Jika kita sering hadir di dalam sebuah majelis ilmu, dalam muqadimah awal yang sering kita dengar di lafadzkan oleh pengisi tausiah adalah “Allah telah memberikan kita sebuah nikmat, dimana nikmat itu tidak diberikan kepada selain Umat Islam yakni nikmat Iman dan nikmat Islam.” Tentu hal tersebut benar adanya. Namun pertanyaan nya adalah, apakah kita memang telah merasakan kenikmatan beriman dan berislam tersebut? Bukankah sesuatu yang bernama nikmat itu tentu dapat dirasakan kenikmatannya?
14 abad yang lalu, Islam hadir di permukaan bumi. Risalah Islam di bawa oleh Rasulullah saw. Islam adalah agama yang sempurna, kesempurnaan Islam tersebut karena Islam hadir dengan memberikan solusi secara menyeluruh akan setiap af’al perbuatan manusia ketika beramal. Baik ketika beramal dalam hal spritual, maupun dalam hal sosial masyarakat, serta dalam hal urusan pribadi yang orang lain tidak ikut campur.
Dalam perkara urusan spritual atau yang disebut sebagai ibadah mahdhah maka Islam memberikan aturan yang jelas tentang bagaimana thariqah yang benar ketika beribadah kepada Nya.
Dalam perkara urusan sosial masyarakat, seperti pergaulan, muamalah, budaya dan lain nya, Islam pun memberikan aturan, dimana hal ini tidak dimilik oleh agama selain Islam.
Dalam perkara urusan pribadi, perkara akhlaq, pakaian, makanan dan minuman Islam pun memiliki aturan.
Pendek kata, Islam memiliki aturan yang sempurna, yang mengatur setiap sendi kehidupan manusia, baik dalam hal hablumminallah, habluminannas, dan habluminafsi.
Islam adalah satu-satunya agama yang mempunyai berbagai dimensi yang dapat menjawab berbagai persoalan asasi ummat manusi sepanjang masa, termasuk masa kini dan masa yang akan datang. Maka dari itu Islam adalah agama yang paling benar dan di ridhoi Allah SWT seperti pada firman-Nya :
“Sesunggunya agama disisi Allah Adalah Islam”.(TQS Ali Imran: 19)
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagim” [TQS Al Maidah:3]
Tidak diterima agama selain Islam:
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” [Ali Imran:85]
Itulah kesempurnaan Islam, sebagai satu-satunya agama yang memiliki aturan hidup serta satu-satu nya agama yang di ridhai oleh Allah swt. Hal ini tentulah tidak kita temui di dalam agama di luar Islam.
Namun, dengan kesempurnaan tersebut, apakah kita telah merasakan kenikmatan ketika beriman dan berIslam? Sebagaimana yang sering kali di kutip oleh para ustadz di muqadimah taujihatnya.
Inilah yang seharusnya menjadi sebuah renungan bagi tiap-tiap orang yang mengaku beriman kepadaNya dengan Islam sebagai agamanya.
Jadi pertanyaan yang mendasar adalah, bagaimana tolak ukur seseorang itu bisa dikatakan merasakan nikmatnya beriman dan berislam? Sehingga manisnya Iman dapat dirasakan, yang kemudian berpengaruh pada amal orang tersebut di dunia.
Dalam hal ini, cukuplah sabda dari nabi kita yang mulia Rasulullah Muhammad saw. Beliau bersabda :
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ، أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
Sabda Rasulullah saw :
“Tiga hal, yang barangsiapa memilikinya ia akan menemukan manisnya Iman, ia menjadikan Allah dan Rasul Nya lebih ia cintai dari selain keduanya, dan ia tiada mencintai seseorang kecuali karena cintanya pada Allah, dan ia benci kembali kepada kekufuran sebagaimana ia tidak ingin dilemparkan pada api” (Shahih Bukhari)
Dari hadist di atas, kita bisa melihat ada tiga hal yang harus dikerjakan oleh seseorang, hingga ia bisa merasakab manisnya Iman.
Pertama, Mencintai Allah dan rasulNya melebihi apa yang ia cintai dari keduanya.
ia akan selalu mengutamakan kecintaanya kepada Allah dan RasulNya daripada mementingkan kesenangan dan kemegahan dunia, seperti bersenang-senang dengan keluarga, lebih senang tinggal di rumah ketimbang merespon seruan dakwah dan asyik dengan bisnisnya tanpa ada kontribusi sedikitpun terhadap kegiatan dakwah di jalan Allah swt. Sebagaimana firman Allah dalam surat at Taubah:
“Katakanlah: “Jika bapa-bapak, anak-anak , saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan Keputusan-Nya. dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” [TQS At Taubah : 24]
“Katakanlah: “Jika bapa-bapak, anak-anak , saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan Keputusan-Nya. dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” [TQS At Taubah : 24]
bila seseorang senantiasa mengutamakan kecintaan kepada Allah, Rasul dan jihad di jalan-Nya, daripada kepentingan dirinya sendiri, maka akan lahirlah sikap ridha terhadap Allah sebagai Rabbnya, Islam sebagai din-nya dan Muhammad sebagai Nabi dan Rasulnya. Keridhaannya itu dibuktikan dengan selalu menghadiri halaqahnya, terlibat dengan kegiatan dakwah di lingkungannya dan menginfakkan sebagian harta dan waktunya untuk kemaslahatan tegaknya agama Allah swt.
Apa yang dirasakan oleh seseorang bila ia telah ridha terhadap Allah, agama dan Rasulnya?
Pertama, Ia akan merasakan “Istildzadz at-Thaa’ah”, lezatnya ketaatan kepada Allah swt., baik dalam shalatnya, tilawah Qur’annya, pakaian dan pergaulan islaminya, perkumpulannya dengan orang-orang shaleh dan keterlibatannya dalam barisan dakwah.
Kedua, Ia juga akan merasakan “Istildzadz al-masyaqat”, lezatnya menghadapi berbagai kesulitan dan kesusahan dalam berdakwah. Kelelahan, keletihan, dan hal-hal yang menyakiti perasaannya akibat celaan orang karena menjalankan syariat Islam, atau bahkan mencederai fisiknya, semua itu semakin membuatnya nikmat dalam berdakwah. Semua inilah yang akan senantiasa melahirkan manisnya Iman.
Kedua, mencintai seseorang karena Allah, bukan sebab yang lain.
Imam an Nawawi seorang ‘ulama dari Madzhab Iman syafe’I pernah berkata
“Aku mencintaimu karena agama yang ada pada dirimu…..
Jika kau hilangkan agama dalam dirimu…..
Hilanglah cintaku padamu”
Jika kau hilangkan agama dalam dirimu…..
Hilanglah cintaku padamu”
Tentu apa yang beliau ucapkan tersebut merupakan sesuatu yang menunjukan bahwa sebagai seorang yang mengaku beriman kepada Allah dan RasulNya, maka baik apa yang dia cintai dan apa yang dia benci, bermuara kepada standar keridhaan dan kebencian oleh Allah swt dan rasulNya. Bukan karena sebab nafsu syahwat yang lebih condong kepada kesenangan dunia semata.
Dia mencintai pasangan dia baik sebagai suami ataupun isteri murni karena agama yang dia lihat pada pasangannya tersebut, bukan faktor yang lain, baik harta, bentuk fisik ataupun nashabnya.
Rasulullah saw bersabda :
“Perempuan dinikahi karena empat faktor. Karena hartanya, nasabnya, kecantikannya dan karena agamanya. Maka menangkanlah wanita yang mempunyai agama, engkau akan beruntung.” [Diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, al-Nasa’i, Abu Dawud Ibn Majah Ahmad ibn Hanbal, dan al-Darimi dalam kitabnya dari sahabat Abu Hurairah ra].
Dalam hal memilih seorang untuk menjadi teman pun ia akan memilih karena agama yang ada pada diri orang tersebut.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
“Seseorang itu akan mengikuti agama temannya, karenanya hendaklah salah seorang diantara kalian mencermati kepada siapa ia berteman.”
[Hadits hasan, riwayat Tirmidzi (no. 2387), Ahmad (no. 8212), dan Abu Dawud (no. 4833), Berkata Abu Isa: Hadits ini hasan gharib]
Seorang muslim/muslimah haruslah yang dipupuk dengan keimanan dan dididik dengan pola interaksi Islami. Maka pandangan Islam dalam memilih teman adalah barometernya, karena dirinya sadar, teman yang baik (shalih/shalihah) memiliki pengaruh besar dalam menjaga keistiqomahan agamanya. Selain itu teman shalih/shalihah adalah sebenar-benar teman yang akan membawa mashlahat dan manfaat.
Maka dalam pergaulannya dia akan memilih teman yang baik dan shalih/shalihah, yang benar-benar memberikan kecintaan yang tulus, selalu memberi nasihat, tidak curang dan menunjukan kebaikan. Karena bergaul dengan orang-orang shalih/shalihah akan menjadikannya sebagai teman yang selalu mendatangkan manfaat dan pahala yang besar, juga akan membuka hati untuk menerima kebenaran. Maka kebanyakan teman akan jadi teladan bagi temannya yang lain dalam akhlak dan tingkah laku. Seperti ungkapan:
“Janganlah kau tanyakan seseorang pada orangnya, tapi tanyakan pada temannya. karena setiap orang mengikuti temannya”.
Bertolak dari sinilah maka seorang muslim/muslimah senantiasa dituntut untuk dapat memilih teman, juga lingkungan pergaulan yang tak akan menambah dirinya melainkan ketakwaan dan keluhuran jiwa. Sesungguhnya Rasulullah juga telah menganjurkan untuk memilih teman yang baik (shalih/shalihah) dan berhati-hati dari teman yang jelek. Hal ini telah dimisalkan oleh Rasulullah melalui ungkapannya:
مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالسَّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيرِ فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً وَنَافِخُ الْكِيرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيحًا خَبِيثَةً
“Sesungguhnya perumpamaan teman yang baik (shalih/shalihah) dan teman yang jahat adalah seperti pembawa minyak wangi dan peniup api pandai besi. Pembawa minyak wangi mungkin akan mencipratkan minyak wanginya itu atau engkau menibeli darinya atau engkau hanya akan mencium aroma harumnya itu. Sedangkan peniup api tukang besi mungkin akan membakar bajumu atau engkau akan mencium darinya bau yang tidak sedap”.(Riwayat Bukhari, kitab Buyuu’, Fathul Bari 4/323 dan Muslim kitab Albir 4/2026)
Ketiga, benci kembali kepada kekufuran sebagaimana ia tidak ingin dilemparkan pada api.
Dalam kehidupan di dunia ini, seseorang terkadang melakukan sesuatu yang itu melanggar ketentuan syariah, tentu ada yang di lakukan secara sengaja dan terang-terangan ataupun secara sembunyi, namun ada juga yang dilakukan karena khilaf ataupun keterpaksaan.
Ada nasehat yang paling baik bagi seseorang, tatkala orang tersebut meminta untuk diberikan sebuah nasehat. Yaitu kematian. Kematian adalah nasehat terbaik. Sedikit saja kita lengah dari pemikiran kematian,maka kita kehilangan guru terbaik dalam hidup.
Ada nasehat yang paling baik bagi seseorang, tatkala orang tersebut meminta untuk diberikan sebuah nasehat. Yaitu kematian. Kematian adalah nasehat terbaik. Sedikit saja kita lengah dari pemikiran kematian,maka kita kehilangan guru terbaik dalam hidup.
Ibnu Umar radhiyallaahu ‘anhuma berkata, “Suatu hari aku duduk bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba datang seorang lelaki dari kalangan Anshar, kemudian ia mengucapkan salam kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan bertanya, ‘Wahai Rasulullah, siapakah orang mukmin yang paling utama?’ Rasulullah menjawab, ‘Yang paling baik akhlaqnya’. Kemudian ia bertanya lagi, ‘Siapakah orang mukmin yang paling cerdas?’. Beliau menjawab, ‘Yang paling banyak mengingat mati, kemudian yang paling baik dalam mempersiapkan kematian tersebut, itulah orang yang paling cerdas.’ (HR. Ibnu Majah, Thabrani, dan Al Haitsamiy. Syaikh Al Albaniy dalam Shahih Ibnu Majah 2/419 berkata : hadits hasan)
Di kehidupan dunia ini, kenikmatan dan kelezatan dunia sungguh bisa memalingkan manusia dari tujuan hidup sebenarnya. Oleh karenanya, dengan sering-sering mengingat akan mati, maka ia akan bisa terus melakukan introspeksi dirinya, sehingga tidak terus larut pada kelezatan yang fana ini.
Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu beliau berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Perbanyaklah mengingat pemutus segala kelezatan’, yaitu kematian. (HR. At Tirmidzi, Syaikh Al Albaniy dalam Shahih An Nasa’iy 2/393 berkata : “hadits hasan shahih”)
Oleh karena itu, Isyhadu Bi Anna Muslimun” bukan hanya sebatas ucapan dalam pengakuan.namun juga terlihat dari setiap aktivitasnya. Dan tentu harus sama-sama merasakan di dalam diri masing-masing, apakah nikmat Iman dan nikmat Islam serta kelezatan kenikmatannya tersebut sudah ataukah belum sama sekali kita rasakan. Karena sekali lagi kalimat “Isyhadu Bi Anna Muslimun” bukan hanya sebatas ucapan dalam pengakuan.
Wallahu A’lam bis showab.
Samarinda, 11 Desember 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar