Dalam Kitab Ihya’ Ulumiddin, bab al-Amr bi al-Ma‘ruf wa an-nahyu ‘an al-Munkar. Imam al-Ghazali menyebutkan sejumlah hadis atau atsar tentang jihad. Dalam bab ini, al-Ghazali juga menekankan, bahwa aktivitas amar ma’ruf dan nahi munkar, adalah yang menentukan hidup-matinya umat Islam.
Tetapi, yang menarik, saat berkecamuknya Perang Salib, dalam IÍya’, al-Ghazali sangat menekankan pentingnyajihad an-nafs, merujuk kepada sejumlah hadis Rasulullah SAW. Tentu tidak dapat dikatakan bahwa al-Ghazali tidak mengetahui arti jihad sebagai perang. Sebab, dalam karya-karyanya yang lain, al-Ghazali telah banyak menjelaskan makna jihad dalam arti perang, seperti dalam al-Wajiz fi Fiqh Madzhab al-Imam as-Shafi‘iy.
Ini dapat disimpulkan bahwa sebagai pakar fiqh, al-Ghazali sangat memahami kewajiban jihad, dan ia telah banyak menulis tentang hal ini. Menurut ulama ash-Syafi‘iyyah, jihad adalah perang melawan kaum kafir untuk menolong Islam. (huwa qital al-kuffar li nushrah al-Islam.
(Wahbah al-Zuhayliy, al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu, , 8:5846).
Mengutip hadith Rasulullah saw, “Jahidul mushrikina bi-amwalikum wa-anfusikum wa alsinatikum”, Wahbah al-Zuhayliy menyebutkan definisi jihad: “badhl al-wus‘i wa-al-thaqati fi qital al-kuffari wa mudafi‘atihim bi al-nafsi wa al-mali wa al-lisani.” (Jihad adalah mengerahkan segenap kemampuan untuk memerangi kaum kafir dan berjuang melawan mereka dengan jiwa, harta, dan lisan mereka).
Dalam Ihya’ Ulumiddin, al-Ghazali menjelaskan hampir seluruh aspek kehidupan manusia dalam perspektif Islam. Ia menulis begitu banyak topik, seperti masalah ilmu, ibadah, etika sosial, hal-hal yang merusak (al-muhlikat), dan juga yang menyelamatkan (al-munjiyat). Metode al-Ghazali dalam menulis IÍya’ adalah asing dibandingkan dengan banyak buku pada waktu itu. Dengan menganalisis Ihya’, dapat disimpulkan bahwa buku ini disiapkan al-Ghazali untuk melakukan reformasi intelektual dan moral kaum Muslim dalam perspektif yang lebih luas dari sekedar masalah Perang Salib ketika itu. (Lihat, Dr. Majid Irsan Kailani Hakadza Dhahara Jilu Shalahuddin wa Hakadza ‘Adat al-Quds).
Salah satu tahap penting dari perjalanan al-Ghazali adalah kunjungannya ke Damaskus dan Jerusalem, dimana pasukan Salib sukses menaklukkan sebagian wilayah Syria dua tahun sesudah itu. Kunjungan al-Ghazali ke Damaskus sangat penting ditelaah sebab berkaitan dengan penulisan buku Kitab al-Jihad pada awal periode Perang Salib, yang ditulis ‘Ali b. Thahir al-Sulami an-Nahwi (1039-1106), seorang imam bermazhab Shafi‘i dari Damaskus. Ia adalah seorang yang aktif menggalang jihad melawan pasukan Salib melalui pertemuan-pertemuan umum pada 1105 (498 H), enam tahun setelah penaklukan Jerusalem oleh pasukan Salib.
Adalah sangat mungkin al-Sulami bertemu dengan al-Ghazali di Masjid Ummayad, sebab Ali al-Sulami adalah imam di Masjid tersebut dan al-Ghazali juga sempat tinggal di tempat yang sama pada awal-awal periode Perang Salib. (Nikita Elisseef, “The Reaction of the Syrian Muslim after the Foundation of the First Latin Kingdom of Jerusalem”, dalam Maya Shatzmiller (ed), “Crusaders&Muslims in Twelfth-Century Syria”, (Leiden: E.J. Brill, 1993), 163. W. Montgomery Watt, Muslim Intellectual, 144).
Dalam Kitabnya itu, Ali al-Sulami mencatat, bahwa satu-satunya solusi yang dapat menyelamatkan wilayah-wilayah Muslim, adalah menyeru kaum Muslim kepada jihad. Ada dua kondisi yang harus disiapkan sebelumnya.
Pertama, “reformasi moral” untuk mengakhiri “degradasi spiritual” kaum Muslim ketika itu. Invasi pasukan Salib harus dilihat sebagai hukuman Allah, sebagai peringatan agar kaum Muslim bersatu. Kekalahan Muslim, menurut al-Sulami, adalah sebagai hukuman Allah atas kealpaan menjalankan kewajiban agama, dan di atas semua itu, adalah kealpaan menjalankan jihad.
Tahap kedua, penggalangan kekuatan Islam untuk mengakhiri kelemahan kaum Muslim yang telah memungkinkan pasukan Salib menguasai negeri-negeri Islam. Dalam kitabnya, al-Sulami menyebutkan dengan jelas tentang situasi saat itu dan stretagi untuk mengalahkan pasukan Salib. (Nikita Elisseef,The Reaction, hal. 164; Carole Hillenbrand, The Crusades: Islamic Perspectives, hal. 107).
Konsep al-Sulami dalam melawan pasukan Salib berupa “reformasi moral” dari al-Ghazali’s memainkan peran penting. Sebab, menurut al-Sulami, melakukan jihad melawan pasukan Salib akan hampa jika tidak didahului dengan the greater jihad (al-jihad al-akbar). Ia juga mengimbau agar pemimpin-pemimpin Muslim memimpin jalan ini. Dengan demikian, perjuangan melawan hawa nafsu, adalah prasyarat mutlak sebelum melakukan perang melawan pasukan Salib (Franks). (Ibid).
Peran al-Ghazali dalam membangun moral kaum Muslim disebutkan oleh Elisseef. Bahwa, kelemahan spiritual di kalangan Muslim pada awal Perang Salib ditekankan oleh al-Ghazali, yang ketika itu mengajar di Damaskus. Al-Ghazali menekankan jihad melawan hawa nafsu, melawan kejahatan, di atas jihad melawan musuh. Tujuannya adalah untuk membantu kaum Muslim mereformasi jiwa mereka. ((The spiritual laxness existing in Islam on the eve of the Crusades was underlined by al-Ghazali, in 1096.
The illustrious philosopher who, at the time, was teaching in Damascus, emphasized the priority of jihad of the soul, the jihad al-akbar (the major jihad) – struggle against evil – over the jihad al-asghar (the minor jihad), i.e. the struggle against infidel. His aim was to help the Muslim rediscover his soul. At this time, it was necessary to effect the reform of morals and beliefs and to create ways of combating the various heterodoxies existing in the very bosom of Islam). (Nikita Elisseef, The Reaction, hal. 164).
Jadi, dalam perjuagan Islam, jihad melawan hawa nafsu memegang peran yang sangat mendasar dalam proses kebangkitan dan meraih kemenangan. Orang-orang yang tunduk kepada nafsunya, lalu menjadi gila dunia, gila harta, dan kedudukan, tidak mungkin bisa diajak berjihad melawan musuh secara fisik.
Carole Hillenbrand mencatat keberhasilan konsep jihad melawan hawa nafsu dari Pahlawan Islam, Nuruddin Zanki: “Konsep tentang perjuangan jiwa, yakni jihad akbar, telah dikembangkan dengan baik di masa Perang Salib, dan berbagai diskusi tentang jihad pada masa itu senantiasa memperhitungkan dimensi spiritual, dimana tanpa itu maka perjuangan militer akan menjadi hampa atau tanpa fondasi. Tokoh sufi abad ke-12, Ammar al-Bidlisi menyatakan bahwa jihad akbar adalah memaklumkan hawa nafsu manusia sebagai musuh terbesar yang harus diperangi. Abu Shama menggambarkan Nur al-Din dalam ungkapan: Ia menjalankan jihad-ganda, melawan musuh dan melawan hawa nafsunya sendiri.”(Carole Hillenbrand, The Crusades: Islamic Perspectives, (Edinburg:Edinburg University Press, Ltd., 1999), hal. 161).Wallahu a’lam bish-shawab. (***)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar