Apakah fotografi sebuah seni? Apa ciri khas yang bisa membuatnya bisa dikatakan sebagai suatu cabang ekspresi seni? Demikian kira-kira gugatan rekan Agan Harahap di forum beberpa waktu yang lalu. Jawaban atas pertanyaan itu bisa jadi positif atau negatif, ya atau tidak.
Fotografi memang memiliki aspek teknologi dan estetika. Sebagai teknologi, fotografi pada awalnya diciptakan sebagai alat rekam. Kamera berikut perlengkapan yang memungkinkannya merekam citra (image) adalah aspek perangkat keras (hardware) teknologi fotografi; sedangkan pengetahuan tentang bagaimana cara menggunakan perangkat tersebut untuk menghasilkan citra adalah aspek perangkat lunaknya (software).
Penguasaan aspek teknologi saja tidak serta merta membuat orang menjadi seniman foto. Banyak orang mempunyai kamera dan pengetahuan tentang bagaimana cara menggunakannya dengan baik. Namun karena cara dan tujuan penggunaan aspek teknologi tersebut, mereka tidak dapat dikatakan sebagai seniman foto. Seorang ibu yang menggunakan kamera untuk merekam momen-momen penting dalam kehidupan keluarganya atau para peneliti yang menggunakan kamera untuk mendokumentasikan objek penelitiannya tidak dapat dikatakan sebagai seorang seniman foto, meskipun mungkin foto-foto yang dihasilkannya secara teknis sempurna dan boleh jadi memiliki nilai estetika yang cukup tinggi. Demikian juga seorang wartawan foto yang mengabadikan momen-momen penting sejarah. Meskipun karya-karya fotonya boleh jadi istimewa dari segi teknis dan muatan ceritanya, karya-karya itu menurut saya tidak dapat dianggap sebagai karya seni, walaupun karya-karya itu mempunyai nilai komersial tinggi, dikoleksi oleh museum dan/atau dipamerkan di galeri-galeri terkemuka.
Seni tidak dapat dinilai dari aspek teknis dan/atau komersialnya saja. Ada aspek yang lebih esensial yang membuat suatu karya bisa digolongkan sebagai suatu ekspresi seni, yaitu aspek kreatif-eksploratif-estetik. Dalam urutan ini, aspek estetik dicapai bukan semata karena kelihaian dalam memanfaatkan aspek teknologi, namun (dan ini yang lebih penting) karena adanya aspek kesengajaan dan keinginan untuk menciptakan sesuatu yang baru yang lahir dari perenungan gagasan yang bersifat eksploratif. Dengan kata lain, perenungan eksploratif melahirkan gagasan untuk mencipta. Gagasan ini kemudian dicarikan bentuknya dengan memanfaatkan aspek teknologi. Jika teknologi yang ada belum memungkinkan untuk memberikan bentuk ekspresi bagi gagasan yang dimiliki oleh seorang seniman, maka seniman itu mungkin akan berusaha menggabungkan beberapa teknologi yang ada, atau memanfaatkan teknologi yang ada secara kreatif, atau bekerjasama dengan engineers menciptakan teknologi baru untuk mewujudkan gagasannya itu. Jadi aspek teknologi atau kesempurnaan teknis dalam hal ini tidak menjadi unsur utama, tapi hanya pendukung atau alat berkreasi. Ilustrasi berikut mungkin bisa sedikit menjelaskan mengenai hal ini:
Alif dan Baba sama-sama pencita fotografi. Kedua-duanya menguasai dan lihai menggunakan teknologi inframerah untuk menghasilkan foto-foto yang indah. Jika aspek teknologi dan estetika saja yang digunakan, bisa jadi kita menggolongkan keduanya sebagai seniman foto. Namun ada satu hal yang membedakan Alif dan Bana. Alif menggunakan teknologi inframerah untuk memberikan bentuk bagi gagasan kreatif-eksploratif yang dimilikinya. Karya-karya fotonya selalu mengandung ungkapan-ungkapan estetik yang kreatif dan �mengejutkan� (mungkin dengan pilihan subjeknya, sudut pengambilannya, atau eksplorasi nirmananya). Oleh karena itu, karya-karyanya mempunyai ciri khas yang menjadi signature kesenimanannya. Baba juga menggunakan teknologi inframerah. Namun dia memanfaatkan teknologi ini bukan untuk memberi bentuk bagi gagasan-gagasan eksploratif-kreatifnya, tapi sekedar karena curiosity (rasa ingin tahu/mencoba) kehebatan teknologi ini. Subjek dan sudut pengambilan yang dipilihnya boleh jadi sekedar meniru atau menjiplak dari orang-orang sekelas Alif. Tidak ada unsur kejutan kreatif yang secara konsisten melahirkan ciri khas yang bisa menjadi signature bagi karya-karya yang dihasilkannya. Dalam contoh ini, Alif dapat kita golongkan sebagai seniman foto, sedangkan Baba barangkali lebih tepat disebut sebagai tukang foto atau fotografer.
Memang contoh di atas bisa menimbulkan perdebatan. Di dunia di mana segala sesuatu bisa diproduksi secara massal (mass-produced culture), sesuatu yang hari ini dianggap sebagai suatu bentuk ekspresi adikreasi estetik, besok boleh jadi sudah banyak ditemukan tiruan atau simulakrumnya. Karena fenomena inilah, apa yang sempurna secara teknis/teknolgis dan memiliki nilai estetika yang menyenangkan indera namun bersifat (dan diproduksi secara) massal umumnya digolongkan ke dalam seni populer (pop arts). Sementara itu, ekspresi seni yang mempunyai nilai orisinalitas yang tinggi dari segi gagasan ekploratif-kreatifnya biasanya digolongkan ke dalam Arts (Seni dengan S besar). Seni (dengan S besar) seringkali menjadi sumber inspirasi bagi seni (dengan s kecil) yang bersifat lebih merakyat alias populer. Suatu karya foto bisa masuk ke dalam Seni (dengan S besar) atau seni (dengan s kecil). Semua bergantung pada apakah karya itu memiliki nilai kreatif-eksploratif yang khas dan �orisinal� dari segi gagasan yang melandasinya, atau hanya sekedar tiruan atau simulakrum dari gagasan-gagasan inspiratif yang lahir dari proses perenungan kreatif para maestro.
sumber : http://www.fotografer.net
Bandung, 29 Oktober 2006
Eki Akhwan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar