunjung yang bisa dihitung jari. Terus pindah ke D’Jones (Tebet Utara) karena daerahnya strategis. Dulu sih hanya ada enam tempat usaha di sini. Sekarang kebalikannya, hanya ada enam rumah, sisanya tempat usaha ha-ha-ha.
Sekarang Bloop selalu penuh dan laris ya?
Sekarang jumlah pengunjung 1.000-1.500 per hari. Kalau akhir pekan, bisa sampai 2.500 orang. Waktu Lebaran, rekornya sampai 11.000 orang per hari. Jadi, orang harus masuk gantian. Isi Bloop memang sangat variatif, ada 200 merek. Kami ajak teman-teman mengisi. Mengenai kriteria, harus anak muda banget.
Sejak itu memutuskan untuk produksi sendiri?
Iya, karena banyak orang datang jadi kami berpikir keuntungan akan lebih besar kalau memproduksi sendiri. Ternyata produk kami disukai, mungkin karena promosinya juga. Produk kami dipakai oleh VJ MTV yang saat itu sedang naik, yaitu Nirina. Orang sering sekali datang ke toko dan mencari kaus yang dipakai Nirina.
Usaha keluarga ini kemudian berkembang pesat. Bloop mempunyai “saudara” yaitu Endorse yang tadinya adalah second line Bloop, Bloop AKA (supplier), dan Urbie (second line) lalu restoran Bebek Ginyo dan D’Jones yang menyediakan makanan cepat saji. Semua berada di lokasi yang berdekatan.
Sekarang Tebet Utara dipenuhi tempat usaha serupa. Sempat merasa takut?
Sempat stres dan takut juga. Karena, supplier besar di Bandung yang sudah menjadi klien kami ditawari menitipkan barang di tempat mereka sekaligus cabangnya. Kami memberanikan diri dengan memberikan pilihan: “Pilih salah satu, toko kami atau mereka”. Dalam hati sih sebenarnya deg-degan, ha-ha-ha.
(Kejadian) ini kami manfaatkan untuk lebih kreatif agar konsumen tetap setia dengan Bloop. Sekarang, justru makin seru, kami semakin mendukung satu sama lain. Mereka promosi, kami juga kena imbas hasilnya. Akhirnya senang, sih banyak yang menemani dan omzet semakin naik. Karena kalau orang ke Tebet Utara, pasti mampir ke sini.
Apa yang Anda lakukan agar Bloop bisa bertahan di tengah persaingan?
Kami ini anak-anak nekat. Awalnya sama sekali tidak punya latar belakang fashion. Lalu saya dikirim kakak untuk bersekolah di London, mengambil jurusan Fashion Marketing. Pulang dari sana, saya menyadari kalau kami hanya menjual kaus, celana, dan sandal, akan membosankan. Harus ada pembaruan.
Jadi, kami riset ke 300 orang, menanyakan apakah mereka tertarik kalau kami menjual dress, sepatu dan lain-lain. Hasilnya, mereka ingin baju yang lebih modis dan variatif. Responsnya bagus dan diteruskan hingga sekarang. Saya juga suka bertindak sebagai pembeli. Jadi, saya bawa tas dan keliling-keliling toko. Kan, pembeli suka komentar kalau membeli baju, jadi saya tahu mana yang disukai dan tidak.
Sejak mengikuti pelatihan bisnis, kami membuat perencanaan bisnis selama satu tahun. Kami juga sering memanjakan pelanggan dengan hadiah dan kejutan karena mereka memberikan rezeki pada Bloop. Salah satunya Wow Factor Strategy, misalnya: ketika mereka sedang berbelanja, kami berikan amplop isinya voucher sampai Rp 1,5 juta yang harus dihabiskan dalam lima menit. Semua orang langsung heboh dan mereka pasti bercerita kepada yang lain. Itu menjadi promosi juga kan?
Kabarnya, Anda juga mendorong dan memberikan ruang kreativitas untuk karyawan?
Iya, mereka mempunyai hak istimewa untuk membuat merek sendiri karena kami mengarahkan mereka untuk menjadi pengusaha. Sekarang, ada karyawan kami yang sudah mempunyai omzet jauh lebih besar dari gajinya karena clothing-nya sukses.
Seminggu sekali, kami rapat dan karyawan boleh berpendapat, namanya project brief. Kemarin ada ide untuk membuat kertas kado di toko karena banyak (konsumen) yang datang membeli barang untuk hadiah. Untuk setiap project brief yang dijalankan, mereka dapat bonus. Mereka kreatif sekali dan membanggakan.
Setelah sukses seperti ini, imbalan apa yang Anda berikan untuk diri sendiri?
Saya suka sekali travelling dan mimpi saya adalah keliling dunia. Tapi, itu kan butuh uang. Orangtua saya mengajarkan kalau mempunyai mimpi, tempel di dinding kamar. Foto Big Ben (jam raksasa di Inggris), Manchester United, dan masih banyak lagi, saya tempel sebagai motivasi. Sekarang, satu per satu yang saya tempelkan sudah tercapai dan bertambah lagi.
Saya pernah ke pertandingan Manchester United dan bertemu mereka langsung! Lalu nonton konser Take That, Spice Girls, Gwen Stephani, ke Yunani, bertemu Mischa Barton (aktris cantik kelahiran Inggris). Wah, pokoknya senang sekali. Sekarang, saya ingin sekali traveling ke Jepang.
Bagaimana pembagian tugas dengan kakak? Kabarnya Anda dekat dengan artis.
Jabatan saya di Bloop adalah Marketing Director dan menangani produk-produk perempuan. Kalau dibilang dekat dengan artis, ya benar juga sih. Misalnya, Seventeen, D’Massive, Okky Lukman, Sandra Dewi, Tora Sudiro, Donnie Ada Band. Pokoknya artis yang sedang disukai anak muda pasti kami sponsori. Waktu awal mendirikan Bloop, kami malah sering menghampiri mereka (artis) lalu memberikan kaus Bloop. Terserah sih mau dipakai atau tidak. Seringnya sih dipakai. Lumayan, kan promosi, gratis pula.
Kalau kakak pertama, Martin Sunu Susatyo, dia lebih konsentrasi dengan bidang kreatif Bloop. Misalnya, kalau toko mau diubah desainnya. Sementara kakak kedua, Bertolomeus Saksono Jati, tugasnya lebih ke pengembangan bisnis, keuangan, dan sumber daya manusia.
Soal pembagian keuntungan dan kepemilikan usaha ini?
Selama ini, pembagian keuntungan fair kok. Jujur, saya agak lupa persisnya, namun kalau tidak salah, keuntungan dibagi rata 25 persen, antara saya, kedua kakak, dan Papa. Sebenarnya, saya enggak pernah mikirin masalah keuntungan ini karena awalnya kan cuma ikut-ikutan. Mungkin, karena ini juga dan kami memang tahu porsi masing-masing, makanya meski ini perusahaan keluarga, kami enggak pernah bertengkar. Yang jelas, kalau misalnya saya kerja keras sampai gila-gilaan, pasti dikasih bonus tambahan.
Kalau sudah menikah, kami ingin mempunyai toko masing-masing yang lebih besar dengan nama Bloop. Pokoknya, kami ingin membuat Bloop seperti Topshop di Inggris atau Zara di Spanyol yang terkenal di seluruh dunia. Begitu orang mendengar nama Bloop, mereka tahu itu berasal dari Indonesia, ya menjadi toko yang bisa dibanggakan oleh Indonesia dan menjadi trendsetter. Tentunya, tetap berjalan dengan konsep Bloop yaitu diisi produk karya anak bangsa sendiri.
Enggak tertarik kerja kantoran seperti ayah Anda?
Kalau Martin, kayaknya memang tidak tertarik karena dia orang kreatif yang tidak bisa bekerja di bawah orang lain. Sementara Berto, dia sempat tertarik. Kalau saya, dulu waktu di Inggris sempat bekerja di River Island (merek clothing) dan sampai sekarang tertarik sekali bekerja kantoran asal yang waktunya fleksibel. Seperti reporter atau fashion buyer yang memungkinkan untuk bertemu artis dan keliling dunia, seperti mimpi saya. Enak kan? Keliling dunia, dibayarin pula ha-ha-ha.
Sebenarnya siapa sih yang mengajari Anda berbisnis?
Kalau bisnis, Papa lebih banyak mendorong kami. Pengalamannya sebagai karyawan kan memperlihatkan kalau gaji pegawai sampai pensiun itu bisa diramalkan. Makanya, dia sering sekali mendorong kami, kalau ingin menjadi pegawai harus mempunyai bisnis sampingan lain. Sementara mama, awalnya sempat khawatir kami terjun bisnis sendiri, apalagi awalnya sering gagal.
Bicara mengenai bakat, mungkin nenek yang menurunkan kemampuan ini. Nenek saya buta huruf tapi dia telaten sekali berdagang. Dulu, dia berjualan stagen yang dipanggul sendiri, beratnya sampai berkilo-kilo. Oh ya, meskipun dia buta huruf, dia bisa ingat di luar kepala siapa yang membeli, siapa yang punya utang. Perjuangan nenek memang hebat sekali, pokoknya dia tangguh dan bisa menyekolahkan semua anaknya hingga menjadi sarjana.
Kenapa memilih nama Bloop? Kedengaran sederhana dan lucu.
Tiba-tiba melintas saja dan karena gampang disebut. Bagi kami arti bloop seperti ketika sesuatu dimasukkan ke dalam air karena ada udara, kan suka bunyi “Blup, blup, blup,” jadi, ya, seperti harapan hidup.
Kabarnya, dulu sempat beli putus kaus dari clothing dan distro di Bandung?
Iya, sempat beli putus dari Cosmic, Ouval, dan Airplane (clothing asal Bandung). Namun untuk mengambil dari Bandung perlu perjuangan. Maklum belum ada Tol Cipularang. Waktu itu, kami juga baru mulai dan belum tahu bagaimana caranya membuat clothing line. Arti distro kan distribution outlet, untuk menitipkan dan mendistribusikan barang. Ya sudah, beli putus dulu.
Anda menjalani usaha ini bersama saudara?
Ya, bersama dua kakak saya yang memang suka bisnis. Sebelum ini, kami sempat bisnis tambak udang, jual daging, saham. Kami juga pernah jualan martabak di pinggir jalan. Pokoknya apa saja yang bisa menghasilkan uang. Nah, awal usaha distro ini karena ajakan teman. Kebetulan saat itu kan sedang booming. Semua orang kayaknya gaul banget kalau pakai kaus distro.
Setiap kali memulai bisnis, kami meminta bantuan Papa. Tapi, karena sudah berkali-kali gagal bisnis, kami enggak berani meminta bantuan Papa lagi. Jadi, sempat terpikir untuk mencari pinjaman dari orangtua teman. Kami dekati mereka agar mau berinvestasi, tapi tanggapannya, “Distro? Lima tahun lagi juga mati.”
Lantas?
Akhirnya kami ajak Papa ke Bandung, melihat bagaimana serunya industri distro di sana. Papa ternyata tertarik dan mengusulkan untuk pinjam ke bank atas namanya dengan jaminan kami akan melunasinya. Ya sudah, kami mengiyakan. Begitu cair, kami langsung bergerak mencari lokasi. September 2003, Bloop berdiri di Kalimalang, dengan pengunjung yang bisa dihitung jari. Terus pindah ke D’Jones (Tebet Utara) karena daerahnya strategis. Dulu sih hanya ada enam tempat usaha di sini. Sekarang kebalikannya, hanya ada enam rumah, sisanya tempat usaha ha-ha-ha.
Sekarang Bloop selalu penuh dan laris ya?
Sekarang jumlah pengunjung 1.000-1.500 per hari. Kalau akhir pekan, bisa sampai 2.500 orang. Waktu Lebaran, rekornya sampai 11.000 orang per hari. Jadi, orang harus masuk gantian. Isi Bloop memang sangat variatif, ada 200 merek. Kami ajak teman-teman mengisi. Mengenai kriteria, harus anak muda banget.
Sejak itu memutuskan untuk produksi sendiri?
Iya, karena banyak orang datang jadi kami berpikir keuntungan akan lebih besar kalau memproduksi sendiri. Ternyata produk kami disukai, mungkin karena promosinya juga. Produk kami dipakai oleh VJ MTV yang saat itu sedang naik, yaitu Nirina. Orang sering sekali datang ke toko dan mencari kaus yang dipakai Nirina.
Usaha keluarga ini kemudian berkembang pesat. Bloop mempunyai “saudara” yaitu Endorse yang tadinya adalah second line Bloop, Bloop AKA (supplier), dan Urbie (second line) lalu restoran Bebek Ginyo dan D’Jones yang menyediakan makanan cepat saji. Semua berada di lokasi yang berdekatan.
Sekarang Tebet Utara dipenuhi tempat usaha serupa. Sempat merasa takut?
Sempat stres dan takut juga. Karena, supplier besar di Bandung yang sudah menjadi klien kami ditawari menitipkan barang di tempat mereka sekaligus cabangnya. Kami memberanikan diri dengan memberikan pilihan: “Pilih salah satu, toko kami atau mereka”. Dalam hati sih sebenarnya deg-degan, ha-ha-ha.
(Kejadian) ini kami manfaatkan untuk lebih kreatif agar konsumen tetap setia dengan Bloop. Sekarang, justru makin seru, kami semakin mendukung satu sama lain. Mereka promosi, kami juga kena imbas hasilnya. Akhirnya senang, sih banyak yang menemani dan omzet semakin naik. Karena kalau orang ke Tebet Utara, pasti mampir ke sini.
Apa yang Anda lakukan agar Bloop bisa bertahan di tengah persaingan?
Kami ini anak-anak nekat. Awalnya sama sekali tidak punya latar belakang fashion. Lalu saya dikirim kakak untuk bersekolah di London, mengambil jurusan Fashion Marketing. Pulang dari sana, saya menyadari kalau kami hanya menjual kaus, celana, dan sandal, akan membosankan. Harus ada pembaruan.
Jadi, kami riset ke 300 orang, menanyakan apakah mereka tertarik kalau kami menjual dress, sepatu dan lain-lain. Hasilnya, mereka ingin baju yang lebih modis dan variatif. Responsnya bagus dan diteruskan hingga sekarang. Saya juga suka bertindak sebagai pembeli. Jadi, saya bawa tas dan keliling-keliling toko. Kan, pembeli suka komentar kalau membeli baju, jadi saya tahu mana yang disukai dan tidak.
Sejak mengikuti pelatihan bisnis, kami membuat perencanaan bisnis selama satu tahun. Kami juga sering memanjakan pelanggan dengan hadiah dan kejutan karena mereka memberikan rezeki pada Bloop. Salah satunya Wow Factor Strategy, misalnya: ketika mereka sedang berbelanja, kami berikan amplop isinya voucher sampai Rp 1,5 juta yang harus dihabiskan dalam lima menit. Semua orang langsung heboh dan mereka pasti bercerita kepada yang lain. Itu menjadi promosi juga kan?
Kabarnya, Anda juga mendorong dan memberikan ruang kreativitas untuk karyawan?
Iya, mereka mempunyai hak istimewa untuk membuat merek sendiri karena kami mengarahkan mereka untuk menjadi pengusaha. Sekarang, ada karyawan kami yang sudah mempunyai omzet jauh lebih besar dari gajinya karena clothing-nya sukses.
Seminggu sekali, kami rapat dan karyawan boleh berpendapat, namanya project brief. Kemarin ada ide untuk membuat kertas kado di toko karena banyak (konsumen) yang datang membeli barang untuk hadiah. Untuk setiap project brief yang dijalankan, mereka dapat bonus. Mereka kreatif sekali dan membanggakan.
Setelah sukses seperti ini, imbalan apa yang Anda berikan untuk diri sendiri?
Saya suka sekali travelling dan mimpi saya adalah keliling dunia. Tapi, itu kan butuh uang. Orangtua saya mengajarkan kalau mempunyai mimpi, tempel di dinding kamar. Foto Big Ben (jam raksasa di Inggris), Manchester United, dan masih banyak lagi, saya tempel sebagai motivasi. Sekarang, satu per satu yang saya tempelkan sudah tercapai dan bertambah lagi.
Saya pernah ke pertandingan Manchester United dan bertemu mereka langsung! Lalu nonton konser Take That, Spice Girls, Gwen Stephani, ke Yunani, bertemu Mischa Barton (aktris cantik kelahiran Inggris). Wah, pokoknya senang sekali. Sekarang, saya ingin sekali traveling ke Jepang.
Bagaimana pembagian tugas dengan kakak? Kabarnya Anda dekat dengan artis.
Jabatan saya di Bloop adalah Marketing Director dan menangani produk-produk perempuan. Kalau dibilang dekat dengan artis, ya benar juga sih. Misalnya, Seventeen, D’Massive, Okky Lukman, Sandra Dewi, Tora Sudiro, Donnie Ada Band. Pokoknya artis yang sedang disukai anak muda pasti kami sponsori. Waktu awal mendirikan Bloop, kami malah sering menghampiri mereka (artis) lalu memberikan kaus Bloop. Terserah sih mau dipakai atau tidak. Seringnya sih dipakai. Lumayan, kan promosi, gratis pula.
Kalau kakak pertama, Martin Sunu Susatyo, dia lebih konsentrasi dengan bidang kreatif Bloop. Misalnya, kalau toko mau diubah desainnya. Sementara kakak kedua, Bertolomeus Saksono Jati, tugasnya lebih ke pengembangan bisnis, keuangan, dan sumber daya manusia.
Soal pembagian keuntungan dan kepemilikan usaha ini?
Selama ini, pembagian keuntungan fair kok. Jujur, saya agak lupa persisnya, namun kalau tidak salah, keuntungan dibagi rata 25 persen, antara saya, kedua kakak, dan Papa. Sebenarnya, saya enggak pernah mikirin masalah keuntungan ini karena awalnya kan cuma ikut-ikutan. Mungkin, karena ini juga dan kami memang tahu porsi masing-masing, makanya meski ini perusahaan keluarga, kami enggak pernah bertengkar. Yang jelas, kalau misalnya saya kerja keras sampai gila-gilaan, pasti dikasih bonus tambahan.
Kalau sudah menikah, kami ingin mempunyai toko masing-masing yang lebih besar dengan nama Bloop. Pokoknya, kami ingin membuat Bloop seperti Topshop di Inggris atau Zara di Spanyol yang terkenal di seluruh dunia. Begitu orang mendengar nama Bloop, mereka tahu itu berasal dari Indonesia, ya menjadi toko yang bisa dibanggakan oleh Indonesia dan menjadi trendsetter. Tentunya, tetap berjalan dengan konsep Bloop yaitu diisi produk karya anak bangsa sendiri.
Enggak tertarik kerja kantoran seperti ayah Anda?
Kalau Martin, kayaknya memang tidak tertarik karena dia orang kreatif yang tidak bisa bekerja di bawah orang lain. Sementara Berto, dia sempat tertarik. Kalau saya, dulu waktu di Inggris sempat bekerja di River Island (merek clothing) dan sampai sekarang tertarik sekali bekerja kantoran asal yang waktunya fleksibel. Seperti reporter atau fashion buyer yang memungkinkan untuk bertemu artis dan keliling dunia, seperti mimpi saya. Enak kan? Keliling dunia, dibayarin pula ha-ha-ha.
Sebenarnya siapa sih yang mengajari Anda berbisnis?
Kalau bisnis, Papa lebih banyak mendorong kami. Pengalamannya sebagai karyawan kan memperlihatkan kalau gaji pegawai sampai pensiun itu bisa diramalkan. Makanya, dia sering sekali mendorong kami, kalau ingin menjadi pegawai harus mempunyai bisnis sampingan lain. Sementara mama, awalnya sempat khawatir kami terjun bisnis sendiri, apalagi awalnya sering gagal.
Bicara mengenai bakat, mungkin nenek yang menurunkan kemampuan ini. Nenek saya buta huruf tapi dia telaten sekali berdagang. Dulu, dia berjualan stagen yang dipanggul sendiri, beratnya sampai berkilo-kilo. Oh ya, meskipun dia buta huruf, dia bisa ingat di luar kepala siapa yang membeli, siapa yang punya utang. Perjuangan nenek memang hebat sekali, pokoknya dia tangguh dan bisa menyekolahkan semua anaknya hingga menjadi sarjana.
Sumber : Kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar