Selasa, 19 Maret 2013

Bachtiar Nasir di KMII Jepang




REPUBLIKA.CO.ID, Januari lalu, satu lagi organisasi ulama lahir di Indonesia. Di usianya yang belia, organisasi yang diberi nama Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) itu telah mewacanakan berbagai gerakan perubahan. Sang inisiator, Bachtiar Nasir, Lc. MM. mengatakan, kehadiran MIUMI adalah untuk membantu penyelesaian berbagai persoalan umat.
“Umat Islam di Indonesia belum bersatu,” kata Bachtiar, mengomentari lemahnya kekuatan Islam dalam menangkal relativisme yang semakin meluas. Kepada Republika, ia membagi kegelisahan atas hancurnya struktur sosial Islam di Indonesia sekaligus optimisme untuk memperbaikinya. Berikut petikan wawancaranya dengan reporter Devi A. Oktavika.

Apa yang melatarbelakangi berdirinya MIUMI?
Semua berangkat dari kerinduan kami, kalangan aktivis Islam, untuk bergerak lebih progresif lagi. Kerinduan itu beralasan karena selama ini kita masih bergerak sendiri-sendiri. Kemudian atas izin Allah swt, kami yang berasal dari berbagai latar belakang, dengan kerinduan dan semangat yang sama, bertemu.
Hal lain yang mendorong pendirian MIUMI adalah kompleksitas persoalan umat Islam yang membutuhkan dukungan. Saya yakin sebagian besar ormas dan lembaga Islam yang sudah ada telah sibuk dengan berbagai agenda, sementara problematika umat yang begitu besar menuntut langkah penyelesaian yang proaktif . Karena itulah kami membidik sisi intelektualitas dan keulamaan.

Bagaimana jika kedepannya MIUMI pun akan demikian: sibuk dengan agenda tertentu yang membatasi gerakannya?
Tentu MIUMI juga akan semakin sibuk. Namun setidaknya, keberadaan MIUMI bisa mengurangi beban dan tanggung jawab yang dipikul lembaga-lembaga Islam, terutama MUI. Bedanya, kita adalah pergerakan yang tidak mendapatkan dana khusus dari negara.
Selebihnya, ingin saya tekankan pula bahwa basis pergerakan MIUMI adalah sekumpulan orang yang ingin berbuat dengan apa yang kita miliki. MIUMI adalah semacam forum ukhuwah yang sekaligus bekerja dalam tataran strategis. Dengan demikian, MIUMI tidak punya proyek sendiri seperti lembaga-lembaga yang sudah ada, sehingga tidak tumpang tindih (dengan lembaga-lembaga yang sudah ada itu).

Peran strategis seperti apa yang akan diberikan oleh MIUMI?
Peran strategis kami, sesuai tagline, adalah membangun Indonesa yang lebih beradab. Adab di sini tidak mengarah pada etika dalam bahasa Indonesia, melainkan peradaban atau hadharah dalam pengertian bahasa Arab. Kami di MIUMI akan membangunnya lewat ilmu dan pemikiran yang dibarengi dengan kerja-kerja strategis.
Tentang struktur sosial Islam, kita perlu menyadari bahwa saat ini sendi-sendi sosial Islam berada di ambang kehancuran. Salah satu indikatornya adalah runtuhnya tabiat dasar struktur sosial Islam, yakni perkataan Nabi saw “al-‘ulamaau waratsatu al-anbiyaa’ (ulama adalah pewaris para nabi).
Tabiat dasar tersebut telah dihancurkan sampai puncaknya. Pernyataan bahwa ‘fatwa ulama tidak mengikat’ adalah sebagian dari bukti nyata kehancuran tersebut. Di antara dampak tidak mengikatnya fatwa ulama adalah fenomena lebaran dua kali yang terjadi di negara kita. Fenomena-fenomena semacam ini tidak terjadi di negara lain, hanya di Indonesia.
Melalui pernyataan semacam itu, kita sadari atau tidak, sesungguhnya struktur sosial Islam telah dihancurkan sampai puncaknya. Penghancuran itu, pertama, dilakukan dengan menumbuhkan ketidakpercayaan pada lembaga-lembaga Islam. Kedua, dengan merontokkan kepercayaan umat pada syariat Islam. Dan puncaknya nanti adalah manusia dibuat tidak lagi mempercayai ulama mereka.
Kembali pada peran strategis, MIUMI merealisasikannya melalui tiga langkah atau gerakan, yakni riset, sosialisasi, dan penegakan. Menyikapi kasus penyerangan terhadap pesantren Syi’ah di Madura akhir 2011 lalu misalnya, kami mengadakan riset. Data temuan dari riset tersebut selanjutnya akan kami sosialisasikan pada lembaga-lembaga yang kompeten, juga pada masyarakat jika memang kapasitasnya adalah untuk diketahui secara umum.
Langkah selanjutnya yang tidak kalah penting adalah upaya penegakan. Kekuatannya ada pada fatwa, sehingga fatwa yang telah dikeluarkan harus benar-benar ditegakkan. Coba bayangkan bagaimana jadinya kalau para ulama kita tidak pede, atau bahkan mereka yang berkata, ‘Fatwa ulama kan tidak mengikat. Kalian ikut ya syukur, kalau tidak mau ikut ya sudah.’
Jika kasus terkait ulama dan umat tersebut dianalogikan dengan hubungan dosen dan mahasiswa, apakah kira-kira mahasiswa mau mengerjakan tugas-tugas yang diberikan dosen ‘tidak pede’ semacam itu? Di sinilah MIUMI akan berperan sekuat tenaga. Melalui arus pemahaman Islam, kami akan membangun peradaban dan kembali menghidupkan ruh akidah Islam di tengah umat.

Berbicara tentang penghancuran struktur sosial Islam, siapa yang menghancurkannya?
Yang pasti adalah iblis dan teman-temannya. Dari kalangan manusia, para penghancur itu termasuk kelompok sekuler, liberal, kaum kafir dan musyrik, dan juga penganut paham-paham turunan mereka seperti materialisme dan feminisme.
Undang-Undang Keadilan dan Kesetaraan Gender (UU KKG) adalah satu contoh di mana sebetulnya tengah terjadi gelombang tsunami penghancuran perempuan dan rumah tangga. Pertanyaannya kemudian adalah sejauh mana umat Islam concern terhadap hal itu.
Faktanya, setelah coba kita selami, hambatan terbesar justru datang dari umat Islam sendiri, terutama lembaga-lembaga Islam yang besar termasuk organisasi massa dan juga akademik. Sekularisme sudah masuk ke mana-mana, dan relativisme sudah merenggut individu-individu di tingkat pemikiran mereka.
Musuh-musuh Islam memahami bagaimana tradisi Islam dibangun sejak periode Rasulullah saw, sehingga mereka memahami pula bagaimana menghancurkannya. Mereka menyebarkan dan menyuburkan virus relativisme yang memberi ruang dalam pikiran dan hati umat Islam agar meragukan berbagai hal, termasuk perkataan dan fatwa ulama. Nahsayangnya, tidak banyak ulama yang menyadari ancaman ini.

Maka pendirian MIUMI adalah sesuatu yang urgent untuk menjawab semua kondisi tersebut?
Ya. Karena itu kami tidak bisa lagi menundanya, meski pada dasarnya kami hanya bermodalkan semangat. Semangat perjuangan kami itulah yang terwakili oleh kata “muda” dalam nama MIUMI. Bukan usia kami yang muda, melainkan semangat perjuangan kami untuk Islam.
Sejauh ini, alhamdulillah respon dan antusiasme tokoh-tokoh dan para aktivis Islam di Indonesia terhadap MIUMI sangat baik. Antusiasme yang tinggi juga datang dari kalangan mahasiswa, terutama pascasarjana, yang sedang belajar di beberapa negara seperti Arab Saudi, Yordania, dan Jepang. Ke depan, saya juga akan memenuhi undangan dari beberapa negara lainnya.

Ketika muncul kekhawatiran tentang kemungkinan persaingan antara MIUMI dengan lembaga Islam lainnya di masa yang akan datang, apa pendapat Anda?
Sebagaimana saya katakan, MIUMI lahir untuk mendukung lembaga-lembaga Islam yang telah ada dalam menghadapi persoalan umat yang luar biasa besar dan berat. Kami tidak ingin dan tidak akan menjadi organisasi atau lembaga yang konfrontatif. Intinya, MIUMI akan bekerjasama dengan semua pihak, untuk Indonesia yang lebih beradab.
Selain itu, MIUMI berbeda dari lembaga Islam lainnya terutama terkait gerakannya. Kami  bergerak membangun umat berdasarkan ilmu pengetahuan dan pemikiran Islam yang kental, dengan melibatkan tokoh-tokoh yang kompeten di bidangnya.
Mengapa kita mengambil jalur ini? Okelah politik penting, ekonomi pun demikian. Tapi kalau kita melihat teladan Rasulullah saw tentang bagaimana kejayaan Islam dahulu dibangun, kita akan tahu seberapa besar kita akan mampu membangun Islam melalui ilmu pengetahuan. Dahulu, pada masa Rasulullah saw banyak membangun yang namanya madrasah.
Madrasah yang dimaksud bukan sekolah dalam bentuk institusi pendidikan seperti yang kita jumpai sekarang, melainkan semacam gerakan ilmu yang dibangun melalui pengutusan sahabat-sahabat Rasulullah saw. Mereka yang memiliki kompetensi diutus ke tempat-tempat tertentu untuk meneruskan ilmu mereka kepada umat. Jadi ada madrasah Makkah, madinah, Syam, Yaman, Khufah, Basrah, dan lain sebagainya.
Nah, gerakan semacam inilah yang sedang kita coba bangun. Namun demikian, gerakan kami nantinya tidak hanya sebatas pemikiran sehingga kami berjalan di lorong yang sepi. Kita akan juga berperan strategis melalui tiga langkah tadi, yakni riset, sosialisasi, dan upaya-upaya penegakan.

Melihat banyaknya persoalan umat Islam yang tidak terselesaikan di Indonesia, apa sesungguhnya penyebabnya?
Itu karena strategi kerja kita belum rapi. Bahkan kalau boleh saya katakan, kerja umat Islam masih serabutan, kurang bersatu. Lihat saja Pemilu, meski mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, partai Islam tak pernah menang. Kita belum menyeimbangkan kuantitas dengan kualitas.
Selain itu, sifat fatwa yang tidak mengikat turut menjadi penyebab lambatnya penyelesaian persoalan umat. Kekuatan Islam salah satunya terletak pada kekuatan fatwa. Kita bisa belajar pada Mesir yang selalu bersuara bulat soal fatwa. Bukan karena tanpa perdebatan, melainkan karena para pemimpin dan ulama di sana tidak membawa perdebatan mereka ke hadapan publik.

Sejak kapan ulama Indonesia menempati posisi yang kurang kuat di mata masyarakat?
Sejak ulama menunjukkan inkonsistensi. Dan ketidakkonsistenan itu seringkali terjadi ketika mereka terlibat dalam politik praktis. Politik itu perlu, bahkan harus ada dalam sistem negara. Hanya saja, bagi ulama khususnya, hal itu perlu dibarengi dengan integritas.
Ketika ulama atau tokoh agama yang terlibat dalam politik praktis meninggalkan netralitas dan tidak menjaga citranya, maka pada saat yang sama ia telah menghancurkan kepercayaan publik terhadapnya. Akibatnya, ketika umat tidak lagi nyaman dengan segala hal yang dikaitkan dengan Islam (partai Islam, politisi Islam, dan lain sebagainya) karena ketidakpercayaan tadi, jadilah fatwa tidak mengikat tadi.
Lalu apa bahayanya? Kita bisa belajar dari kasus Bani Israil. Ketika Nabi Musa as diutus untuk menerima perintah Allah di Bukit Tursina. ‘Perjalanan dinas’ Musa as yang seharusnya 30 malam berkembang menjadi 40 malam dikarenakan beliau tidak berpuasa pada hari ke-30 sebagaimana diperintahkan.
Hanya dalam tempo 10 malam, 70 orang sahabat Musa as yang ikut serta dalam perjalanan itu mencaci sang Nabi dan tidak lagi mau mempercayainya, walau di situ ada Nabi Harun as yang menjaganya. Apa bahaya ketidakpercayaan umat kepada nabinya pada saat itu? Jadilah umat Nabi Musa as itu penyembah anak lembu yang terbuat dari emas.
Jadi, mengingatkan kembali pada hadis Rasulullah sawbahwa ulama adalah pewaris para nabi, kehancuran ulama berarti kehancuran Islam. Islam hancur jika ulama atau kelembagaan ulamanya hancur. Yang menyedihkan, itu sudah terjadi di Indonesia, negara di mana fatwa ulama tidak mengikat. Inilah yang harus kita perbaiki, meski harus dengan terseok-seok.

Apa saran Anda untuk menghentikan kehancuran tersebut?
Saya berharap para ulama tidak bergeser dari dan memegang teguh pesan Rasulullah saw. Mereka adalah pewaris para nabi yang seharusnya membekali diri dengan sifat-sifat serta kualifikasi yang sesuai dengan posisi mulia tersebut.
Adapun bagi ulama yang harus terjun ke dalam politik praktis, saya menyarankan agar mereka memahami dan menerapkan apa yang dinamakan Teologi Kekuasaan. Di sisi lain, umat pun harus memahami konsep keulamaan itu sendiri, berdasarkan firman Allah dalam surah Fathir ayat 28. “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya adalah para ulama.”
Ayat di atas adalah kriteria dari Allah mengenai keulamaan seseorang. Ilmu seorang ulama akan membuatnya takut kepada Allah. Semakin banyak ilmu yang dimilikinya, maka akan semakin besar rasa takutnya. Ikuti mereka (ulama yang sesuai dengan kriteria tersebut), maka kita akan selamat.

BIODATA
Nama: Bachtiar Nasir
TTL: Jakarta, 26 Juni 1967

Pendidikan:
Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo Jawa Timur
Pondok Pesantren Daarul Huffazh, Bone Sulawesi Selatan
Madinah Islamic University, Saudi Arabia

Kiprah dan Kegiatan:
Pimpinan Ar-Rahman Quranic Learning Center (AQL), 2008-sekarang
Pimpinan Pesantren Ar-Rahman Quranic College (AQC), 2009-sekarang
Inisiator pendirian Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI)

Organisasi:
Anggota PP MUI (2010-2015)
Anggota PP Muhammadiyah (2010-2015)
Anggota Dewan Pakar Pengurus Pusat ICMI (2010-2015)
Ketua Aluni Saudi Arabia se-Indonesia
Ketua Alumni Madinah Islamic University se-Indonesia
Redaktur : Heri Ruslan




Minggu, 10 Maret 2013

Indonesia Terjajah dengan Demokrasi



Mediaumat.com. Jakarta- Sekjen Majelis Intelektual Ulama Muda Indonesia (MIUMI), Bachtiar Nasir mengatakan apa yang disebut demokrasi dan liberalisme merupakan sebuah penjajahan.

Ia mengutip ucapan seorang pengamat asal Singapura yang bertutur bahwa Indonesia telah terperangkap dengan demokrasi.

“Anda orang Indonesia sudah terperangkap oleh demokrasi yang membuat anda tidak bisa lagi bebas berfikir,”kutip Direktur Ar-Rahman Foundation ini, saat talkshow Islamic Book Fair (IBF), Ahad (10/3) Istora Senayan, Jaka.rta.

Ia menuturkan partai Islam dan tokoh Islam dilihat dari prilakunya adalah pendusta agama. Sebab, apa yang terlihat dengan kehidupan kesantrian dengan apa yang mereka jalankan berbanding terbalik.“Pragmatisme, hedonisme hingga kapitalisme membuat mereka terperosok sangat jauh,” imbuhnya.

Ia berpesan pada para pemuda, agar thingking out the box dan tetap berfikir dari sudut pandang al-Quran. “Kita bangun generasi qurani dan tetap kokoh pada al-Quran, ini yang benar kok,” tegasnya.

Ia pun berpendapat untuk tidak berharap pada demokrasi yang hanya menjadi penjajah di Indonesia. Tegas Bachtiar bahwa menjadi pemimpin tidak harus melalui pemilu.”Indonesia merdeka tidak dengan pemilu, lengsernya Soekarno ke Soeharto tidak pakai pemilu, begitu pun Soeharto ke Habibie nggak pakai pemilu,” pungkasnya.

sumber : mediaumat.com

Selasa, 05 Maret 2013

ivestasi surga


Sebaik-baik amal adalah yang bermanfaat untuk orang lain. Demikian kata baginda Rasulullah Saw. Bagi seorang muslim beramal untuk akhirat adalah aktivitas yang tidak dipisahkan dalam kehidupannya. Ia hanya butuh niat untuk mengubah sebuah amal dari yang biasa saja sampai ia menjadi besar di mata Allah. Ia hanya butuh niat untuk mengubah sebuah pekerjaan yang ringan sehingga dicatat sebagai pemberat amalannya di sisi Allah swt.
Dari sekian banyaknya amal yang bisa dilakukan di atas dunia ini, tentu ada yang harus diprioritaskan. Apa itu? Itulah amal untuk Al Qur’an. Dalam arti beramal untuk mempertahankan orisinalitas dan kemurnian Al Qur’an. Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa minat umat Islam terhadap kitab sucinya sudah jauh berkurang. Walaupun demi sedikit kesadaran untuk kembali kepada Al Qur’an sudah tumbuh dan mulai terlihat. Banyaknya kajian tentang Al Qur’an, lembaga-lembaga yang mengajak agar kita tidak buta huruf aAl Qur’an sampai gerakan menghafal Al Qur’an, terus digalang. Ini bertujuan untuk melestarikan eksistensi Al Qur’an di mana saja.
Berarti pula bahwa segala amal yang dapat membuat Al Qur’an semakin diminati dan digandrungi oleh umat adalah amal yang utama. Membangun gedung, sekretariat, pendidikan dan masjid-masjid yang menghidupkan tradisi belajar Al Qur’an adalah sebuah pilihan investasi itu. Kini lembaga itu kian menjamur, Meski masih merintis dan menggalang pencarian dana, alhamdulillah dengan kemudahan yang Allah berikan, lembaga itu tetap eksis dan dapat memberikan yang terbaik untuk umat.
Mereka yang bahwa barangsiapa yang menolong (agama) Allah, maka Allah akan menolong mereka.” (QS Muhammad: 7)
Begitu pula perintah Rasulullah agar setiap umat Islam yang memiliki kelebihan rejeki menafkahkan sebagian rejekinya itu di jalan Allah. Di antaranya jalan yang dianjurkan adalah beramal untuk melestarikan eksistensi Kitab suci-Nya. Karena manfaatnya bisa dibawa sampai mati:
مثل الذين ينفقون أموالهم فى سبيل الله كمثل حبة أنبتت سبع سنابل فى كل سنبلة مائة حبة والله يضاعف لمن يشاء والله واسع عليم
Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS Al Baqarah: 261)
Inilah yang dilakukan dengan Lembaga Bimbingan Belajar Al Qur’an Sohibul Qur’an (LBBQ Sohibul Qur’an). Meski lembaga ini baru merintis, alhamdulillah, banyak beberapa donatur yang mempercayakan donasi dan sedekahnya kepada kami. Insya Allah, segala amal shaleh, dalam bentuk zakat, infak, sedekah dan wakaf akan Allah ganti dan dilipatkan ganjaran pahalanya di sisi-Nya, Amiin.
Semoga Allah memberikan kesempatan kepada kita semua untuk dapat memberikan kontribusi yang terbaik beramal untuk kelangsungan Al Qur’an, Amiin Ya Rabbal ‘Alamin.

Sabtu, 02 Maret 2013

Shalahuddin Al Ayyubi



66 Dirham dan Selembar Kain Kafan; Harta Terakhir Singa Padang Pasir 



Aroma kematian mengental bersama butiran debu padang pasir. Kilatan pedang memantul terkena terik matahari. Debar jantung bertalu bersahutan dengan genderang perang yang telah ditabuh. Bertarikh Juli 1192 bismillah, demi Allah pemilik segala napas kehidupan, hari itu seorang lelaki dengan tubuh tegapnya memimpin ribuan pasukan untuk mempertahankan Kota Suci Yerusalem, dari cengkeraman penjajah tentara salib.

Kala itu di luar benteng Kota Jaffa, kaum Muslim hendak mengusir pasukan salib yang dipimpin oleh Raja Richard. Sekonyong-konyong dari balik tenda pasukan salib, raja Inggris tersebut keluar berjalan kaki dengan tentara yang dimilikinya. Pemimpin pasukan Muslim, lelaki rendah hati bernama Salahudin Al-Ayubi keheranan melihat pemandangan tersebut.

“Bagaimana mungkin seorang raja berjalan kaki bersama prajuritnya? Pergilah ambil kuda Arab ini dan berikan kepadanya, seorang laki-laki sehebat dia tidak seharusnya berada di tempat ini dengan berjalan kaki!“kata Salahudin kepada ajudannya.
Tidak ada pemimpin yang namanya seharum Salahudin. Fragmen di atas membuktikan bagaimana tipikal sosok Salahudin dalam memimpin. Salahudin memiliki sikap luar biasa ksatria, bahkan terhadap musuh bebuyutannya sekalipun seperti raja Richard. Tidaklah mengherankan apabila nama Salahudin dicatat dengan tinta emas sejarah. Bahkan ia disebut-sebut sebagai salah satu pemimpin terbaik yang pernah lahir di muka bumi. Bukan atas peperangan yang telah dilakukannya, tetapi sikap ksatria dan kerendahhatianlah yang membuat nama Salahudin harum di dunia Timur dan Barat.

Salahudin terlahir dengan nama Salah al-Din Yusuf bin Ayub pada tahun tahun 1137 Masehi atau bertepatan dengan 532 Hijriyah di sebuah kastil di Takreet tepi sungai Tigris (daerah Irak). Ayahnya bernama Najm ad-Din adalah seorang keturunan suku Kurdi. Ketika usianya masih kecil, riak-riak konflik kesultanan Islam masa itu mulai memercikkan bara. Akibatnya Salahudin harus dibawa berpindah-pindah tempat. Mulai dari Suriah, Antiokhia, Aleppo, Tripoli, Horns, Yarussalem, Damaskus hingga di Mesir.

Sejak mula Salahudin sudah menunjukkan jiwa yang besar dan ksatria. Salahudin dibimbing oleh saudaranya seperti Zangi dan Nuruddin. Sikap Salahudin yang rendah hati, santun serta penuh belas kasih membuatnya banyak disukai oleh orang di sekelilingnya. Ditambah lagi kemampuan Salahudin untuk menyerap berbagai ilmu yang diberikan kepadanya. Baik soal strategi perang, politik, sastra, hingga nilai-nilai luhur keagamaan.

Makanya tidaklah mengherankan walaupun usianya masih muda, Salahuddin sudah diberikan kepercayaan untuk memimpin wilayah Mesir dari serangan pasukan salib yang saat itu hendak menginvasi Yerusalem bersama wilayah-wilayah lain di sekitarnya. Hasilnya? Pasukan salib berhasil dipukul mundur berkali-kali oleh Salahuddin.

Kegemilangan karir kepemimpinan Salahuddin justru makin moncer saat ia memimpin pasukan Muslim untuk merebut Yerusalem. Kota suci kedua umat Islam. Saat itu kondisi di Yerusalem demikian mengerikan. Banyak umat Muslim yang dibantai oleh pasukan salib. Akses peribadatan pun demikian sulit untuk dilakukan.

Sebenarnya antara umat Muslim dengan pasukan salib tengah dalam perjanjian gencatan senjata untuk tidak saling menyerang sementara waktu. Hanya saja pasukan salib melanggar perjanjian itu dengan melakukan penyerangan yang dipimpin oleh Reginald de Chattilon, penguasa kastil di Kerak, dengan membantai seluruh rombongan kafilah Muslim termasuk di dalamnya saudara perempuan Salahuddin.

Inilah yang menyebabkan gencatan senjata di antara kedua belah pihak batal. Pada tahun 1187 setelah bulan suci Ramadhan, Salahuddin menyerukan jihad. Pasukan Muslimin bergerak menaklukan benteng-benteng pasukan Salib. Puncak kegemilangan Salahuddin terjadi di Perang Hattin. Dengan jumlah lebih dari 25.000 pasukan, yang terdiri dari 12.000 kavaleri (pasukan berkuda) dan 13.000 infanteri (pasukan jalan kaki) Salahudin memimpin umat Islam untuk melawan kesewenang-wenangan yang telah dibuat pasukan Salib. Ribuan pasukan Muslim ini oleh Salahudin dibagi ke dalam skuadron kecil sebagai strategi.

Taktik ini berhasil membuat Salahuddin bisa membebaskan Yerusalem dari cengkraman pasukan Salib. Pada mulanya masyarakat non-Muslim yang berada di Yerusalem ketakutan dengan kemenangan Salahuddin. Mereka takut jika Salahuddin akan berlaku serupa dengan pasukan Salib saat mereka memasuki Kota Yerusalem. Yaitu melakukan pembantaian besar-besaran terhadap umat Islam. Namun, apa yang dikatakan oleh Salahuddin:

“Silahkan bagi saudaraku yang seiman, kita rayakan ini dengan mengucap syukur kepada Allah SWT. Shalat sunnat dan perbaiki apa-apa saja yang perlu diperbaiki oleh kota suci ini. Sedangkan mereka yang non-Muslim silahkan beribadah menurut kepercayaan yang kalian anut. Kami tidak akan berlaku semena-mena terhadap Anda semua,”
Kontan saja ucapan Salahuddin ini disambut dengan gemuruh dan tepuk tangan. Semua orang yang berada di Yerusalem saat itu sungguh bahagia dengan kedatangan Salahuddin. Di Yerussalem, ia kembali menampilkan kebijakan dan sikap yang adil sebagai pemimpin yang saleh. Mesjid Al-Aqsa dan Mesjid Umar bin Khattab dibersihkan, dan Gereja Makam Suci tetap dibuka serta umat Kristiani diberikan kebebasan untuk beribadah di dalamnya.

Walaupun telah menjadi khalifah umat Muslim, Salahuddin tidak tinggal di istana megah. Ia memilih tinggal di mesjid kecil bernama Al-Khanagah di Dolorossa yang luasnya hanya bisa menampung kurang dari 6 orang. Sebagai pemimpin, Salahuddin sangat menjunjung tinggi kesederhanaan dan menjauhi kemewahan serta korupsi.
Bahkan ketika ia wafat pada para pengurus jenazah sempat terkaget-kaget karena ternyata Salahuddin tidak memiliki harta. Ia hanya memiliki selembar kain kafan yang selalu di bawanya dalam setiap perjalanan dan uang senilai 66 dirham nasirian.