Minggu, 22 Januari 2012

7 faktor kebahagiaan dunia



chippadidetik

Ibnu Abbas ra. adalah salah seorang sahabat Nabi SAW yang sangat telaten dalam menjaga dan melayani Rasulullah SAW, dimana ia pernah secara khusus didoakan Rasulullah SAW. 


Selain itu pada usia 9 tahun Ibnu Abbas telah hafal Al-Quran dan telah menjadi imam di masjid. Suatu hari ia ditanya oleh para Tabi’in (generasi sesudah wafatnya Rasulullah SAW) mengenai apa yang dimaksud dengan kebahagiaan dunia. Jawab Ibnu Abbas ada 7 (tujuh) faktor kebahagiaan dunia, yaitu :

Pertama, Qalbun Syakirun atau Hati yang Selalu Bersyukur
Memiliki jiwa syukur berarti selalu menerima apa adanya (qona’ah), sehingga tidak ada ambisi yang berlebihan, tidak selalu stress bila target atau keinginanya tidak tercapai. Inilah nikmat bagi hati yang selalu bersyukur.

Seorang yang pandai bersyukur sangatlah cerdas memahami sifat-sifat Allah SWT, sehingga apapun yang diberikan Allah diterimanya dengan lapang dada. Ia malah terpesona dengan pemberian dan keputusan Allah.

Bersyukur bukan berarti pasrah saja dan tidak berfikir kritis, kita tetap bisa cerdas dan peka akan hal dan kondisi yang lebih baik dalam banyak hal, namun adakalanya ada hal-hal yang memang tidak bisa kita nalar dengan hanya logika kita. 


Bila sedang dalam kesulitan maka ia segera ingat sabda Rasulullah SAW yaitu : “Kalau kita sedang sulit, perhatikanlah orang yang lebih sulit dari kita”. Bila sedang diberi kemudahan, ia bersyukur dengan memperbanyak amal ibadahnya, kemudian Allah pun akan mengujinya dengan kemudahan yang lebih besar lagi. 


Bila ia tetap “bandel” dengan terus bersyukur, maka Allah akan mengujinya lagi dengan kemudahan yang lebih besar lagi. Manusia hanya berusaha menjalani kehidupan, ia bukan penentu kehidupan, Sang Maha Kuasa lah yang menentukan kita. 


Artinya kita wajib ikhtiar seoptimal mungkin, kemudian berdoa, selanjutnya tinggal bertawakal pada Allah. Percayalah, Ia memberikan yang terbaik bagi kapasitas kita saat ini.

Maka berbahagialah orang yang pandai bersyukur! Niscaya Allah akan menambah limpahan rizqi kepadanya.

Kedua, Al Azwaju Shalihah, yaitu Pasangan Hidup yang Sholeh

Pasangan hidup yang sholeh akan menciptakan suasana rumah dan keluarga yang sholeh pula. Istri yang sholeh adalah perhiasan dunia yang paling berharga begitu kata sebuah hadits.

Pasangan hidup yang baik dan berkualitas cenderung akan mampu membangun rumah tangga yang baik dan berkualitas pula, karena ia memiliki visi dan misi hidup yang jelas dan akan menjadi kompas hidupnya.


 Dunia fana ini adalah jembatan menuju ke kehidupan akhirat yang kekal dan harus dirajut secara seimbang dan selaras antara kepentingan dunia dan kesiapan ukhrowi. Sinergi dan saling mengisi dalam membangun dua sisi kehidupan ini menjadi kerangka dalam rumah tangga yang didasari oleh kasih sayang yang syar’i, sehingga harta, jabatan dan kepentingan duniawi yang melenakan bukanlah segalanya untuk dicapai dengan berbagai cara (apalagi degan cara yg tidak halal).

Berbahagialah menjadi seorang istri bila memiliki suami yang sholeh. Ia akan bekerja keras untuk mengajak istri dan anaknya menjadi muslim yang sholeh. 


Demikian pula seorang istri/suami yang sholeh, akan memiliki kesabaran dan keikhlasan yang luar biasa dalam melayani dan mendampingi pasangannya, walau seberapa buruknya kelakuan pasangannya (sebagai ujian kesabaran dan tantangan). Sebab apalah artinya cantik/ganteng dan kaya jika dalam berumah tangga ternyata didominasi karakter buruk (sombong, egois, emosional, suka bohong, pembangkang, selingkuh, dan penipu dll). Maka berbahagialah menjadi seorang suami yang memiliki seorang istri yang sholeh dan sebaliknya. Di akhirat kelak seorang suami (sebagai imam keluarga) akan diminta pertanggungjawaban dalam mengajak istri dan anaknya kepada kesholehan.

Ketiga, Al Auladun Abrar, yaitu Anak yang Sholeh

Saat Rasulullah SAW sedang thawaf, Rasulullah SAW bertemu dengan seorang anak muda yang pundaknya lecet-lecet. Setelah selesai thawaf Rasulullah SAW bertanya kepada anak muda itu : “Kenapa pundakmu itu ?” Jawab anak muda itu : “Ya Rasulullah, saya dari Yaman, saya mempunyai seorang ibu yang sudah udzur. Saya sangat mencintai dia dan saya tidak pernah melepaskan dia. 


Saya melepaskan ibu saya hanya ketika buang hajat, ketika sholat, atau ketika istirahat, selain itu sisanya saya selalu menggendongnya”. 


Lalu anak muda itu bertanya: ” Ya Rasulullah, apakah aku sudah termasuk kedalam orang yang sudah berbakti kepada orang tua ?” Nabi SAW sambil memeluk anak muda itu mengatakan: “Sungguh Allah ridho kepadamu, kamu anak yang soleh, anak yang berbakti, tapi anakku ketahuilah, cinta orangtuamu tidak akan terbalaskan olehmu”.

Dari hadist tersebut kita mendapat gambaran bahwa amal ibadah kita ternyata tidak cukup untuk membalas cinta dan kebaikan orang tua kita, namun minimal kita bisa memulainya dengan menjadi anak yang soleh, dimana doa anak yang sholeh untuk orang tuanya dijamin dikabulkan Allah. 


Anak yang sholeh akan menjadi bekal untuk mengangkat derajat kita di dunia dan akherat, sebaliknya jika anak itu tidak sholeh maka akan menjadi beban kita baik di dunia maupun di akherat bukan? Maka berbahagialah kita bila memiliki anak yang sholeh.

Keempat, Al Biatu Sholihah, yaitu Lingkungan yang Kondusif untuk Iman Kita.

Yang dimaksud dengan lingkungan yang kondusif ialah, kita boleh mengenal siapapun tetapi untuk menjadikannya sebagai sahabat karib kita, haruslah  orang-orang yang mempunyai nilai tambah terhadap keimanan kita. 


Dalam sebuah haditsnya, Rasulullah menganjurkan kita untuk selalu bergaul dengan orang-orang yang sholeh. Orang-orang yang sholeh akan selalu mengajak kepada kebaikan dan mengingatkan kita bila kita berbuat salah. 


Orang-orang sholeh adalah orang-orang yang bahagia karena nikmat iman dan nikmat Islam yang selalu terpancar pada cahaya wajah dan amalnya. Insya Allah cahaya tersebut akan ikut menyinari orang-orang yang ada disekitarnya.

Ingat agama seseorang dipengaruhi agama sahabatnya (lingkunganya). Banyak sudah bukti bahwa lingkungan sosial yang buruk dengan mudah dapat menciptakan karakter buruk ikut tumbuh dengan subur.

Berbahagialah orang-orang yang selalu dikelilingi oleh orang-orang yang sholeh dan mampu memilih serta memilah teman, sahabat, juga lingkungan yang baik dan berkualitas untuk selalu menjaga dan melindungi diri dan keluarganya agar tetap mampu menjalankan ibadahnya dengan baik.

Kelima, Al Malul Halal, atau Harta yang Halal

Paradigma dalam Islam mengenai harta bukanlah banyaknya harta, tetapi halalnya. Ini tidak berarti Islam tidak menyuruh umatnya untuk kaya. Dalam riwayat Imam Muslim di dalam bab sadaqoh, Rasulullah SAW pernah bertemu dengan seorang sahabat yang berdoa mengangkat tangan. 


“Kamu berdoa sudah bagus”, kata Nabi SAW, “Namun sayang makanan, minuman dan pakaian dan tempat tinggalmu didapat dengan cara haram, bagaimana doanya dikabulkan”. Berbahagialah menjadi orang yang hartanya halal karena doanya sangat mudah dikabulkan Allah.


 Harta yang halal juga akan menjauhkan setan dari hatinya, maka hatinya semakin bersih, suci dan kokoh, sehingga memberi ketenangan dalam hidupnya.

Bagaimana mau bahagia dunia dan akherat? jika setiap hari bergelimang dengan harta yang haram (hasil mencuri, korupsi, menipu, manipulasi atau memeras rakyat/umat) atau dari upeti usaha illegal bahkan usaha haram (prostitusi, jual makanan/minuman keras, obat terlarang, mengurangi timbangan dll).


 Ketika dimakan bersama keluarga kita, maka akan menjadi darah daging yang tidak baik dan mudah dihinggapi setan, hawa nafsu dan penyakit, maka tidak heran jika banyak anak sakit-sakitan, nakal atau bahkan kriminal serta berkarakter tidak baik (kasus narkoba, tidak jujur, urakan, emosional) dikarenakan orang tuanya mendapatkan harta dari sumber yang tidak halal dan tidak berkah. sehingga berbahagialah orang-orang yang selalu dengan teliti menjaga kehalalan hartanya.

Keenam, Tafakuh fi Dien, atau Semangat untuk Memahami Agama

Semangat memahami agama diwujudkan dalam semangat memahami ilmu-ilmu agama Islam. Semakin ia belajar, maka semakin ia terangsang untuk belajar lebih jauh lagi ilmu mengenai sifat-sifat Allah dan ciptaan-Nya. 


Allah menjanjikan nikmat bagi umat-Nya yang menuntut ilmu, semakin ia belajar semakin cinta ia kepada agamanya, semakin tinggi cintanya kepada Allah dan rasul-Nya, bukan semakin sombong dan arogan karena ilmu dan kekuasanya. 


Cinta inilah yang akan memberi cahaya bagi hatinya. Semangat memahami agama akan meng ”hidup” kan hatinya. Hati yang “hidup” adalah hati yang selalu dipenuhi cahaya nikmat Islam dan nikmat iman.

Ketujuh, yaitu Umur yang Baroqah

Umur yang baroqah itu artinya umur yang semakin tua semakin sholeh, yang setiap detiknya diisi dengan amal ibadah. 


Seseorang yang mengisi hidupnya untuk kebahagiaan dunia semata, maka hari tuanya akan diisi dengan banyak bernostalgia (berangan-angan) tentang masa mudanya, iapun cenderung kecewa dengan ketuaannya (post-power syndrome).


 Disamping itu pikirannya terfokus pada bagaimana caranya menikmati sisa hidupnya, maka iapun sibuk berangan-angan terhadap kenikmatan dunia yang belum ia sempat rasakan, hatinya kecewa bila ia tidak mampu menikmati kenikmatan yang diangankannya.

Sedangkan orang yang mengisi umurnya dengan banyak mempersiapkan diri untuk akhirat (melalui amal ibadah) maka semakin tua semakin rindu ia untuk bertemu dengan Sang Penciptanya.


 Hari tuanya diisi dengan bermesraan dengan Sang Maha Pengasih. Hari-harinya dipenuhi dengan karya dan amal kepada sesama, tiada hari tanpa bermanfaat bagi orang lain atau alam sekitar, bukan sebaliknya “Tua-tua keladi”, semakin tua semakin menjadi kelakuanya. Puncaknya tiada rasa takut untuk meninggalkan dunia ini, bahkan ia penuh harap untuk segera merasakan keindahan alam kehidupan berikutnya seperti yang dijanjikan Allah.

Inilah semangat “hidup” orang-orang yang baroqah umurnya, maka berbahagialah orang-orang yang umurnya baroqah.

Demikianlah pesan-pesan dari Ibnu Abbas ra. mengenai 7 indikator kebahagiaan dunia. Namun pertanyannya adalah; Bagaimana caranya agar kita dikaruniakan Allah ke tujuh buah indikator kebahagiaan dunia tersebut ? Selain usaha keras kita untuk memperbaiki diri, maka mohonlah kepada Allah SWT dengan sesering dan se-khusyu’ mungkin.

 http://www.masjidkotabogoronline.com/ind…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar