Jumat, 31 Desember 2010

iklan-iklan anti rokok Superrr Creative -bagian 2-


iklan-iklan anti rokok Superrr Creative -bagian 2-

Berhubung iklan Creative nya banyak, jadi dibikin 2 aja.. biar ga cape scroll nya :D , bagian 1 bisa dilihat disini :

Creative Anti Smoking 22
:2thumbup

Creative Anti Smoking 23
:takut

Creative Anti Smoking 24
:2thumbup

Creative Anti Smoking 26
:2thumbup

Creative Anti Smoking 27
:takut

Creative Anti Smoking 28
:2thumbup

Creative Anti Smoking 29
:2thumbup

Creative Anti Smoking 30
:2thumbup

Creative Anti Smoking 31
:takut

Creative Anti Smoking 32
:takut

Creative Anti Smoking 33
:takut

Creative Anti Smoking 34
:takut

Creative Anti Smoking 35
:takut

Creative Anti Smoking 36
:2thumbup

Creative Anti Smoking 37
:2thumbup

Creative Anti Smoking 38
:2thumbup

Creative Anti Smoking 39
:2thumbup

Creative Anti Smoking 40
:takut

Creative Anti Smoking 41
:takut

Creative Anti Smoking 42
:2thumbup
Ya, sementara cukup…. nanti klo ketemu iklan anti rokok yg Superr Crevite akan di update terus :D dan mudah2an ada mamfaatnya neh broooo
Gambar hasil searching dari Google dengan beberapa sumber  
http://izzimedia.com/iklan-iklan-anti-rokok-superrr-creative-bagian-2/

Apakah fotografi sebuah seni?



Apakah fotografi sebuah seni? Apa ciri khas yang bisa membuatnya bisa dikatakan sebagai suatu cabang ekspresi seni? Demikian kira-kira gugatan rekan Agan Harahap di forum beberpa waktu yang lalu. Jawaban atas pertanyaan itu bisa jadi positif atau negatif, ya atau tidak.
Fotografi memang memiliki aspek teknologi dan estetika. Sebagai teknologi, fotografi pada awalnya diciptakan sebagai alat rekam. Kamera berikut perlengkapan yang memungkinkannya merekam citra (image) adalah aspek perangkat keras (hardware) teknologi fotografi; sedangkan pengetahuan tentang bagaimana cara menggunakan perangkat tersebut untuk menghasilkan citra adalah aspek perangkat lunaknya (software).
Penguasaan aspek teknologi saja tidak serta merta membuat orang menjadi seniman foto. Banyak orang mempunyai kamera dan pengetahuan tentang bagaimana cara menggunakannya dengan baik. Namun karena cara dan tujuan penggunaan aspek teknologi tersebut, mereka tidak dapat dikatakan sebagai seniman foto. Seorang ibu yang menggunakan kamera untuk merekam momen-momen penting dalam kehidupan keluarganya atau para peneliti yang menggunakan kamera untuk mendokumentasikan objek penelitiannya tidak dapat dikatakan sebagai seorang seniman foto, meskipun mungkin foto-foto yang dihasilkannya secara teknis sempurna dan boleh jadi memiliki nilai estetika yang cukup tinggi. Demikian juga seorang wartawan foto yang mengabadikan momen-momen penting sejarah. Meskipun karya-karya fotonya boleh jadi istimewa dari segi teknis dan muatan ceritanya, karya-karya itu menurut saya tidak dapat dianggap sebagai karya seni, walaupun karya-karya itu mempunyai nilai komersial tinggi, dikoleksi oleh museum dan/atau dipamerkan di galeri-galeri terkemuka.
Seni tidak dapat dinilai dari aspek teknis dan/atau komersialnya saja. Ada aspek yang lebih esensial yang membuat suatu karya bisa digolongkan sebagai suatu ekspresi seni, yaitu aspek kreatif-eksploratif-estetik. Dalam urutan ini, aspek estetik dicapai bukan semata karena kelihaian dalam memanfaatkan aspek teknologi, namun (dan ini yang lebih penting) karena adanya aspek kesengajaan dan keinginan untuk menciptakan sesuatu yang baru yang lahir dari perenungan gagasan yang bersifat eksploratif. Dengan kata lain, perenungan eksploratif melahirkan gagasan untuk mencipta. Gagasan ini kemudian dicarikan bentuknya dengan memanfaatkan aspek teknologi. Jika teknologi yang ada belum memungkinkan untuk memberikan bentuk ekspresi bagi gagasan yang dimiliki oleh seorang seniman, maka seniman itu mungkin akan berusaha menggabungkan beberapa teknologi yang ada, atau memanfaatkan teknologi yang ada secara kreatif, atau bekerjasama dengan engineers menciptakan teknologi baru untuk mewujudkan gagasannya itu. Jadi aspek teknologi atau kesempurnaan teknis dalam hal ini tidak menjadi unsur utama, tapi hanya pendukung atau alat berkreasi. Ilustrasi berikut mungkin bisa sedikit menjelaskan mengenai hal ini:
Alif dan Baba sama-sama pencita fotografi. Kedua-duanya menguasai dan lihai menggunakan teknologi inframerah untuk menghasilkan foto-foto yang indah. Jika aspek teknologi dan estetika saja yang digunakan, bisa jadi kita menggolongkan keduanya sebagai seniman foto. Namun ada satu hal yang membedakan Alif dan Bana. Alif menggunakan teknologi inframerah untuk memberikan bentuk bagi gagasan kreatif-eksploratif yang dimilikinya. Karya-karya fotonya selalu mengandung ungkapan-ungkapan estetik yang kreatif dan �mengejutkan� (mungkin dengan pilihan subjeknya, sudut pengambilannya, atau eksplorasi nirmananya). Oleh karena itu, karya-karyanya mempunyai ciri khas yang menjadi signature kesenimanannya. Baba juga menggunakan teknologi inframerah. Namun dia memanfaatkan teknologi ini bukan untuk memberi bentuk bagi gagasan-gagasan eksploratif-kreatifnya, tapi sekedar karena curiosity (rasa ingin tahu/mencoba) kehebatan teknologi ini. Subjek dan sudut pengambilan yang dipilihnya boleh jadi sekedar meniru atau menjiplak dari orang-orang sekelas Alif. Tidak ada unsur kejutan kreatif yang secara konsisten melahirkan ciri khas yang bisa menjadi signature bagi karya-karya yang dihasilkannya. Dalam contoh ini, Alif dapat kita golongkan sebagai seniman foto, sedangkan Baba barangkali lebih tepat disebut sebagai tukang foto atau fotografer.
Memang contoh di atas bisa menimbulkan perdebatan. Di dunia di mana segala sesuatu bisa diproduksi secara massal (mass-produced culture), sesuatu yang hari ini dianggap sebagai suatu bentuk ekspresi adikreasi estetik, besok boleh jadi sudah banyak ditemukan tiruan atau simulakrumnya. Karena fenomena inilah, apa yang sempurna secara teknis/teknolgis dan memiliki nilai estetika yang menyenangkan indera namun bersifat (dan diproduksi secara) massal umumnya digolongkan ke dalam seni populer (pop arts). Sementara itu, ekspresi seni yang mempunyai nilai orisinalitas yang tinggi dari segi gagasan ekploratif-kreatifnya biasanya digolongkan ke dalam Arts (Seni dengan S besar). Seni (dengan S besar) seringkali menjadi sumber inspirasi bagi seni (dengan s kecil) yang bersifat lebih merakyat alias populer. Suatu karya foto bisa masuk ke dalam Seni (dengan S besar) atau seni (dengan s kecil). Semua bergantung pada apakah karya itu memiliki nilai kreatif-eksploratif yang khas dan �orisinal� dari segi gagasan yang melandasinya, atau hanya sekedar tiruan atau simulakrum dari gagasan-gagasan inspiratif yang lahir dari proses perenungan kreatif para maestro.


Bandung, 29 Oktober 2006
Eki Akhwan

Cara Anak Indie Mengais Rezeki

MOBILE DIGITAL MOVIE INDONESIA

Cara Anak Indie Mengais Rezeki

Rabu, 29 Desember 2010 | 14:12 WIB
BOGALAKON PICTURES
Salah satu adegan di film dokumenter berjudul Hope, mencari jalur distribusi sendiri lewat digital. Kini bisa ditonton di www.beoscope.com.
KOMPAS.COM - Selesai menuntaskan pembuatan film bertajuk Hope, Santrianov bersama timnya dihadapkan pada persoalan baru. Kali ini bukan tentang mengakali anggaran bikin film yang minim, namun bagaimana film bergenre dokumenter itu bisa ditonton oleh khalayak. Maklum saja, mereka bukan pelaku industri film mainstraim yang ditopang oleh dana besar. “Asal balik modal saja sudah bagus,” ujar Santrianov yang akrab disapa Aan itu. Langkah rumah produksi bernama Bogalakon Pictures itu bak terhenti di tengah jalan.
Padahal film yang bertutur tentang wajah Indonesia sekarang, setelah 12 tahun era reformasi itu, termasuk layak tonton. Pembuatan film ini juga bukan pertama kali mereka lakukan. Sebelumnya para sineas muda yang sempat mengenyam kuliah di Universitas Padjadjaran Bandung ini pernah merilis film The Jak, juga Romeo Juliet.
Film Hope merupakan hasil kerja keras mereka selama berbulan-bulan dengan pengambilan gambar seperti apa adanya. Lokasi syuting mengambil tempat di berbagai kota di Indonesia bahkan melanglang sampai Malaysia. Adegannya tentu tak dibuat dalam skenario khusus. Makanya banyak momentum memukau sekaligus menunjukkan fakta tentang Indonesia.
Produksi film nasional memang sedang tumbuh. Di bioskop rata-rata per bulan muncul dua sampai tiga film. Artinya jumlah penonton film lokal pastilah tak sedikit. Hampir semua muncul dari perusahaan film mapan. Sebuah film dengan kategori biasa dengan pemain baru saja bisa menghabiskan puluhan milyar. Sementara film Hope, cuma bermodal sekitar Rp 200 juta. Itu pun habis untuk kebutuhan syuting.
“Itu baru biaya produksi,” sergah Ucup panggilan akrab Andibachtiar Yusuf, sobat setim Santrianov. Jika masuk ke bioskop macam Blitz atau Cinema XXI, mereka harus menyiapkan tambahan dana. Sebut saja untuk proses penggandaan, biaya promosi, dan sejumlah komponen lain termasuk ongkos daftar lembaga sensor. “Bioskop sendiri tak mengutip biaya,” tambah Ucup. Jika ditotal, biaya pramasuk studio pemutaran film ini bisa dua kali lipat biaya produksi film. Bahkan lebih.
Celakanya lagi, film-film lokal jika pun antre umumnya berada di barisan belakang. Lantaran kualitas film (baik dari segi cerita maupun teknologi) nasional belum setara film Hollywood, wajar bila pengelola biskop lebih memprioritaskan film made in Amerika itu. “Lihat saja, kalau film Hollywood bisa tayang dua minggu, malah kalau box office bisa sebulan. Kalau film nasional, paling seminggu,” tandas Ucup.
Maka kian kompleks lah persoalan para kreator film bermodal cekak atau yang biasa mengambil jalur independen (indie) itu. Padahal, sejarah film indie di Indonesia sudah berlangsung lebih dari 10 tahun bahkan sempat menjadi tulang punggung film nasional sebelum kemudian datang film Ada Apa dengan Cinta? dan membangkitkan produksi film nasional dari kejenuhan film versi sinetron. Bahkan Jakarta International Film Festival pun lahir dari semangat independen yang mengusung film-film alternatif.
Dulu, ketika era VCD menjadi hype, pelaku film indie memproduksi sendiri dan mengemasnya ke plat kompak itu. Lalu, mereka menjualnya secara swadaya.Bisa melalui sistem marketing dari mulut ke mulut, menggunakan email agar bisa ketok tular, atau menggelar pemutaran film di kalangan komuniatas dan menjualnya di situ. Salah satunya dilakukan oleh kelompok Four Colors yang merilis film pendek bercerita berjudul Manyar dari Yogya.
Namun sekarang? Ketika industri digital sudah sedemikian maju, internet menjadi medianya, maka VCD dianggap ketinggalan zaman.Nasib serupa juga dialami oleh penjualan plat digital film yang semakin menurun. Bahkan rental VCD atau DVD pun banyak yang tutup.
Ke mana kah larinya film-film digital ini?
Arif Setiarso, praktisi film independen menyebutkan YouTube telah mengambil alih. Portal video ini bak toko digital yang menyediakan berbagai jenis film maupun video. Tak sedikit film independen mejeng di situ, untuk kemudian diunduh secara cuma-cuma.Jika begini, memang bukan komersial besar-besaran yang dicari. Namun seperti pencarian identitas atas sebuah film dan bagaimana pengunduh merespon bagus tidaknya sebuah film secara kualitatif. Dengan kata lain, semakin tinggi unduhan, kian sukses lah film itu diterima pasar, lalu muncul menjadi bahan pembicaraan di kalangan masyarakat. Salah satunya yang menuai sukses adalah film dokumenter berjudul No End In Sight, karya Charles Ferguson dari rumah produksi Magnolia Pictures yang bahkan menjadi nominasi di Piala Oscar untuk film dokumenter.
Hal ini pula yang menggiring film Merantau untuk tampil di YouTube. Selain versi trailer, juga ada 11 potongan film bisa diunduh. Penonton pun gratis menyaksikan film dengen genre actionitu pada akhirnya.
Merantau masih untung, karena sempat diputar di biskop tanah air, meskipun tak mencetak box office versi Indonesia. Bayangkan dengan film Hope yang tertatih-tatih agar peluang masuk bioskop tetap terbuka.
Via On-Line
Dalam naungan kesulitan itu lah, kemudian film yang diperani oleh Pandji Pragiwaksono itu menggeliat mencari alternatif untuk melanggengkan jalan. Sebuah situs lokal bernama www.beoscope.com membuka kolaborasi dengan Bogalakon. Di sinilah Hope lalu berlabuh. Jurus marketing mulai dilakukan demi “menjual” film berdurasi 71 menit itu. Caranya?
“Kita lakukan on-line premiere, sekaligus nonton film lewat on-line pertama di Indonesia,” tukas Aan. Penonton yang pengguna komputer membeli tiket on-line yang dijual secara on-linedengan pembayaran bisa lewat ATM. Setiap tiket dibanderol Rp 10.000,-. Sebuah tiket dapat dipakai untuk menonton selama 12 jam. Jadi untuk sebuah film bermasa putar 71 menit, bisa ditonton sampai 10 kali secara berulang-ulang.
“Dengan tiket ceban (10.000 rupiah, RED), mereka bisa nonton ramai-ramai,” lanjut pria berpostur kurus ini. Risiko film itu kemudian ditonton warga se-RT hanya dengan membayar Rp 10.000,- sudah dibayangkan sebelumnya. Bahkan sekalipun kemudian di-streaming-kan ke layar lebar macam layar tancap pun, layaknya di desa-desa di India, sudah diperkirakan.
Bagi Aan, lewat cara begini malah membuka kemungkinan lebih banyak masyarakat yang tahu film karyanya. “Kalau ada yang tak sempat nonton, lalu penasaran, maka mereka pasti akan beli tiket lagi,” ujarnya yakin. Masalahnya, untuk balik modal, minimal tiket on-line yang terbeli harus mencapai 20.000 lembar. Butuh waktu lama. Belum lagi, film Hope yang ketika dibuat dalam format digital berukuran file 1,3 GB memerlukan tempo pengunduhan yang lumayan menyita waktu.
Perkembangan industri mobile di mana operator dan vendor menjadi tulang punggung belakangan ini diam-diam ikut membangkitkan gairah industri hiburan. Menurut pengamatan Ucup, sebuah vendor saja sampai menawarkan lagu-lagu dari artis atau band tertentu dalam satu paket penjualan. Slank misalnya, mengaku sangat terbantu ketika lima lagu hits mereka yang disisipkan ke ponsel kemudian diberi nama Nexian 27th Slank Anniversary.
Cara seperti inilah yang lantas terbias di benak Ucup. Jika lagu bisa, maka film pun sama. Ia malah melihat peluang besar dengan masuknya berbagai gadget seperti tablet PC sebagai sebuah fenomena yang akan menjadi media menonton film digital. Walaupun toh ponsel tetap menjadi priorotas lantaran penjualannya terus menanjak.
Salah satu contoh adalah film Tron Legacy yang disematkan di ponsel Nokia N8 dalam beberapa adegan. Meski dikemas hanya trailer-nya saja namun sudah cukup untuk mencuri hati penikmat film untuk pergi ke bioskop. Bagi Nokia yang menjadi sponsor, mutu audio dan video film yang dibintangi Jeff Bridges ini sekaligus menjadi “alat” untuk menunjukkan kemampuan komponen dan fitur HDMI-nya.
Ya, anak-anak indie memang selalu cerdas mencari peluang. Tak sukses masuk bioskop tradisional, masih ada jalan digital. Katanya, cara ini sudah dilakukan. Kata Ucup, mereka sanggup bikin film yang dikustom untuk sebuah produk ponsel atau tablet PC tertentu. Beragam application store yang ditawarkan oleh platform Android, BlackBerry, iPhone atau iPad, Bada, juga OVI Store makin membuka jalan distribusi film mereka. “Bahkan film Merantausudah masuk iTunes,” ujar pira berkacamata ini.
Layanan operator
Sebagai refleksi saja. Di Amerika, industri layanan konten digital berupa video cukup diminati. Menurut eMarketer, pendapatan total dari sektor ini mencapai 719 juta dollar tahun 2010. Lembaga riset ini meramalkan tahun 2014, khusus mobile video bisa meraup untung sampai 1,3 milyar dollar.
“Proses digitalisasi media dan peluang untuk meningkatkan perolehan keuangan dari sektor game dan musik akan dialami juga oleh publisher film,” ujar Noah Elkin, analis senior eMarketer.
Tahun 2004, operator Sprint di Amerika yang menggunakan jaringan CDMA malah telah menggelar layanan “pay-per-view” untuk memperoleh streaming film durasi penuh. Layanan bernama Sprint Movies yang dioperasikan oleh mitra kerjanya, mSpot bahkan bekerjasama dengan distributor film dunia macam Buena Vista VOD, Lionsgate, Sony Pictures Home Entertainment, dan Universal Pictures.
Pada tahun itu saja sudah 45 judul siap ditonton via ponsel. Sejumlah film box office macamNational Treasure, Spider-Man 2, dan Scarface adalah beberapa di antaranya.
Mengapa Sprint menggelar layanan film digital bergerak ini?
Direktur Penjualan Produk Hiburan Sprint kala itu, Alana Muller melihat ada ceruk di situ. Ia melihat pelanggan Sprint yang sering menunggu di bandara gara-gara delay, juga orang-orang sibuk yang perlu hiburan sambil makan siang, bahkan anak-anak yang diam duduk di kursi mobil saat melakukan perjalanan jauh dengan orang tuanya. “Anak-anak akan terhibur oleh film Herbie: Fully Loaded dan Babe,” kata Muller.
Upaya Sprint membuahkan hasil. Setahun kemudian nampak pertumbuhan pelanggan. Menurut Muller, sejak Sprint Movies diluncurkan pelanggan tumbuh rata-rata sebesar 30 persen. Tawaran ini sangat signifikan menarik pelanggan baru.
Sukses Sprint diikuti oleh Bell Kanada yang merilis layanan serupa tiga tahun kemudian. Bell menamakan layanannya Mobile Movies dan merangkul Buena Viesta maupun Sony Pictures. Tarif per film dimulai dari 5,15 dollar dan Bell menjaga kualitas jaringan untuk streaming film dengan paket unlimited. Program ini lantas dikemas dengan paket-paket tertentu. Pendek kata, pelanggan bisa menonton film kapan saja selama 24 jam, dan di mana saja.
Di negeri luar layanan seperti ini memang sudah jamak. Pengalaman Ucup di Inggris membuktikan betapa cepatnya proses pengunduhan film. Bahkan, sewaktu ia ke Korea sudah tak ada lagi DVD. “Semua download,” ujarnya.
Jalur untuk film indie
Di Indonesia meski kondisi mutu jaringan yang seringkali tidak konsisten bukan tak mungkin menggelar layanan serupa. Meskipun agak sulit jika menawarkan film-film dengan durasi lama. Yang memungkinkan, kata Arif yang bekerja di rumah produksi indie Good Sign Production adalah film-film pendek yang berdurasi antara tiga sampai enam menit. “Kalau agak panjang, kan bisa dipecah-pecah jadi beberapa episode,” ujarnya.
Maka, sejak tiga bulan silam rumah produksinya telah menawarkan konsep mirip mSpot-nya Sprint kepada salah satu operator GSM. “Ada respon, bahkan mereka siap menjalankan, karena infrastrukturnya sudah siap,” lanjutnya. Karena itu, proyek seperti ini sangat terbuka dan cocok bagi sineas indie.
Perkiraan Arif dengan budget sebesar 6 juta perak per episode sudah cukup untuk berkarya. “Malah kalau satu hari bisa ngejar untuk syuting tiga episode dengan biaya sama, bisa lebih ringan lagi,” akunya. Artinya sistem kejar tayang akan berlaku untuk mengefisiensi biaya dengan jaminan bahwa film-film pendek tersebut siap ditawarkan oleh operator untuk memperkaya layanan value added-nya. Ini tentu akan menjamin kontinyuitas berkarya itu sendiri.
Karya film yang disediakan lewat toko digital membuka peluang untuk terdistribusi secara internasional. Prinsip dunia tanpa batas yang ditawarkan internet (termasuk mobile internet) melandasi konsep penjualan global ini.
Sebuah content provider di India bernama Hungama Mobile melakukannya. Perusahaan ini tahu persis bahwa film Bollywood sudah mendunia. Film India bahkan cukup digandrungi di sejumlah negara Eropa. “Sebut saja Inggris, Prancis, dan Jerman. Di Belanda bahkan film India sudah di-dubbing dengan bahasa lokal,” kata Albert Almeida, COO Hungama Mobile. Hungama beralinasi dengan perusahaan Wireless Expertise untuk menjajakan film Bollywood di tanah Eropa.
Mobile digital movie versi Indonesia memang harus dimulai oleh sineas muda yang bersemangat independent yang tak melulu memikirkan unsure komersial melulu. Layanan Movie dari operator adalah salah satu pembuka jalan. Jalan lain bisa ditempuh dengan menggandeng vendor. Arif bahkan siap melakukan pekerjaan ini selagi dukungan operator maupun vendor tinggi.
Begitulah peluang itu terbuka lebar di jalur digital, agar rezeki sineas muda terus berisi dengan film-film “berbunyi”, biar industri film nasional juga dicicipi anak-anak indie. (ANDRA/FORSEL)
Sumber : FORSEL

PROSES PRODUKSI VIDEO


PROSES PRODUKSI VIDEO

Saat ini kita asumsikan kalau kita telah memiliki sebuah judul cerita, misalnya “Pernikahan Wishnu dan Ema”, “Profil Perusahaan Jamu Cap Kapak Maut”, atau “Petualangan Besar MatMitMut : Tentang Neraka Jahanam”, atau kita membuat sebuah video pendek untuk konsumsi Web, kepentingan industri atau presentasi pelatihan, iklan televisi, feature film, atau hanya sebuah proyek pribadi, maka semua proses yang dilakukan diatas sebenarnya memiliki kesamaan. Gambar dibawah ini menggambarkan tahapan-tahapan dalam proses produksi digital video secara umum, dengan adanya gambaran tersebut maka akan menjadi jelas letak dan fungsi pekerjaan video editing dalam proses produksi digital video. Apabila kita melihat bagan alir proses produksi digital video tersebut, maka suatu waktu terlihat bahwa ada tahapan yang overlap, proses produksi digital video sebenarnya tidak harus sama seperti bagan alir tersebut, tetapi kita dapat mengadaptasikan rangkaian kerja tersebut sesuai dengan kebiasaan, ataupun gaya kerja kita, karena setiap orang pasti memiliki gaya kerja yang berbeda-beda.

Preproduction/Praproduksi

Preproduction atau Pra Produksi merupakan tahapan perencanaan. Secara umum merupakan tahapan persiapan sebelum memulai proses produksi (shooting film atau video). Dengan lahirnya teknologi digitalvideo dan metode nonlinear editing maka proses produksi video menjadi lebih mudah. Ketika kita akan memulai sebuah proyek, terkadang kita telah memiliki stock-shoot/footage video yang kita butuhkan, untuk itu kita harus melakukan peninjauan ulang segala kebutuhan sesuai dengan cerita yang akan kita buat. Artinya, kita harus mempersiapkan footage video yang telah ada, fotografi, diagram dan grafik, gambar ilustrasi, atau animasinya. Tetapi banyak pula para videographer yang memulai dari awal atau dari nol. Pada intinya tujuan pra produksi adalah mempersiapkan segala sesuatunya agar proses produksidapat berjalan sesuai konsep dan menghasilkan suatu karya digital video sesuai dengan harapan.

• Outline

Untuk mempermudah membuat proyek video, maka kita harus membuat sebuah rencana kasar sebagai dasar pelaksanaan. Outline dijabarkan dengan membuat point-point pekerjaan yang berfungsi membantu kita mengidentifikasi material apa saja yang harus dibuat, didapatkan, atau disusun supaya pekerjaan kita dapat berjalan. Outline dapat disusun dengan rekan kerja atau dengan klien kita, supaya kita dapat menghasilkan sebuah visi dan persepsi yang sama tentang langkah pelaksanaan proyek yang akan dibuat.

• Script/Skenario

Dengan menggunakan outline saja sebenarnya sudah cukup untuk memulai tahapan pelaksanaanproduksi, tetapi dalam berbagai model proyek video, seperti iklan televisi, company profile, sinetron, drama televisi, film cerita dan film animasi tetap membutuhkan skenario formal yang berisi dialog, narasi, catatan tentang setting lokasi, action, lighting, sudut dan pergerakan kamera, sound atmosfir, dan lain sebagainya.

• Storyboard

Apabila kurang cukup dengan outline dan scenario, maka kita dapat pula menyertakanstoryboard dalam rangkaian perencanaan proses produksi kita. Storyboard merupakancoretan gambar/sketsa seperti gambar komik yang menggambarkan kejadian dalam film. Di dalam gambar tersebut juga berisi catatan mengenai adegan, sound, sudut dan pergerakan kamera, dan lain sebagainya. Penggunaan storyboard jelas akan mempermudah pelaksanaan dalam proses produksi nantinya



• Rencana Anggaran Biaya

Ketika kita sedang mengerjakan proyek professional ataupun pribadi, maka sangat dianjurkan untuk merencanakan anggaran biaya produksi. Dalam proyek professional, rencana anggaran biaya berguna untuk mengamankan keuangan perusahaan. Tanpa anggaran biaya yang terencana, dan hanya mengandalkan spekulasi, maka prosentase kerugian akan menjadi besar. Rencana anggaran biaya meliputi gaji untuk kita, rekan kerja, actor dan talent lainnya (effect specialist, graphics designer, musisi, narrator, dan animal trainers), begitu pula dengan pembelian kaset DV, biaya sewa lokasi, kostum, properties, sewa peralatan, catering dan yang lainnya.

Production/Produksi

“Quiet on the set! Action! and Roll ’em!”, kata-kata tersebut seringkali terdengar saat shooting berlangsung, pada intinya merekam kejadian langsung, adegan animasi dan suara pada film, videotape atau DV untuk menghasilkan footage/clip disebut dengan “production” atau proses produksi. Selama proses produksi berlangsung, perhatian kita akan tertuju pada lighting/pencahayaan, blocking (dimana dan bagaimana aktor atau subyek kita bergerak), dan shooting (bagaimana pergerakan kamera dan dari sudut mana scene kita dilihat). Ada banyak referensi yang bagus untuk mempelajari lebih dalam mengenai proses produksi. Pembuatan animasi/motion graphics dapat pula dikategorikan dalam proses produksi, karena bertujuan menghasilkan footage yang nantinya akan disusun dan diedit dalam proses pascaproduksi.
Post Production/Paska Produksi
Setelah proses produksi maka akan dihasilkan footage atau koleksi klip video. Untuk membangun dan menyampaikan cerita, maka harus mengedit dan menyusun klip-klip tersebut dan tentu saja menambahkan visual effects, gambar, title dan soundtrack. Proses diatas disebut dengan postproduction atau pascaproduksi. Berikut ini merupakan aplikasi dari Adobe yang khusus dirancang untuk proses pasca produksi :
• Adobe Premiere Pro, aplikasi editing yang real‐time untuk para professional dalam bidang digital videoproduction.
• Adobe After Effect, sebuah aplikasi khusus untuk Motion Graphics dan Visual Effect.
• Adobe Audition, aplikasi professional untuk pengolahan audio digital.
• Adobe Encore DVD, aplikasi professional untuk DVD authoring.

Selain aplikasi-aplikasi diatas, dikenal pula dua aplikasi grafis professional yang juga memainkan peranan penting dalam menghasilkan elemen grafis berkualitas tinggi, aplikasi tersebut adalah Adobe Photoshop dan Adobe Illustrator

Sumber: BelajarSendiri.Com