Sabtu, 02 Maret 2013

Shalahuddin Al Ayyubi



66 Dirham dan Selembar Kain Kafan; Harta Terakhir Singa Padang Pasir 



Aroma kematian mengental bersama butiran debu padang pasir. Kilatan pedang memantul terkena terik matahari. Debar jantung bertalu bersahutan dengan genderang perang yang telah ditabuh. Bertarikh Juli 1192 bismillah, demi Allah pemilik segala napas kehidupan, hari itu seorang lelaki dengan tubuh tegapnya memimpin ribuan pasukan untuk mempertahankan Kota Suci Yerusalem, dari cengkeraman penjajah tentara salib.

Kala itu di luar benteng Kota Jaffa, kaum Muslim hendak mengusir pasukan salib yang dipimpin oleh Raja Richard. Sekonyong-konyong dari balik tenda pasukan salib, raja Inggris tersebut keluar berjalan kaki dengan tentara yang dimilikinya. Pemimpin pasukan Muslim, lelaki rendah hati bernama Salahudin Al-Ayubi keheranan melihat pemandangan tersebut.

“Bagaimana mungkin seorang raja berjalan kaki bersama prajuritnya? Pergilah ambil kuda Arab ini dan berikan kepadanya, seorang laki-laki sehebat dia tidak seharusnya berada di tempat ini dengan berjalan kaki!“kata Salahudin kepada ajudannya.
Tidak ada pemimpin yang namanya seharum Salahudin. Fragmen di atas membuktikan bagaimana tipikal sosok Salahudin dalam memimpin. Salahudin memiliki sikap luar biasa ksatria, bahkan terhadap musuh bebuyutannya sekalipun seperti raja Richard. Tidaklah mengherankan apabila nama Salahudin dicatat dengan tinta emas sejarah. Bahkan ia disebut-sebut sebagai salah satu pemimpin terbaik yang pernah lahir di muka bumi. Bukan atas peperangan yang telah dilakukannya, tetapi sikap ksatria dan kerendahhatianlah yang membuat nama Salahudin harum di dunia Timur dan Barat.

Salahudin terlahir dengan nama Salah al-Din Yusuf bin Ayub pada tahun tahun 1137 Masehi atau bertepatan dengan 532 Hijriyah di sebuah kastil di Takreet tepi sungai Tigris (daerah Irak). Ayahnya bernama Najm ad-Din adalah seorang keturunan suku Kurdi. Ketika usianya masih kecil, riak-riak konflik kesultanan Islam masa itu mulai memercikkan bara. Akibatnya Salahudin harus dibawa berpindah-pindah tempat. Mulai dari Suriah, Antiokhia, Aleppo, Tripoli, Horns, Yarussalem, Damaskus hingga di Mesir.

Sejak mula Salahudin sudah menunjukkan jiwa yang besar dan ksatria. Salahudin dibimbing oleh saudaranya seperti Zangi dan Nuruddin. Sikap Salahudin yang rendah hati, santun serta penuh belas kasih membuatnya banyak disukai oleh orang di sekelilingnya. Ditambah lagi kemampuan Salahudin untuk menyerap berbagai ilmu yang diberikan kepadanya. Baik soal strategi perang, politik, sastra, hingga nilai-nilai luhur keagamaan.

Makanya tidaklah mengherankan walaupun usianya masih muda, Salahuddin sudah diberikan kepercayaan untuk memimpin wilayah Mesir dari serangan pasukan salib yang saat itu hendak menginvasi Yerusalem bersama wilayah-wilayah lain di sekitarnya. Hasilnya? Pasukan salib berhasil dipukul mundur berkali-kali oleh Salahuddin.

Kegemilangan karir kepemimpinan Salahuddin justru makin moncer saat ia memimpin pasukan Muslim untuk merebut Yerusalem. Kota suci kedua umat Islam. Saat itu kondisi di Yerusalem demikian mengerikan. Banyak umat Muslim yang dibantai oleh pasukan salib. Akses peribadatan pun demikian sulit untuk dilakukan.

Sebenarnya antara umat Muslim dengan pasukan salib tengah dalam perjanjian gencatan senjata untuk tidak saling menyerang sementara waktu. Hanya saja pasukan salib melanggar perjanjian itu dengan melakukan penyerangan yang dipimpin oleh Reginald de Chattilon, penguasa kastil di Kerak, dengan membantai seluruh rombongan kafilah Muslim termasuk di dalamnya saudara perempuan Salahuddin.

Inilah yang menyebabkan gencatan senjata di antara kedua belah pihak batal. Pada tahun 1187 setelah bulan suci Ramadhan, Salahuddin menyerukan jihad. Pasukan Muslimin bergerak menaklukan benteng-benteng pasukan Salib. Puncak kegemilangan Salahuddin terjadi di Perang Hattin. Dengan jumlah lebih dari 25.000 pasukan, yang terdiri dari 12.000 kavaleri (pasukan berkuda) dan 13.000 infanteri (pasukan jalan kaki) Salahudin memimpin umat Islam untuk melawan kesewenang-wenangan yang telah dibuat pasukan Salib. Ribuan pasukan Muslim ini oleh Salahudin dibagi ke dalam skuadron kecil sebagai strategi.

Taktik ini berhasil membuat Salahuddin bisa membebaskan Yerusalem dari cengkraman pasukan Salib. Pada mulanya masyarakat non-Muslim yang berada di Yerusalem ketakutan dengan kemenangan Salahuddin. Mereka takut jika Salahuddin akan berlaku serupa dengan pasukan Salib saat mereka memasuki Kota Yerusalem. Yaitu melakukan pembantaian besar-besaran terhadap umat Islam. Namun, apa yang dikatakan oleh Salahuddin:

“Silahkan bagi saudaraku yang seiman, kita rayakan ini dengan mengucap syukur kepada Allah SWT. Shalat sunnat dan perbaiki apa-apa saja yang perlu diperbaiki oleh kota suci ini. Sedangkan mereka yang non-Muslim silahkan beribadah menurut kepercayaan yang kalian anut. Kami tidak akan berlaku semena-mena terhadap Anda semua,”
Kontan saja ucapan Salahuddin ini disambut dengan gemuruh dan tepuk tangan. Semua orang yang berada di Yerusalem saat itu sungguh bahagia dengan kedatangan Salahuddin. Di Yerussalem, ia kembali menampilkan kebijakan dan sikap yang adil sebagai pemimpin yang saleh. Mesjid Al-Aqsa dan Mesjid Umar bin Khattab dibersihkan, dan Gereja Makam Suci tetap dibuka serta umat Kristiani diberikan kebebasan untuk beribadah di dalamnya.

Walaupun telah menjadi khalifah umat Muslim, Salahuddin tidak tinggal di istana megah. Ia memilih tinggal di mesjid kecil bernama Al-Khanagah di Dolorossa yang luasnya hanya bisa menampung kurang dari 6 orang. Sebagai pemimpin, Salahuddin sangat menjunjung tinggi kesederhanaan dan menjauhi kemewahan serta korupsi.
Bahkan ketika ia wafat pada para pengurus jenazah sempat terkaget-kaget karena ternyata Salahuddin tidak memiliki harta. Ia hanya memiliki selembar kain kafan yang selalu di bawanya dalam setiap perjalanan dan uang senilai 66 dirham nasirian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar